Tafsir dan Penjelasan
“Wahai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!” (al-Muddatstsir: 1-2).
Wahai Nabi yang berselimut dengan pakaiannya. Maksudnya, menutupi diri dengan pakaian itu karena takut melihat malaikat ketika wahyu turun pertama kali, bangkitlah, berilah peringatan penduduk Makkah dan ancamlah mereka dengan adzab jika mereka tidak Islam.
“Dan agungkanlah Tuhanmu! Dan bersihkanlah pakaianmu!” (al-Muddatstsir: 3-4).
Agungkanlah Allah yang menyifati diri-Nya dengan kebesaran, dalam ibadahmu, ucapanmu, dan semua keadaanmu. Sungguh Dia lebih besar (tidak layak) untuk mempunyai sekutu. Sucikanlah pakaianmu dan jagalah dari najis. Qatādah berkata: artinya sucikanlah dari maksiat dan dosa-dosa. Orang ‘Arab menamakan orang yang berbuat dosa, tidak memenuhi janji Allah dengan mengatakan: “Orang itu pakaiannya kotor.” Jika dia menjaga diri dan berbuat baik, orang ‘Arab mengatakan: “Orang itu suci pakaiannya.” Kedua makna itu benar. Sesungguhnya kesucian indrawi atau kebersihan, biasanya berbarengan dengan kesucian maknawi. Artinya bersih dan jauh dari maksiat-maksiat. Kebalikannya adalah benar. Adanya kotoran menunjukkan dengan pasti banyaknya dosa. Ayat ini menunjukkan keagungan Allah dari apa yang diucapkan oleh para penyembah berhala, kebersihan, perbaikan akhlak, dan menjauhi maksiat.
“Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji” (al-Muddatstsir: 5)
Tinggalkanlah arca dan berhala. Janganlah kamu menyembahnya sebab itu adalah penyebab adzab. Tinggalkanlah semua sebab dan maksiat-maksiat yang menyebabkan adzab di dunia dan akhirat. Ayat ini menunjukkan keharusan menjaga diri dari semua maksiat. Larangan semua itu tidak berarti Nabi melakukan sedikit dari maksiat itu. Wahyu dimulai dengan hal itu karena dia adalah teladan dan supaya terus-menerus menjauhi maksiat. Ini seperti firman Allah s.w.t.:
“Wahai Nabi! Bertaqwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik.” (al-Aḥzāb: 1)
“Dan Mūsā berkata kepada saudaranya (yaitu) Hārūn: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-A‘rāf: 142).
Demikian juga perintah kepada Nabi yang dimaksudkan adalah perintah untuk terus-menerus mengontrol dan menjauhi kerusakan.
“Dan janganlah engkau (Muḥammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (al-Muddatstsir: 6).
Janganlah memberi sahabat-sahabatmu dan lainnya dengan menyampaikan wahyu sembari mengharap sesuatu yang banyak pada mereka. Jika kamu memberi seseorang, berilah karena Allah semata. Janganlah mengharap pada manusia dengan pemberianmu itu. Janganlah kamu lemah untuk memperbanyak kebaikan. Kata (تَمْنُنْ) dalam ucapan orang ‘Arab adalah janganlah lemah.
“Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 7).
Jadikanlah kesabaranmu atas gangguan mereka adalah karena Allah semata. Sesungguhnya kamu dibebani hal yang besar. Orang ‘Arab dan orang asing akan memerangimu. Oleh karena itu, bersabarlah karena Allah. Bersabarlah juga dalam menaati Allah dan ibadah kepada-Nya. Setelah memberi petunjuk kepada Nabi Muḥammad s.a.w., Allah menjelaskan ancaman orang-orang yang celaka. Allah berfirman:
“Maka apabila sangkakala ditiup, maka itulah hari yang serba sulit, bagi orang-orang kafir tidak mudah.” (al-Muddatstsir: 8-10).
Bersabarlah atas gangguan mereka. Di depan mereka, ada hari yang menakutkan di mana mereka akan menemukannya sebagai akibat dari perkara mereka. Ketika terompet kedua telah ditiup untuk bangkit dari kubur, waktu tiupan pada hari itu adalah hari yang sangat berat bagi orang-orang kafir, tidak mudah bagi mereka.
Ibnu Abī Ḥātim, Ibnu Abī Syaibah dan Imām Aḥmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman Allah (فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ), dia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
كَيْفَ أَنْعُمُ، وَ صَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنَ، وَ حَنَى جَبْهَتَهُ حَتَّى يُؤْمَرَ فَيَنْفُخَ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ (ص) فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: قُوْلُوْا: حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ، عَلَى اللهِ نَوَكَّلْنَا.
“Bagaimana aku menikmati hidup sementara malaikat pemilik sangkakala telah menelan sangkakala itu, dahinya sudah berkerut menanti kapan dia diperintahkan lalu dia meniup? Para sahabat bertanya: “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasūlullāh?” Nabi bersabda: “Katakanlah ḥasbunāllāhu wa ni‘m-al-wakīl, ‘alallāhi tawakkalnā. (cukuplah bagi kami Allah semata. Dia sebaik-baik Dzat yang diwakili. Hanya kepada Allah-lah kami tawakkal).”
Fikih Kehidupan atau Hukum-hukum
Ayat-ayat di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pengagungan Allah dan sifat-Nya bahwa Dia tidak pantas untuk mempunyai istri atau anak. Sebagaimana ucapan para penyembah berhala.
Kedua, menyucikan pakaian dari najis yang berbentuk materi maupun non-materi, menyucikan diri dari maksiat yang menyebabkan datangnya adzab, dan menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang baik.
Ketiga, menjauhi berhala dan tempat-tempat dosa yang menjadi sebab adzab. Yang dimaksud adalah perintah terus-menerus meninggalkan dosa.
Keempat, tidak boleh mengharap pada Allah dengan perbuatan-perbuatan yang berat seperti orang yang memperbanyak apa yang dilakukan. Kewajiban yang harus dilakukan adalah bersabar atas hal itu demi Allah semata, mendekatkan diri kepadanya serta tidak mengharap-harap. Tidak mengharap-harap pada manusia dengan mengajarkan urusan-urusan agama dan wahyu seperti orang yang mengharapkan kenikmatan yang banyak karena itu dan dengan kenabian untuk mengambil upah yang bisa memperbanyak hartanya. Sebagian besar mufassir mengatakan maknanya adalah janganlah kamu memberikan apa yang kamu miliki untuk tujuan mendapatkan yang lebih banyak. Pemberian-pemberian itu hanya karena Allah semata, bukan karena mencari dunia. Ini adalah ciri orang yang dermawan dan mulia.
Kelima, bersabar dalam menjalankan kewajiban-kewajiban, ibadah-ibadah, dan gangguan orang karena menyampaikan dakwah agama.
Kesimpulan, Allah meletakkan dua dasar kesuksesan dakwah rasul setelah kesempurnaan akal dan bebas dari kemusyrikan serta kesempurnaan diri dengan akhlak yang mulia. Dua hal itu adalah kederwanan dan kesabaran.
“Bagi orang-orang kafir tidak mudah.” (al-Muddatstsir: 10).
Bahwa hari itu adalah mudah bagi orang Mu’min. Ini adalah hujjah yang mendukung orang yang berpendapat bahwa dalil khithāb adalah hujjah.