Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Azhar (7/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Azhar

VI

قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ. وَ لَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ. وَ كُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ. وَ كُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. حَتَّى أَتَانَا الْيَقِيْنُ. فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَ.

74: 43. Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sembahyang (shalat).
74: 44. Dan tidak pula kami termasuk orang yang memberi makan orang miskin.
74: 45. Dan kami membicarakan yang tidak keruan bersama orang yang membicarakannya.
74: 46. Dan adalah kami mendustakan Hari Pembalasan.
74: 47. Sehingga datanglah kepada kami kematian.”
74: 48. Maka tidaklah berguna bagi mereka syafa‘at orang yang hendak memberi syafa‘at.

Setelah golongan kanan menanyakan apa sebab kalian ini sampai mesti masuk neraka: “Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sembahyang (shalat).” (Ayat 43).

Tidak sembahyang! Itulah kesalahan pertama dan utama. Artinya tidak mau menghubungkan diri dengan Tuhan. Tidak mau mengucapkan terima kasih atas nikmat dan karunia Ilahi dengan cara yang teratur yang diajarkan oleh Nabi s.a.w.

Dan tidak pula kami termasuk orang yang memberi makan orang miskin.” (Ayat 44). Tidak ada rasa belas kasihan kepada sesama manusia yang hidupnya melarat. Itulah kesalahan kedua!

Dan kami membicarakan yang tidak keruan bersama orang yang membicarakannya.” (Ayat 45). Artinya turut membicarakan soal yang tidak diketahui; Demikian ditafsirkan oleh Ibnu Katsīr. Qatādah mengartikan: “Tiap-tiap orang yang tersesat membicarakan hal yang tidak berketentuan ujung pangkalnya, kamipun turut pula membicarakannya”. Ini adalah kesalahan yang ketiga!

Dan adalah kami mendustakan Hari Pembalasan.” (Ayat 46). Hari Pembalasan kita jadikan terjamah daripada kata-kata “Yaum-ud-Dīn”, yang kalau diartikan menurut harfiyyah ialah “Hari Agama”. Sebab, memang segala gerak hidup kita yang diatur oleh peraturan agama ini lain tidak ialah karena akan diperhitungkan di hadapan Allah di akhirat. Segala ‘amalan kita yang sekarang di dunia ini, untuk menerima keputusan Tuhan nanti di hari kemudian, atau Hari Pembalasan. “Sehingga datanglah kepada kami kematian.”” (Ayat 47).

Dapatkah kita simpulkan semua pengakuan orang-orang yang berdosa itu ketika mereka ditanyai oleh golongan kanan tadi, mengapa mereka sampai masuk ke dalam neraka Saqar!

1). Mereka tidak mengerjakan sembahyang. Artinya mereka tidak menginsafi hubungan mereka dengan Tuhan. Mereka tidak berterima kasih atas nikmat kurnia yang selalu diberikan Tuhan.

2). Mereka tidak ada rasa belas-kasihan kepada sesamanya manusia yang miskin. Sebab itu tidak mereka sediakan makan buat si miskin itu. Dengan demikian nyata bahwa kedua tali kendali hidup tidak mereka pegang. Tali pertama ialah tali dengan Allah, dengan mengerjakan ibadah, terutaman sembahyang. Tali yang kedua ialah tali dengan sesama manusia dengan jalan cinta kasih kepada orang yang malang dan miskin.

3). Tidak ada kemajuan jiwanya dalam hidup. Sebab turut bercakap mempercakapkan soal-soal yang tidak dimengerti atau tidak keruan, sehingga waktu hilang percuma.

4). Terutama orang-orang seperti ini tidak ada kepercayaan kepada hari esok, hari kiamat. Mereka anggap bahwa hidup itu hanya berhenti hingga di dunia ini saja. Demikianlah keadaan mereka sampai mati!

Dalam ayat ke-47 kematian kita jadikan arti daripada yaqīn. Sebab dalam ayat lain, yaitu ayat terakhir (ayat 99) dari Surat ke-15, al-Ḥijr, Tuhan pun berfirman:

Sembahlah olehmu Tuhan engkau sampai datang kepada engkau keyakinan.”

Yang dimaksud dengan keyakinan ialah maut… Sebab pada waktu itulah datang ajal atau janji yang telah ditentukan, tidak didahulukan dari waktu yang telah ditentukan itu walaupun satu saat dan tidak pula diundurkan walaupun satu saat.

Dan seketika seorang Sahabat Rasūlullāh yang bernama ‘Utsmān bin Mazh‘ūn meninggal dunia, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

“Adapun dia – yaitu ‘Utsmān bin Mazh‘ūn – sungguh telah datang kepadanya keyakinan dari Tuhannya.” (Artinya dia telah meninggal),

Dalam susunan jawaban orang-orang yang berdosa, yang ditutup dengan pengakuan bahwa akhirnya mereka meninggal dalam keadaan seperti demikian; tidak ada pegangan dengan Allah, putus tali dengan sesama manusia, nampaklah penyesalan yang besar atas kesalahan yang telah lalu itu.

Dari susunan pengakuan itu pula kita mendapat kesimpulan bahwa yang dikehendaki ialah seorang mu’min yang utuh! Misalnya ada seorang yang taat mengerjakan sembahyang, padahal dia tidak menyediakan makanan untuk orang yang miskin, percumalah sembahyangnya itu dan belumlah berarti ibadatnya kepada Tuhan. Atau sebaliknya, dia seorang yang berkhidmat dalam masyarakat, suka menolong orang yang susah, suka menyediakan makanan bagi orang yang melarat dan miskin, padahal dia tidak mengerjakan sembahyang mengingat Allah. kebajikannya kepada sesamanya manusia itupun tidak ada artinya, karena dia tidak mengadakan hubungan yang baik dengan Tuhannya. Di samping itu maka orang yang taat sembahyang dan hidup berkasih-sayang dengan sesamanya manusia itu, dengan sendirinya tidaklah mau mencampuri perkataan yang tidak keruan, yang tidak berketentuan ujung pangkalnya, atau dia sendiri tidak mengetahui duduk persoalan yang dibicarakan, sehingga dia bicara asal bicara saja. Mu’min sejati tidak mungkin berbuat demikian.

Maka tidaklah berguna bagi mereka syafa‘at orang yang hendak memberi syafa‘at.” (Ayat 48). Artinya tidaklah ada orang, atau Rasūl sekalipun yang akan dapat membela orang semacam itu di hari kiamat. Orang semacam itu sudah pastilah masuk ke dalam neraka Saqar. Karena kalau orang yang telah terang bersalah besar sebagai demikian, tidaklah adil kalau mereka diberi pertolongan dan syafa‘at di hadapan Tuhan.

 

VII

فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِيْنَ. كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌ. فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ. بَلْ يُرِيْدُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُّنَشَّرَةً. كَلَّا بَلْ لَا يَخَافُوْنَ الْآخِرَةَ. كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ. وَ مَا يَذْكُرُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ، هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَ أَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

74: 49. Mengapa mereka dari peringatan jadi berpaling?
74: 50. Seakan-akan mereka keledai liar yang terkejut.
74: 51. Lari dari singa.
74: 52. Bahkan ingin tiap-tiap seseorang dari mereka supaya diberi lembaran-lembaran yang terbuka.
74: 53. Sekali-kali tidak! Bahkan mereka tidak takut akan hari akhirat.
74: 54. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia adalah peringatan.
74: 55. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya dia akan mengingatnya.
74: 56. Dan tidaklah mereka akan mengingatnya, kecuali jika Allah menghendaki. Dia adalah layak untuk tempat bertaqwa dan layak untuk memberi ampun.

Mengapa mereka dari peringatan jadi berpaling?” (Ayat 49). Artinya ialah sebagai pertanyaan mengandung keheranan, apa sebabnya ahli Makkah ketika peringatan telah datang disampaikan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. mereka berpaling? Atau mereka tidak mau memperdulikan? Muqātil menafsirkan bahwa berpaling atau menolak itu dua macam; Pertama, juḥūd dan inkār, yaitu menolak dengan berbagai alasan yang dicari-cari dan yang tidak masuk akal. Kedua, tidak menolak dengan mulut tetapi tidak mau mengerjakan apa yang diperintahkan dan tidak mau menghentikan apa yang dilarang.

Seakan-akan mereka keledai liar yang terkejut.” (Ayat 50). “Lari dari singa.” (Ayat 51). Keledai liar yang terkejut, lari dari singa adalah perumpamaan yang sangat tepat. Keledai itu karena takutnya akan diterkam singa, dia menggelinjang lari, biarpun tali pengikatnya akan putus. Walaupun singa itu masih jauh, namun dia masih berlari dengan sekencang-kencangnya karena takutnya akan bertemu dengan singa itu. Bagaimanapun diusahakan menghambatnya, dia tidak akan terhambat, bahkan akan lari terus.

Demikianlah perumpamaan dibuat oleh Tuhan tentang perangai kaum Quraisy di waktu Rasūlullāh s.a.w. mula menyampaikan da‘wah. Mereka begitu takut dan menyingkir, karena tidak mau kebiasaan-kebiasaan yang mereka terima dari nenek moyangnya dirobah-robah dan dicela-cela. Penyembahan kepada berhala telah mendarah mendaging.

Bahkan ingin tiap-tiap seseorang dari mereka supaya diberi lembaran-lembaran yang terbuka.” (Ayat 52).

Tafsiran dari ayat ini adalah dua macam. Pertama, ialah karena mereka tidak mau percaya kepada ajakan yang dibawa oleh Nabi Muḥammad s.a.w. yang menurut keterangan Nabi s.a.w. adalah untuk kebahagiaan mereka sendiri. Untuk keselamatan mereka dunia dan akhirat. Kalau mereka ikut kehendak Rasūlullāh, niscaya Tuhan akan memberikan kepada mereka tempat yang layak dalam syurga. Maka timbullah bantahan mereka, dengan berkata bahwa kalau benar Tuhan itu hendak menyeru mereka, hendaklah Tuhan itu sendiri berkirim surat kepada mereka masing-masing. Katakan dalam surat-surat yang terbuka itu bahwa surat ini tertuju kepada si fulan anak si fulan. Dalam tafsir yang lain pula sebagaimana oleh al-Qurthubī dalam tafsirnya, menurut satu riwayat dari Ibnu ‘Abbās: “Masing-masing supaya dikirimi surat menyatakan mereka dibebaskan daripada adzab neraka.”

Mathār al-Warrāq berkata: “Mereka ingin diberi apa-apa oleh Tuhan tetapi dengan tidak usah ber-‘amal lebih dahulu.”

Satu keterangan lagi, ada di antara mereka mendebat atau menantang perkataan Nabi yang pernah menjelaskan menurut wahyu bahwa segala ‘amalan manusia buruk dan baik tercatat di sisi Allah. Mereka berkata: “Kalau itu benar, cobalah mintakan kepada Tuhanmu itu supaya dikirimkan kepada kami masing-masing daftar dari yang baik atau yang buruk yang kami kerjakan.”

Jelaslah bahwa permintaan agar dikirimi surat masing-masing itu hanya semata-mata mencari jalan buat membantah saja. Inilah satu macam cara yang dikemukakan oleh orang yang enggan. Mereka cari-cari saja alasan yang tidak perlu, tidak lain untuk melepaskan diri dari tanggungjawab.

Sekali-kali tidak!” (Pangkal ayat 53). Dibantahnyalah sekeras-kerasnya keinginan mereka minta dikirimi surat masing-masing itu. Karena itu bukanlah inti persoalan. Misalkan surat itu dikirimkan kepada masing-masing mereka, sebagaimana yang mereka inginkan, namun mereka tidak jugalah akan beriman lantaran itu. Bahkan mungkin saja mereka bertambah kafir. Sebab inti persoalan tidaklah diterima oleh hati sanubari mereka. Inti persoalan ialah pengakuan bahwa Allah itu adalah Maha Esa dan tiada Dia bersekutu dengan yang lain, baik berhala ataupun manusia: “Bahkan mereka tidak takut akan hari akhirat.” (Ujung ayat 53). Mereka tidak takut akan pembalasan hari akhirat, karena mereka tidak percaya. Meskipun dari nenek moyang telah ada juga ajaran bahwa Hari Akhirat itu pasti terjadi, namun oleh karena mereka telah terpukau oleh kemegahan dunia, oleh harta benda, oleh kedudukan yang mewah, muramlah kepercayaan akan hari akhirat itu.

Sekali-kali tidak!” (Pangkal ayat 54). Yaitu tambahan bantahan atas kehendak mereka, agar kepada masing-masing mereka dikirimi surat langsung dari Tuhan. Itu tidak akan dikabulkan, karena permintaan itu bukan dari Iman timbulnya: “Sesungguhnya dia adalah peringatan.” (Ujung ayat 54).

Memang telah turun dari sisi Tuhan, dibawa malaikat Jibril dan diterima langsung oleh Nabi Muḥammad s.a.w. Yaitu al-Qur’ān! Dan wahyu Ilahi itu bukan surat kiriman untuk diadreskan kepada masing-masing orang yang hidup di zaman itu, melainkan untuk menjadi peringatan bagi semua manusia yang berakal dan berbudi. Untuk pedoman dan pegangan hidup. Di dalamnya diajarkan mana yang baik yang akan dikerjakan dan mana yang buruk yang musti dijauhi.

Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya dia akan mengingatnya.” (Ayat 55). Artinya barang siapa yang ada perhatian niscaya akan berfaedahlah al-Qur’ān itu bagi membentuk hidupnya, budi pekertinya, kecenderungan jiwanya menempuh jalan yang lebih baik, dan selamatlah dia dunia dan akhirat. “Dan tidaklah mereka akan mengingatnya, kecuali jika Allah menghendaki.” (Pangkal ayat 56). Supaya hati jangan ragu-ragu dan jangan hanya menggantungkan pengharapan kepada kehendak Allah belaka maka membaca ayat ini hendaklah sampai kepada ujungnya: “Dia adalah layak untuk tempat bertaqwa dan layak untuk memberi ampun.” (Ujung ayat 56). Oleh sebab itu maka hendaklah tiap orang berusaha mengenal Allah, ma‘rifat terlebih dahulu terhadap Tuhan itu. Apabila terlebih dahulu kita sendiri telah menghadapkan perhatian dan memusatkan ingatan kepada Tuhan, itulah permulaan langkah buat Tuhan sendiri yang akan memimpin kita kepada jalan yang terang yang Dia ridhai. Dengan demikian selangkah demi selangkah kitapun maju ke muka, akan mendapat peringatan dan bimbingan dari Tuhan. Karena Tuhan itulah hanya, lain tidak, yang patut kita bertaqwa kepada-Nya Yaitu mengadakan hubungan yang tidak putus-putusnya. Kalau ketaqwaan itu sudah mulai tumbuh dalam hati, niscaya sebagai makhluk yang lemah kita akan selalu memohonkan ampun kepada Tuhan jika terdapat kelalaian kita dan kesalahan, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.

Ayat ini ditafsirkan dengan jelas oleh Qatādah: “Artinya ialah bahwa Allah itulah yang sangat patut untuk ditakuti dan Dia pulalah yang sangat berhak untuk memberi ampun kepada barang siapa yang memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya”.

Bersabdalah Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau menjelaskan ayat ini:

قَالَ رَبُّكُمْ أَنَا أَهْلٌ أَنْ أُتَّقَى فَلَا يُجْعَلُ مَعِيْ إِلهٌ. فَمَنِ اتَّقَى أَنْ يَجْعَلَ مَعِيْ إِلهًا كَانَ أَهْلًا أَنْ غُفِرَ لَهُ.
(رواه الإمام أحمد و الترمذي و ابن ماجه)

Berfirman Tuhan kamu: “Aku adalah patut buat tempat bertaqwa. Oleh sebab itu, janganlah dijadikan beserta Aku tuhan yang lain. Barang siapa yang bertaqwa seraya tidak menjadikan tuhan yang selain Aku, maka diapun patut untuk diberi ampun.” (Dirawikan oleh al-Imām Aḥmad, at-Tirmidzī dan Ibnu Mājah).

Moga-moga Tuhan mencurahkan ampunannya bagi penyusun tafsir yang tiada sepertinya ini bagi seluruh Muslimin dan Muslimat, Amin.

Selesai tafsir Sūrat-ul-Muddatstsir; Alḥamdulillāh.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *