III
إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ. فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ نَظَرَ. ثُمَّ عَبَسَ وَ بَسَرَ. ثُمَّ أَدْبَرَ وَ اسْتَكْبَرَ. فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ. إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ.
74: 18. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan telah menentukan.
74: 19. Maka celakalah dia! Bagimana dia menentukan.
74: 20. Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menentukan.
74: 21. Kemudian itu diapun merenung lagi.
74: 22. Kemudian itu mukanyapun masam dan merengut.
74: 23. Kemudian diapun membelakang dan menyombongkan diri.
74: 24. Lalu dia berkata: “Tidak lain ini, melainkan sihir yang dipelajari.
74: 25. Tidak lain ini hanyalah perkataan manusia.
Tadinya dia telah membantah bahwa orang ini tukang sihir, atau orang gila, atau ahli sya‘ir atau tukang tenung. Semuanya itu tidak! Diapun telah mengaku pula bahwa kata-kata yang diucapkan Muḥammad itu bukanlah kata manusia dan bukan pula kata-kata jin, malahan lebih tinggi dan tidak teratasi. Sekarang diminta kepadanya ketegasan: “Siapa sebenarnya Muḥammad itu?” Tetapi pertanyaan itu dikemukakan setelah dia diejek, dikatakan telah terpengaruh oleh Muḥammad, telah memakan makanan Muḥammad dan disinggung perasaannya dengan memberinya uang, padahal dia orang yang merasa tidak patut diberi, karena dia orang kaya.
Apa akan jawabnya?
“Sesungguhnya dia telah memikirkan” (Pangkal ayat 18). Apa yang mesti dikatakannya tentang Muḥammad itu: “dan telah menentukan” (Ujung ayat 18). Dalam ketentuan pertama ialah bahwa Muḥammad itu bukan gila, bukan tukang sihir, bukan penya‘ir dan bukan tukang tenung. Tetapi dia belum berani atau belum mendapat ketetapan hati untuk memutuskan siapa gerangan Muḥammad itu.
“Maka celakalah dia!” (Pangkal ayat 19). Celakalah dia karena dia tidak mempunyai keberanian buat menyatakan pendapat: “Bagimana dia menentukan”. (Ujung ayat 19).
Bertambah dia fikirkan dan renungkan sedikit lagi, bertambah kelam jalan yang akan ditempuh mengambil keputusan. Sebab itu, maka datang ayat ke-20: “Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menentukan” (Ayat 20).
Ar-Rāzī mengatakan dalam tafsirnya bahwa dia telah bertindak tiap kali bolak balik. Pertama: Berfikir, kedua mengambil ketentuan, bertambah lama bertambah berlawan yang ada di dalam dengan sikap yang akan dinyatakan: “Kemudian itu diapun merenung lagi” (Ayat 21). Itulah yang ketiga, yaitu mengulang merenung lagi.
“Kemudian itu mukanyapun masam dan merengut” (Ayat 22). Mukanya menjadi masam, menunjukkan hati yang tidak merasa senang dan merengut menaruh suatu perasaan yang timbul dari sikap yang telah mulai berobah.
“Kemudian diapun membelakang dan menyombongkan diri.” (Ayat 23). Karena yang dipertimbangkannya bukanlah benar atau tidaknya seruan yang dibawa oleh Muḥammad, benar atau tidaknya ayat suci yang dia sampaikan. Bukan itu lagi yang jadi buah pertimbangan. Itu sebabnya maka dia terlambat dan lama sekali mundur maju. Sebab yang dipertimbangkannya ialah kedudukan dirinya. Kalau saya katakan bahwa seruan Muḥammad ini benar wahyu Ilahi saya akan dibenci dalam kalangan kaum saya dan saya akan tersisih dari pergaulan Quraisy dan saya akan dipandang hina. Oleh sebab itu diambilnyalah keputusan yang akhir. Untuk menyatakan pendapat supaya menyenangkan hati kaumnya dia mesti bersikap tegas membelakangi Muḥammad dan orang-orang yang beriman, dan dia musti melakukan sikap yang sombong. Dengan sikap demikian dinyatakannyalah apa yang ditunggu-tunggu oleh kaumnya, tentang pandangan dan penilaiannya atas wahyu yang dibawa Muḥammad itu.
“Lalu dia berkata: “Tidak lain ini, melainkan sihir yang dipelajari” (Ayat 24). Al-Walīd telah menyatakan pendapatnya di muka umum, untuk mengobat hati kaum Quraisy, untuk membesarkan hati Abū Jahl; Bahwa ucapan-ucapan yang disampaikan Muḥammad itu tidak lain hanyalah ilmu sihir juga. Ilmu sihir yang diterimanya dari orang lain, dari orang-orang yang dahulu. Al-Walīd meneruskan penilaiannya: “Tidak lain ini, hanyalah perkataan manusia.” (Ayat 25). Maka dicabutnyalah kembali katanya yang telah terlanjur mengatakan bahwa ucapan ini bukan buatan manusia dan bukan buatan jin, paling atas dan tidak dapat diatasi.
Dengan al-Walīd menyatakan bahwa perkataan ini adalah semata-mata sihir, mafhumlah kita betapa berat tuduhan yang dia jatuhkan atas wahyu Ilahi. Karena menurut bahasa yang dipakai orang ‘Arab sihir itu artinya ialah penipuan, mengatakan benar barang yang tidak benar. Dikatakannya pula bahwa perkataan ini dipelajari dari orang lain atau diwarisi. Namun dia tidak pula dapat membuktikan sama sekali, dari mana perkatakan itu diwarisi. Padahal menurut satu riwayat lagi, sebelum didesak-desak oleh Abū Jahl itu dia pernah pula mengatakan bawha ucapan-ucapan Muḥammad itu bukan sihir dan bukan sya‘ir, Dia berkata: “Apa yang aku mesti katakan tentang dia! Demi Allah!, Tidak seorang jua pun di antara kalian ini yang lebih tahu dari saya soal sya‘ir-sya‘ir. Saya lebih tahu timbangan rajaz-nya dan qashidah-nya. Sayapun tahu sya‘ir-sya‘ir yang berasal dari jin. Demi Allah kata-kata yang diucapkan Muhammad itu tidak termasuk kebahagiaan sya‘ir yang mana jua pun. Demi Allah ucapan itu sangat enak didengar telinga dan sangat merdu. Dia menghancurkan apa yang di bawahnya dan tidak dapat diatasi! Sekarang apa yang telah pernah diucapkannya itu seakan-akan telah dimungkirinya. Yaitu dengan mengerutkan dan memasamkan muka. Dengan berpaling seakan-akan tidak perduli ditambahi dengan kesombongan. Maka perkataannya yang berobah-obah itu, yang disangkanya akan menyelamatkan dirinya, itulah yang membawanya celaka. Dia tidak berharga lagi buat didengar. Martabatnya telah jatuh, bukan saja di mata orang lain yang berakal, terlebih-lebih lagi harga dirinya telah jatuh dalam pandangan dirinya sendiri. Inilah yang difirman Tuhan dalam ayat 17 di atas tadi:
“Aku akan menimpakan kepadanya adzab yang memayahkan.”
Kemudian diancam pulalah dia oleh Allah dengan adzab akhirat yang amat pedih.