II
ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا. وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا. وَ بَنِيْنَ شُهُوْدًا. وَ مَهَّدْتُّ لَهُ تَمْهِيْدًا. ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيْدَ. كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيْدًا. سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا.
74: 11. Biarkan Daku dan orang yang Aku ciptakan itu sendirian.
74: 12. Dan telah Aku jadikan untuknya harta benda yang berkembang,
74: 13. Dan anak-anak yang selalu menyaksikan (hadir),
74: 14. Dan telah Aku lapangkan untuknya, selapang-lapangnya,
74: 15. Kemudian itu, dia masih saja thama‘ agar Aku tambah.
74: 16. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia terhadap ayat-ayat Kami adalah penantang.
74: 17. Akan Aku timpakan kepadanya derita yang memayahkan.
“Biarkan Daku dan orang yang Aku ciptakan itu sendirian”. (Ayat: 11). Inti sari dari ayat ini ialah menyuruh Nabi kita Muḥammad s.a.w. meneruskan usahanya mengadakan seruan dan Da‘wah, memberi peringatan kepada kaumnya. Dia tidak usah turut memikirkan tentang orang yang menyombong karena diri seorang yang mampu dan terpandang, lalu menjadi penantang dan pencemooh kepada seruan Nabi Muḥammad itu.
Ahli-ahli tafsir menyebutkan nama orang yang dituju itu, yaitu al-Walīd bin al-Mughīrah. Nabi Muḥammad tidak usah turut susah memikirkan orang seperti itu. Serahkan saja kepada Tuhan membereskan orang itu. Karena yang menciptakan orang itu adalah Allah Sendirian, tiada berserikat dengan yang lain. Allah mudah saja menentukan hukum-Nya terhadap makhluk-Nya yang sombong itu. Maka arti yang terkandung dari kalimat “sendirian” di ujung ayat ialah bahwa Allah Sendiri yang menguasai orang itu. Tetapi ar-Rāzī menyalinkan juga dalam tafsirnya bahwa sendirian dalam ayat ini bukan disifatkan untuk Tuhan, karena tidakpun disebut sudah terang bahwa Tuhan Allah berdiri sendirinya. Tetapi yang dimaksud menurut ar-Rāzī ialah si al-Walīd itu sendiri; Yang karena pertolongan Tuhan sekarang telah kaya, namun pada mulanya dia hanya hidup kesepian sendirian. Yang setelah dia kaya raya, lupa dia akan kesendiriannya dahulu itu.
“Dan telah Aku jadikan untuknya harta benda yang berkembang” (Ayat 12). Dalam ayat ini dijelaskanlah anugerah Tuhan kepada al-Walīd bin al-Mughīrah itu. Dia diberi Tuhan harta benda yang bukan mati, melainkan mamdūd, yaitu berkembang terus. Kalau harta benda itu tanah wilayat, maka tanam-tanaman yang ditanam di dalamnya memberikan hasil yang berkembang berlipat ganda tiap tahun. Demikian pula kalau harta benda itu binatang ternak; dia berkembang, beranak pinak, dari beberapa ekor menjadi berpuluh ekor. Disebutkan dalam kitab-kitab tafsir tentang ternaknya yang berkembang itu; ada onta, ada sapi-sapi, ada kambing sepadang-sepadang. Harta bendanya, kebon-kebon yang di Thā’if pun mengeluarkan hasil yang banyak sekali. Muqātil mengatakan bahwa dia mempunyai kebon-kebon yang tidak berhenti mengeluarkan hasil. Ada yang berbuah hanya di musim dingin saja dan ada pula yang berbuah di musim panas. Sebab itu tidak berhenti mengambil hasil.
“Dan anak-anak yang selalu hadir”. (Ayat 13). Mujāhid meriwayatkan bahwa anak beliau yang laki-laki 10 orang banyaknya. Anak perempuan tidak disebut karena adat zaman jahiliyyah tidak mau menyebut-nyebut anak perempuan. Anak laki-laki yang sepuluh itu hanya tujuh disebut ar-Rāzī dalam tafsirnya; yang tua bernama al-Walīd pula menurut nama ayahnya, sesudah itu ‘Imārah, Hisyām, al-‘Āsh, Qais, ‘Abdu Syams. Yang masuk Islam hanya tiga, yaitu: ‘Imārah, Khālid dan Hisyām. Yang lain hidup menurut kehidupan ayahnya. Semuanya itu berada di Makkah bersama bersama ayahnya, tidak ada yang berpindah ke tempat lain. Dan disebut pula bahwa semuanya itu kaya raya dan hidup sendiri. Sebab itu semuanyapun menambah kebanggaan ayah mereka. Rasa bangga dengan hadirnya semua anak-anak di hadapan mata dan melihat perkembangan mereka menurut bakat masing-masing adalah terhitung kekayaan utama juga dalam kehidupan manusia. Hal seperti ini senantiasa diulang-ulangi dalam al-Qur’ān:
الْمَالُ وَ الْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia.” Surat ke-18, al-Kahfi: 46).
Maka bagi al-Walīd bin al-Mughīrah telah tercapai kedua kebanggaan atau persiapan hidup itu; harta berkembang, anak-anakpun berkembang.
“Dan telah Aku lapangkan untuknya, selapang-lapangnya” (Ayat 14). Artinya, meskipun sudah demikian perhiasan dunia yang dimilikinya, telah cukup dari segala segi; harta benda berkembang, anak-anak banyak dan berjaya semua, berada di hadapan matanya; awakpun disegani orang pula, namun kelobaan untuk minta tambahan lagi, minta tambah lagi, tambah lagi, tidaklah berhenti. Itulah nafsu manusia yang tidak mau penuh, masih merasa kurang saja.
Apakah keinginannya yang tidak terbatas itu akan selalu dikabulkan Tuhan?
Di ayat yang selanjutnya Tuhan telah menegaskan: “Sekali-kali tidak!” (Pangkal ayat 16). Keinginannya yang demikian tidaklah akan terus-menerus dikabulkan oleh Tuhan, Tidak ada manusia yang sampai ke akhir langkahnya dalam hidup ini akan dapat dipuaskan saja nafsunya. Berbagai rintangan yang tidak dapat diatasi akan ditemuinya di tengah perjalanan. Meskipun misalnya seorang manusia diberi kekayaan berkembang luas, dan anak keturunan berkembang biak pula, namun usianya musti lanjut. Dan bila usia telah lanjut, tenagapun telah berkurang. Bagaimanapun banyaknya nikmat Tuhan, bertumpuk bagai gunung, akan dipengapakankah nikmat itu kalau misalnya selera telah patah? Alangkah tepat pepatah orang Melayu yang berkata: “Gigi tanggal arawan murah, awak tua janda bermusim.” (Catatan: sama dengan peribaasa: Gigi tanggal rawan murah, awak tua gadis bermusim – maksudnya: keinginan datang bila tidak beruang lagi).
Arawan ialah tulang muda yang enak digeretuk dengan gigi yang kuat. Arawan itu menimbulkan nafsu makan bagi orang yang giginya masih kuat. Tetapi kalau gigi telah tanggal, meskipun arawan telah murah dijual di pasar, tidaklah ada faedahnya lagi karena gigi buat menggeretuknya sudah tidak ada. Demikian juga jika diri sudah mulai tua, sehingga tenaga memberi “nafkah batin” sudah sangat mundur. Meskipun sudah banyak perempuan janda yang muda-muda, yang cantik-cantik, tidaklah akan dapat dinikmati lagi janda muda yang bermusim itu.
Apatah lagi kalau Iman kepada Tuhan tidak ada; walaupun kaya-raya. Al-Walīd bin al-Mughīrah demikianlah halnya: “Sesungguhnya dia terhadap ayat-ayat Kami adalah penantang” Ujung ayat 16).
Menantang kita jadikan arti daripada kalimat “‘ANĪDAN!” ‘Anīd sama juga dengan ‘inād. ‘Inād itu termasuk satu cabang kufur yang jahat. Kufur itu tiga macam: 1). Kāfir inkār. Artinya tidak mau terima, lahir batin, mulut tidak terima, hatipun tidak. 2). Kāfir nifāq. Artinya hati tidak terima, tetapi mulut pura-pura terima. 3). Kāfir ‘inād. Artinya hati telah menerima, tetapi mulut masi berkeras bertahan, tidak mau terima. Segala alasannya telah patah, tempat tegak telah goyah, tetapi demi menjaga kedudukan atau gengsi ditolaknya juga kebenaran itu. Itulah dia ‘Anīd, penentang.
Ar-Rāzī mengatakan dalam tafsirnya bahwa Kāfir ‘Inād itu adalah yang sekeji-keji kufur.
“Akan Aku timpakan kepadanya derita yang memayahkan” (Ayat 17). Sebagai akibat daripada sikapnya menantang kebenaran, padahal hati sanubarinya telah menerima, Tuhan akan menimpakan kepadanya suatu kegelisahan batin yang luar biasa, suatu peperangan di antara kebenaran yang menggelagak dari dalam, dengan hawa nafsu yang bertahan atas pendirian yang salah. Itu akan membuat dia payah sendiri. Sebab kalau mudah mendustai orang lain, adalah amat sukar berdusta dengan diri sendiri. Maka kalau fikiran telah kacau, pedoman hidup akan goncang seingga peganganpun hilang. Dikatakan oleh Tuhan bahwa dia akan menderita tekanan batin yang memayahkan. Seibarat orang yang mendaki bukit yang tinggi, bertambah didaki puncak itu bertambah jauh, sehingga segala tenagapun habislah di tengah jalan: “Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat”. Disangka harta benda dan kekayaan yang banyak akan dapat menjadi benteng sandaran diri, padahal diri bertambah lucut ke dalam lobang kesulitan hidup; kusut fikiran yang sukar untuk diselesaikan.
Maka tersebutlah di dalam suatu riwayat bahwa pada suatu hari al-Walīd bin al-Mughīrah itu lewat di hadapan Nabi s.a.w. Beliau waktu itu sedang membaca Surat “Ḥā Mīm Sajadah” Fushshilāt, Surat ke-41). Sesampai pada ayat:
فَإِنْ أَعْرَضُوْا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَ ثَمُوْدَ.
“Maka jika mereka berpaling katakanlah: “Aku peringatkan kepada kamu pekikan ngeri sebagai pekikan terhadap ‘Ād dan Tsamūd.”
Rupanya al-Walīd sangat ngeri mendengar ayat itu, sampai dia memohon kepada Nabi s.a.w., dengan katanya: “Di atas nama Allah dan di atas nama hubungan darah di antara kita, saya mohon kepada engkau, ya Muḥammad, hentikanlah membaca hingga itu!” Dia berkata demikian karena al-Walīd telah merasakan benar bahwa kalau Muḥammad berdoa, doanya akan diperkenankan Tuhan dan kalau dia mengeluarkan suatu ucapan, maka ucapannya itu bukanlah kata sembarang kata, bukan main-main dan olok-olok. Setelah dia kembali kepada kaumnya, berkatalah al-Walīd: “Demi Allah! Telah saya dengar ucapan Muḥammad itu sebentar ini. Ucapannya itu bukan ucapan manusia dan bukan perkataan jin; enak didengar telinga, manis diucapkan mulut, katanya di atas dan tak dapat diatasi.”
Itu adalah suara hati al-Walīd yang belum terpengaruh oleh yang lain.
Tetapi mendengar dia bercakap demikian timbullah susah dalam hati musyrikin Quraisy. Kalau-kalau al-Walīd telah kena pengaruh Muḥammad. Kalau al-Walīd yang terpengaruh, ranaplah ((hampir) rata dengan tanah (karena tumbang, roboh, dan sebagainya)) Quraisy akan jatuh ke bawah kuasa Muḥammad. Ini musti dicegah.
Lalu berkata Abū Jahl: “Serahkan kepadaku, aku membereskan!”
Maka pergilah Abū Jahl menemui al-Walīd, lalu dia berkata: “Kami mendengar bahwa engkau sudah kena pengaruh Muḥammad. Sedih kami mendengarkan berita itu. Kalau sekali engkau tertarik, engkau akan payah melepaskan diri, apatah lagi kalau sudah termakan makannya. Sebab itu kami telah mengumpulkan uang untuk engkau buat belanja jangan sampai engkau mendekatinya atau sahabatnya.”
Mendengar perkataan Abū Jahl yang demikian, al-Walīd merasa sangat tersinggung.
Lalu dia berkata: “Sedangkan makan mereka saja tidak kenyang, bagaimana saya akan mengambil harta dari mereka?” Timbul marahnya dan disambungnya perkataan: “Saya sanggup menghancurkan Muḥammad dan pengikutnya itu. Kalian mau memberi saya bantuan belanja, padahal kalian tahu berapa banyak kekayaan saya. Demi berhala Lāta! Demi berhala ‘uzzā, saya tidak perlu bantuan harta kalian. Cuma saya hendak berkata sesungguhnya; Kalian selalu mengatakan Muḥammad itu gila! Kalau dia gila, pernah kalian lihat dia tercekik? Mereka menjawab: “Tidak pernah demi Allah!”. Kalian katakan dia itu seorang penyair! Padahal pernah kalian mendengar dia agak sekali mengucapkan suatu syi‘ir? Mereka jawab: “Demi Allah, tidak pernah kami dengar dia bersya‘ir!
Katannya pula: “Kalian tuduh dia seorang pembohong besar. Kalau memang dia pembohong, pernahkah kalian mengadakan suatu percobaan atas kebohongannya? Merekapun menjawab: “Tidak pernah, Demi Allah!”
Lalu kalian tuduh pula bahwa dia itu Kāhin (tukang tenung). Kalau tuduhan itu benar pernahkah kalian alami bahwa dia pernah melakukan pertenungan? Seorang tukang tenung (dukun) biasanya memakai mantera dengan sajak-sajaknya, sambil badannya bergerak-gerak, adakah kalian lihat dia begitu? Mereka jawab: “Tidak pernah kami lihat, Demi Allah! Merekapun mengaku selama ini bahwa Nabi itu adalah ash-Shādiq, al-Amīn, orang yang jujur dan dipercaya.
Karena semuanya itu tidak menurut pendapat al-Walīd, lalu orang-orang Quraisy itu bertanya: “Siapakah dia itu sebenarnya? Cobalah keluarkan pendapatmu hai al-Walīd, siapakah Muḥammad itu sebenarnya: