Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Azhar (2/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Azhar

Sesudah hati dibulatkan kepada Tuhan, hendaklah tilik diri sendiri, sudahkah bersih. Sebab itu maka syarat kedua yang wajib dilengkapkan sesudah membesarkan dan mengagungkan Tuhan ialah: “Dan pakaian engkau bersihkan” (Ayat: 4). Berbagai pula penafsiran ahli tafsir tentang maksud pembersihan pakaian ini. Tetapi di sini kita ambil saja penafsiran yang sederhana, yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w. sendiri:

Kebersihan itu adalah satu sudut dari iman.” (Dirawikan oleh Imām Aḥmad dan at-Tirmidzī).

Beliau Rasūlullāh s.a.w. akan berhadapan dengan orang banyak, dengan pemuka-pemuka dari kaumnya atau dengan siapa saja. Kebersihan adalah salah satu pokok yang penting bagi menarik perhatian orang. Kebersihan pakaian besar pengaruhnya kepada sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan harga diri, yaitu hal yang amat penting dijaga oleh orang-orang yang hendak tegak menyampaikan da‘wah ke tengah-tengah masyarakat. Pakaian yang kotor menyebabkan jiwa sendiripun turut kusut masai. Tiap-tiap manusia yang budiman akan merasakan sendiri betapa besar pengaruh pakaian yang bersih itu kepada hati sendiri dan kepada manusia yang di keliling kita. Itu sebabnya maka setelah syari‘at Islam berdiri. Nabi kita s.a.w. pun selalu menganjurkan kebersihan. Dan beliaupun selalu membersihkan giginya, menggosok dan menyikat dengan semacam urat kayu, yang terkenal dengan nama kayu “‘irak”, yang harum baunya. Dan beliaupun suka pula memakai yang harum-harum. Terutama ketika akan pergi mengerjakan sembahyang jum‘at.

Kebersihan sangat membuka bagi fikiran dan kekotoran atau bau busuk tidak layak di tengah majlis, sehingga beliau pandang makruh (tidak layak) memakan makanan yang baunya kurang enak jika akan pergi ke mesjid berjama‘ah, apatah lagi berjum‘at.

Kemudian datanglah perintah agar memenuhi syarat yang ketiga: “Dan perbuatan dosa hendaklah engkau jauhi” (Ayat: 5).

Dalam ayat ini disebut ar-rujza, kita artikan dengan arti yang dipakai oleh Ibrāhīm an-Nakha‘ī dan adh-Dhaḥḥāk, yaitu hendaklah engkau jauhi dosa. Tetapi menurut riwayat ‘Alī bin Abī Thalḥah yang dia terima dari Ibnu ‘Abbās; ar-Rujza di sini artinya lebih khusus, yaitu berhala.

Artinya yang dipakai oleh Ibnu ‘Abbās inipun harus menjadi pegangan kita juga. Sebab syarat utama dari kemenangan dan keberhasilan da‘wah dan peringatan kepada manusia, terutama kaum musyrikin yang tersesat itu ialah dari semula harus menjauhi kebiasaan mereka yang hendak dibanteras (bentuk tidak baku dari kata: berantas) dan diruntuhkan itu. Yang utama hendak dibanteras dan dihancurkan sebagai pokok pegangan mereka ialah berhala itu. Di dalam Surat ke-14, Surat Ibrāhīm ayat 35 dahulukala Nabi Ibrāhīm telah berdoa kepada Tuhan agar anak cucu beliau dipelihara daripada menyembah berhala, karena sudah terlalu banyak manusia yang menjadi sesat, disesatkan oleh berhala itu. Maka diberilah Nabi kita syarat ketiga sesudah membesarkan Tuhan dan berpakaitan bersih agar menjauhkan diri daripada berhala itu. Jangan mendekat ke sana, jangan menunjukkan muka senang kepadanya. Sehingga apabila beliau tawaf di masa itu keliling Ka‘bah, meskipun lebih 300 berhala besar kecil yang ditegakkan kaum musyrikin keliling Ka‘bah, benar-benar Rasūlullāh s.a.w. ketika tawaf menjauh dari sana. Usahkan memegang, mendekat sajapun tidak.

Sesudah itu Tuhanpun memerintahkan pula memegang syarat keempat:

Dan janganlah engkau menyebut-nyebut, memperbanyak-banyak”. (Ayat: 6).

Artinya ialah jangan menyebut jasa, jangan menghitung-hitung sudah berapaa pengurbanan, perjuangan dan usaha yang telah dikerjakan untuk berbuat baik. Lalu menghitung-hitung sekian banyak jasaku, yang itu adalah usahaku. Yang di sana baru terjadi karena perjuanganku. Si anu terlepas dari bahaya syirik karena pengajaran yang aku berikan.

Inilah satu “penyakit” yang kadang-kadang tidak dapat ditahan-tahan oleh manusia yang alpa akan diri. Diperbuatnya kebajikan, lalu disebut-sebutnya. Bolehlah kita ingat firman Tuhan yang disampaikan Nabi kepada orang yang beriman di dalam Surat ke-2 al-Baqarah ayat 264, supaya orang yang beriman jangan merusakkan shadaqahnya dengan menyebut-nyebut dan menyakiti, sebagai perbuatan orang yang ber-‘amal karena riya’, karena ingin pujian. Maka sejak akan memulai langkah pertama, bangun menyampaikan peringatan, kepada beliau sudah diperingatkan supaya jangan menyebut-nyebut jasa dan jangan pula meminta penghargaan yang banyak.

Memang, begitulah disiplin yang dilekatkan kepada diri seorang Rasūl. Mereka tidak boleh meminta upah kepada manusia, tidak boleh minta pujian. Upah hanya di sisi Allah. Dan tidak boleh menyebut jasa. Karena sebagai manusia yang jadi pelopor dari Iman, apa yang musti dikerjakan dalam dunia ini kalau bukan rentetan sambung-bersambung daripada jasa? Apa yang musti di-‘amal-kan kalau bukan yang baik, yang shalih?

Dan untuk Tuhan engkau, bersabarlah engkau” (Aayat 7). Inilah syarat kelima yaitu shabar.

Pada ayat 10 dari Sūrat-ul-Muzzammil beliau disuruh bersikap sabar, yaitu sabar yang indah. Kelak di Surat ke-76, al-Insan, ayat 24 diperingatkan lagi supaya beliau sabar melaksanakan hukum Tuhan beliau dan jangan diikuti keinginan orang-orang yang berdosa dan kafir itu. Maka bertemulah berpuluh ayat-ayat menyuruh Nabi Muḥammad bersabar, karena pangkal kemenangan tidak lain daripada kesabaran. Di dalam ayat ini diperingatkan benar-benar bahwa Muḥammad perlu sabar. Sabar bukan untuk kepentingan pribadinya sendiri, melainkan untuk terlaksananya kehendak Tuhan. Ketika kesabaran nyaris hilang, ingatlah bahwa awak adalah Utusan Allah. Yang engkau laksanakan ini adalah kehendak Allah dan ummat yang engkau datangi adalah hamba Allah!

Itulah lima syarat yang harus beliau penuhi di dalam melakukan da‘wah, menyampaikan peringatan kepada ummat manusia. Dengan syarat itulah beliau harus bangun tegak, berdiri dan berjuang.

Maka apabila telah ditiup sangkakala” (Ayat: 8). Atau serunai sangkakala, yang menurut sabda Nabi sendiri akan ditiup oleh malaikat yang bernama Isrāfīl, itulah pertanda bahwa permulaan kiamat telah datang.

Maka itulah dia, di hari itu, hari yang sulit” (Ayat: 9). Maka ditiuplah serunai sangkakala itu. Lalu bergoncanglah dunia ini, tanggallah segala sendi-sendinya. Sisa manusia yang masih hidup pada masa itulah mati rata-rata. Bukan saja manusia, bahkan segala yang bernyawa. Tidak ada yang dapat bertahan hidup lagi. Di mana akan hidup? Padahal keadaan segala sesuatu sudah berobah? Gunung-gunung berobah menjadi abu, sehingga tidak ada yang menghalangi angin berembus lagi, maka matilah manusia dan makhluk di muka bumi. Kayu-kayu dihutanpun berbongkar, maka matilah binatang-binatang di hutan. Air dilautpun mendidih menggelagak, ikan-ikanpun matilah dalam laut. Burung-burung tidak dapat hinggap lagi, sebab bumi sudah bergoncang. Burung-burung akan mati kepayahan mencari sarang. Hari itu adalah hari yang sangat sulit.

Bagi orang-orang yang kafir lagi tidak mudah” (Ayat: 10). Sebab tempat pergantungan jiwanya tidak ada. Sejak semula mereka tidak mempunyai pegangan. Mereka menolak ajaran Tuhan, mereka menantang ajaran rasul-rasul. Mereka bertindak di muka bumi membuat kerusakan. Sebab itu bagi mereka hari itu tidak mudah!

Lalu bagi siapa yang mudah? Yang mudah ialah bagi orang yang beriman. Sebab sejak semula mereka telah memperhitungkan jalan yang akan ditempuh, menurut anjuran dan ajaran yang dibawakan oleh utusan-utusan Allah. Mereka tidak takut menghadapi maut, karena segala ‘amalan yang shalih yang mereka kerjakan di kala hidup, tidak lain ialah untuk memudahkan melalui gerbang maut itu.

Semuanya ini adalah peringatan. Kita makhluk dipersilahkan memilih, mau yang mudah, jadi orang berimanlah. Kalau tidak, maka tidaklah mudah jalan yang akan mereka tempuh.

Menurut keterangan dari Ibnu Katsīr dalam tafsirnya, bahwa pada suatu pagi, sembahyang shubuh berjama‘ah di masjid Bashrah, yang jadi imam sembahyang ialah Qādhī negeri Bashrah Zarrārah bin Aufā. Beliau membaca Sūrat-ul-Muddatstsir ini. Sesampai pada ayat 8, 9, dan 19:

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ. عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

Maka apabila telah ditiup sangkakala, maka itulah dia, di hari itu, hari yang sulit, bagi orang-orang yang kafir lagi tidak mudah.

Sesampai di ghairi yasīr itu beliau terhenti membaca dan tersungkur jatuh, terus meninggal…. Raḥimahullāh! Sama dengan sembahyang maghribnya Syaikh Dāūd Rasyīdī di Surau Syaikh Jambek pada tahun 1946; sedang sujud membaca Subḥāna rabbiy-al-a‘lā, beliau terus sujud dan tidak bangun lagi. Beliau telah melepaskan nafasnya yang penghabisan. Raḥimahullāh!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *