Hati Senang

Surah al-Ma’un 107 ~ Tafsir Ibni Katsir

Tafsir Ibnu Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Sūrat-ul-Mā‘ūn

(Barang-barang Yang Berguna)

Makkiyyah atau Madaniyyah, 6 atau 7 ayat,

Atau sebagiannya di Mekkah, sebagiannya lagi di Madinah

Turun sesudah Surat al- Takatsur

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-Mā‘ūn, ayat 1-7

أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ فَذلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Allah s.w.t. berfirman, bahwa tahukah engkau, hai Muhammad, orang yang mendustakan hari pembalasan?

فَذلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ

Itulah orang yang menghardik anak yatim, (al-Mā‘ūn: 2)

Yakni dialah orang yang berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, menganiaya haknya dan tidak memberinya makan serta tidak memperlakukannya dengan perlakuan yang baik.

وَ لَا يَحُضُّ عَلى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ

dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (al-Mā‘ūn: 3)

Semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ، وَ لَا تَحُضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kalian tidak memuliakan anak yatim, dan kalian tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (al-Fajar: 17-18).

Makna yang dimaksud ialah orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk menutupi kebutuhan dan kecukupannya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (al-Mā‘ūn: 4-5)

Ibnu ‘Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang munafik yang mengerjakan shalatnya terang-terangan, sedangkan dalam kesendiriannya mereka tidak shalat. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

لِّلْمُصَلِّيْنَ

bagi orang-orang yang shalat, (al-Mā‘ūn: 4)

Yaitu mereka yang sudah berkewajiban mengerjakan shalat dan menetapinya, kemudian mereka melalaikannya. Hal ini adakalanya mengandung pengertian tidak mengerjakannya bukan pada waktu yang telah ditetapkan baginya menurut syara‘; bahkan mengerjakannya di luar waktunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Masruq dan Abudh-Dhuha.

Atha’ ibnu Dinar mengatakan bahwa segala puji bagi Allah yang telah mengatakan dalam firman-Nya:

عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ

yang lalai dari shalatnya, (al-Mā‘ūn: 5)

Dan tidak disebutkan “yang lalai dalam shalatnya”. Adakalanya pula karena tidak menunaikannya di awal waktunya, melainkan menangguhkannya sampai akhir waktunya secara terus-menerus atau sebagian besar kebiasaannya. Dan adakalanya karena dalam menunaikannya tidak memenuhi rukun-rukun dan persyaratannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Dan adakalanya saat mengerjakannya tidak khusyuk dan tidak merenungkan maknanya. Maka pengertian ayat mencakup semuanya itu. Tetapi orang yang menyandang sesuatu dari sifat-sifat tersebut berarti dia mendapat bagian dari apa yang diancamkan oleh ayat ini. Dan barang siapa yang menyandang semua sifat tersebut, berarti telah sempurnalah baginya bagiannya dan jadilah dia seorang munafik dalam amal perbuatannya. Di dalam kitab Shaḥīḥain telah disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَ أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللهَ إِلَّا قَلِيْلاً

Itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk shalat) dan mematuk (shalat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.

Ini merupakan gambaran shalat ‘Ashar di waktu yang terakhirnya, shalat ‘Ashar sebagaimana yang disebutkan dalam nas hadis lain disebut shalat wusthā, dan yang digambarkan oleh hadis adalah batas terakhir waktunya, yaitu waktu yang dimakruhkan. Kemudian seseorang mengerjakan shalatnya di waktu itu dan mematuk sebagaimana burung gagak mematuk, maksudnya ia mengerjakan shalatnya tanpa thuma’ninah dan tanpa khusyuk. Karena itulah maka dikecam oleh Nabi s.a.w. bahwa orang tersebut tidak menyebut Allah dalam shalatnya, melainkan hanya sedikit (sebentar). Barangkali hal yang mendorongnya melakukan shalat tiada lain pamer kepada orang lain, dan bukan karena mengharap rida Allah. Orang yang seperti itu sama kedudukannya dengan orang yang tidak mengerjakan shalat sama sekali. Allah s.w.t. telah berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ يُخَادِعُوْنَ اللهَ وَ هُوَ خَادِعُهُمْ وَ إِذَا قَامُوْا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوْا كُسَالَى يُرَاءُوْنَ النَّاسَ وَ لَا يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلَّا قَلِيْلاً

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (An-Nisā’: 142).

Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ

orang-orang yang berbuat riya’, (al-Mā‘ūn: 6).

Imam Thabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yaḥya ibnu ‘Abdullah ibnu ‘Abdu Rabbih al-Baghdadi, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ul-Wahhab ibnu ‘Atha’; dari Yunus, dari al-Ḥasan, dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:

إنَّ فِيْ جَهَنَّمَ لَوَادِيًا تَسْتَعِيْذُ جَهَنَّمُ مِنْ ذلِكَ الْوَادِيْ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ أَرْبَعَمِائَةِ مَرَّةٍ أَعَدَّ ذلِكَ الْوَادِيْ لِلْمُرَائِيْنَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ لِحَامِلِ كِتَابِ اللهِ وَ لِلْمُصَدِّقِ فِيْ غَيْرِ ذَاتِ اللهِ وَ لِلْحَاجِّ إِلَى بَيْتِ اللهِ وَ لِلْخَارِجِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam benar-benar terdapat sebuah lembah yang neraka Jahanam sendiri meminta perlindungan kepada Allah dari (keganasan) lembah itu setiap harinya sebanyak empat ratus kali. Lembah itu disediakan bagi orang-orang yang riya’ (pamer) dari kalangan umat Muhammad yang hafal Kitabullah dan suka bersedekah, tetapi bukan karena Zat Allah, dan juga bagi orang yang berhaji ke Baitullah dan orang yang keluar untuk berjihad (tetapi bukan karena Allah s.w.t.).

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na‘im, telah menceritakan kepada kami al-A‘masy, dari ‘Amr ibnu Murrah yang mengatakan bahwa ketika kami sedang duduk di majelis Abu ‘Ubaidah, lalu mereka berbincang-bincang tentang masalah riya’. Maka berkatalah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Yazid, bahwa ia pernah mendengar ‘Abdullah ibnu ‘Amr mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ سَمَّعَ اللهُ بِهِ سَامِعَ خَلْقِهِ وَ حَقَّرَهُ وَ صَغَّرَهُ

Barang siapa yang pamer kepada orang lain dengan perbuatannya, maka Allah akan memamerkannya di hadapan makhluk-Nya dan menjadikannya terhina dan direndahkan.

Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Gundar dan Yaḥya al-Qaththan, dari Syu‘bah, dari ‘Amr ibnu Murrah, dari seorang lelaki, dari ‘Abdullah ibnu ‘Amr, dari Nabi s.a.w., lalu disebutkan hal yang semisal. Dan termasuk hal yang berkaitan dengan makna firman-Nya:

الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ

orang-orang yang berbuat riya’, (al-Mā‘ūn: 6).

Ialah bahwa barang siapa yang melakukan suatu perbuatan karena Allah, lalu orang lain melihatnya dan membuatnya merasa takjub dengan perbuatannya, maka sesungguhnya hal ini bukan termasuk perbuatan riya’. Dalil yang membuktikan hal ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh al-Ḥafizh Abu Ya‘la al-Maushuli di dalam kitab musnadnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma‘ruf, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa‘id ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami al-A‘masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa ketika aku sedang salat, tiba-tiba masuklah seorang lelaki menemuiku, maka aku merasa kagum dengan perbuatanku. Lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Rasulullah s.a.w., maka beliau s.a.w. bersabda:

كُتِبَ لَكَ أَجْرَانِ: أَجْرُ السِّرِّ وَ أَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

Dicatatkan bagimu dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan.

Abu ‘Ali alias Harun ibnu Ma‘ruf mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Ibnul Mubarak pernah mengatakan bahwa hadis ini adalah sebaik-baik hadis bagi orang-orang yang riya’. Bila ditinjau dari segi jalurnya hadis ini gharīb, dan Sa‘id ibnu Basyir orangnya pertengahan, dan riwayatnya dari al-A‘masy jarang, tetapi selain dia ada yang meriwayatkan hadis ini dari al-A‘masy.

Abu Ya‘la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn-ul-Mutsanna ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Abu Sinan, dari Ḥabib ibnu Abu Tsabit, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa pernah seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki melakukan suatu amal kebaikan yang ia sembunyikan. Tetapi bila ada yang melihatnya, ia merasa kagum dengan amalnya.” Maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

لَهُ أَجْرَانِ: أَجْرُ السِّرِّ وَ أَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

Dia mendapat dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan.

Imam Tirmidzi telah meriwayatkannya dari Muhammad ibn-ul-Mutsanna dan Ibnu Majah, dari Bandar, keduanya dari Abu Daud ath-Thayalisi, dari Abu Sinan asy-Syaibani yang namanya Dhirar ibnu Murrah. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini gharīb. Al-A‘masy telah meriwayatkannya dan juga yang lainnya, dari Ḥabib, dari Abu Shalih secara mursal.

Abu Ja‘far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu‘awiyah ibnu Hisyam, dari Syaiban an-Nahwi, dari Jabir al-Ju‘fi, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki, dari Abu Barzah al-Aslami yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:

الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ

(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (al-Mā‘ūn: 5)

Maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

اللهُ أَكْبَرُ هذَا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ لَوْ أُعْطِيَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ مِثْلَ جَمِيْعِ الدُّنْيَا هُوَ الَّذِيْ إِنْ صَلَّى لَمْ يَرْجُ خَيْرَ صَلَاتِهِ وَ إِنْ تَرَكَهَا لَمْ يَخَفْ رَبَّهُ

Allahu Akbar (Allah Maha Besar), ini lebih baik bagi kalian daripada sekiranya tiap-tiap orang dari kalian diberi hal yang semisal dengan dunia dan seisinya. Dia adalah orang yang jika shalat tidak dapat diharapkan kebaikan dari shalatnya, dan jika meninggalkannya dia tidak takut kepada Tuhannya.

Di dalam sanad hadis ini terdapat Jabir al-Ju‘fi, sedangkan dia orangnya dha‘īf dan gurunya tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Aban al-Mishri, telah menceritakan kepada kami ‘Amr ibnu Thariq, telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepadaku ‘Abd-ul-Malik ibnu ‘Umair, dari Mush‘ab ibnu Sa‘d, dari Sa‘d ibnu Abu Waqqash yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang orang-orang yang lalai dari shalatnya. Maka beliau s.a.w. menjawab:

هُمُ الَّذِيْنَ يُؤَخِّرُوْنَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا

Mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya.

Menurut hemat saya, pengertian mengakhirkan shalat dari waktunya mengandung makna meninggalkan shalat secara keseluruhan, juga mengandung makna mengerjakannya di luar waktu syar‘i-nya, atau mengakhirkannya dari awal waktunya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh al-Ḥafizh Abu Ya‘la, dari Syaiban ibnu Farukh, dari ‘Ikrimah ibnu Ibrahim dengan sanad yang sama. Kemudian ia meriwayatkannya dari ar-Rabi‘, dari Jabir, dari ‘Ashim, dari Mush‘ab, dari ayahnya secara mauqūf, bahwa karena lalai dari shalatnya hingga waktunya terbuang. Hal ini lebih shaḥīḥ sanad-nya. Imam Baihaqi menilai dha‘īf predikat marfū‘-nya dan menilai shaḥīḥ predikat mauqūf-nya, demikian pula yang dikatakan oleh Imam Ḥakim.

Firman Allah s.w.t.:

وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mā‘ūn: 7).

Yakni mereka tidak menyembah Tuhan mereka dengan baik dan tidak pula mau berbuat baik dengan sesama makhluk-Nya, hingga tidak pula memperkenankan dipinjam sesuatunya yang bermanfaat dan tidak mau menolong orang lain dengannya, padahal barangnya masih utuh, setelah selesai, dikembalikan lagi kepada mereka. Dan orang-orang yang bersifat demikian benar-benar lebih menolak untuk menunaikan zakat dan berbagai macam amal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.

Ibnu Abi Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ‘Ali pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-mā‘ūn ialah zakat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh as-Saddi, dari Abu Shalih, dari ‘Ali. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu ‘Umar. Hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnul Ḥanafiah, Sa‘id ibnu Jubair, ‘Ikrimah, Mujahid, ‘Atha’, Athiyyah al-Aufi, az-Zuhri, al-Ḥasan, Qatadah, adh-Dhaḥḥak, dan Ibnu Zaid.

Al-Ḥasan al-Bashri telah mengatakan bahwa jika dia shalat pamer dan jika terlewatkan dari shalatnya, ia tidak menyesal dan tidak mau memberi zakat hartanya; demikianlah makna yang dimaksud. Menurut riwayat yang lain, ia tidak mau memberi sedekah hartanya.

Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang munafik; mengingat shalat adalah hal yang kelihatan, maka mereka mengerjakannya, sedangkan zakat adalah hal yang tersembunyi, maka mereka tidak menunaikannya.

Al-A‘masy dan Syu‘bah telah meriwayatkan dari al-Ḥakim, dari Yaḥya ibn-ul-Kharraz, bahwa Abul-‘Abidin pernah bertanya kepada ‘Abdullah ibnu Mas‘ud tentang makna al-mā‘ūn, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara semasa orang, seperti kapak, panci, timba, dan lain sebagainya yang serupa.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu ‘Ubaid al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul-Aḥwash, dari Abu Ishaq, dari Abul-‘Abidin dan Sa‘d ibnu ‘Iyadh, dari ‘Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami para sahabat Nabi Muhammad s.a.w membicarakan makna al-mā‘ūn, bahwa yang dimaksud adalah timba, kapak, dan panci yang biasa digunakan. Telah menceritakan pula kepada kami Khallad ibnu Aslam, telah menceritakan kepada kami an-Nadhr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa‘d ibnu ‘Iyadh menceritakan hal yang sama dari sahabat-sahabat Nabi s.a.w.

Al-A‘masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, dari al-Ḥarits ibnu Suwaid dari ‘Abdullah, bahwa ia pernah ditanya tentang makna al-mā‘ūn. Maka ia menjawab, bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang biasa saling dipinjamkan di antara orang-orang, seperti kapak, timba, dan lain sebagainya yang semisal.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Amr ibn-ul-‘Ala al-Fallas, telah menceritakan kepada kami Abu Daud ath-Thayalisi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari Abu Wa’il, dari ‘Abdullah yang mengatakan bahwa kami di masa Nabi s.a.w. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-mā‘ūn ialah timba dan lain sebagainya yang sejenis, yakni tidak mau meminjamkannya kepada orang yang mau meminjamnya.

Abu Daud dan Nasa’i telah meriwayatkan hal yang semisal dari Qutaibah, dari Abu Uwwanah berikut sanadnya. Menurut lafaz Imam Nasa’i, dari ‘Abdullah, setiap kebajikan adalah sedekah. Dan kami di masa Rasulullah s.a.w. menganggap bahwa al-mā‘ūn artinya meminjamkan timba dan panci.

Ibnu Abi Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘Affan, dari Zurr, dari ‘Abdullah yang mengatakan bahwa al-mā‘ūn artinya barang-barang yang dapat dipinjam-pinjamkan, seperti panci, timbangan, dan timba.

Ibnu Abi Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mā‘ūn: 7).

Yakni peralatan rumah tangga. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, Sa‘id ibnu Jubair, Abu Malik, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa sesungguhnya makna yang dimaksud ialah meminjamkan peralatan rumah tangga (dapur).

Laits ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mā‘ūn: 7).

Bahwa orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini masih belum tiba masanya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mā‘ūn: 7).

Ulama berbeda pendapat mengenai maknanya; di antara mereka ada yang mengatakan enggan mengeluarkan zakat, ada yang mengatakan enggan mengerjakan ketaatan, dan ada yang mengatakan enggan memberi pinjaman. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ya‘qub ibnu Ibrahim, dari ibnu ‘Aliyyah, dari Laits ibnu Abu Sulaim, dari Abu Isḥaq, dari al-Ḥarits ibnu ‘Ali, bahwa makna yang dimaksud dengan ayat ini ialah enggan meminjamkan kapak, panci, dan timba kepada orang lain yang memerlukannya.

‘Ikrimah mengatakan bahwa puncak al-mā‘ūn ialah zakāt-ul-māl, sedangkan yang paling rendahnya ialah tidak mau meminjamkan ayakan, timba dan jarum. Demikian menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ḥatim. Pendapat yang dikemukakan oleh ‘Ikrimah ini baik, karena sebelumnya, dan semuanya bertitik tolak dari suatu hal, yaitu tidak mau bantu-membantu baik dengan materi maupun jasa (manfaat). Karena itulah disebutkan oleh Muhammad ibnu Ka‘b sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mā‘ūn: 7).

Bahwa makna yang dimaksud ialah tidak mau mengulurkan kebajikan atau hal yang ma‘rūf. Di dalam sebuah hadis disebutkan:

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ

Tiap-tiap kebajikan adalah sedekah.

Ibnu Abi Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa‘id al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki‘, dari Ibnu Abu Zi’b, dari az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mā‘ūn: 7).

Al-mā‘ūn menurut dialek orang-orang Quraisy artinya materi (harta). Sehubungan dengan hal ini telah diriwayatkan sebuah hadis yang gharīb lagi aneh sanad dan matannya. Untuk itu Ibnu Abi Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dan Abu Zar‘ah, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Ḥafsh. Ad-Darimi, telah menceritakan kepada kami Dalham ibnu Dahim al-‘Ajali, telah menceritakan kepadaku Qurrah ibnu Damush an-Numairi, bahwa mereka menjadi delegasi kaumnya kepada Rasulullah s.a.w., lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang akan engkau wasiatkan kepada kami?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Janganlah kamu enggan menolong dengan al-mā‘ūn.”

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan al-mā‘ūn itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Dengan batu, besi dan air”. Mereka bertanya: “Besi yang manakah?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Panci kalian yang terbuat dari tembaga, kapak yang terbuat dari besi yang kamu gunakan sebagai sarana bekerjamu.”

Mereka bertanya: “Lalu apakah yang dimaksud dengan batu?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Kendil kalian yang terbuat dari batu.” Hadis ini gharīb sekali dan predikat marfū‘-nya munkar, dan di dalam sanad-nya terdapat nama perawi yang tidak dikenal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Ibnu Atsir di dalam kitab ash-Shaḥābah telah menyebutkan dalam biografi ‘Ali an-Numairi; untuk itu ia mengatakan bahwa Ibnu Mani‘ telah meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada ‘Amr ibnu Rabi‘ah ibnu Qais an-Numairi, dari ‘Ali ibnu Fulan an-Numairi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ إِذَا لَقِيَهُ جَاءَ بِالسَّلاَمِ وَ يَرُدُّ عَلَيْهِ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ لاَ يَمْنَعُ الْمَاعُوْنَ

Orang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya; apabila mengucapkan salam, maka yang disalami harus menjawabnya dengan salam yang lebih baik darinya, ia tidak boleh mencegah al-mā‘ūn.

Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan al-mā‘ūn?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

الْحَجَرُ وَ الْحَدِيْدُ وَ أَشْبَاهُ ذلِكَ

(Perabotan yang terbuat dari) batu dan besi dan lain sebagainya.

Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Demikianlah akhir tafsir sūrat-ul-Mā‘ūn, segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.