Paragraf berikutnya menampilkan sebuah pemandangan tentang dakwah di Makkah. Di sana, kaum musyrikin mempercepat langkahnya menuju tempat Rasūlullāh s.a.w. yang sedang membaca al-Qur’ān. Kemudian mereka berpencar di sekitar beliau dengan berkelompok-kelompok. Maka Allah menganggap buruk kebergegasan dan berkumpulnya mereka tanpa ada keingingan untuk mendapatkan petunjuk pada apa yang mereka dengarkan itu:
فَمَالِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا قِبَلَكَ مُهْطِعِيْنَ. عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ.
“Mengapakah orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu, dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok?” (al-Ma‘ārij: 36-37.)
“Al-Muhthi‘ (الْمُهْطِع)” ialah orang yang melangkah dengan cepat sambil mengulurkan lehernya seperti ditarik kendalinya. Sedangkan “‘izīn (عِزِيْنَ)” adalah bentuk jama‘ dari “‘izah” seperti kata “fi’ah” baik dalam wazan (timbangan kata) maupun ma‘nanya. Pengungkapan dengan kata ini adalah celaan yang samar mengenai gerakan mereka yang meragukan. Juga untuk menggambarkan gerakan dan keadaan yang karenanya menjadi lengkap, dan menunjukkan keheranan terhadap sikap mereka, sekaligus mempertanyakan keadaan mereka. Mereka bergegas-gegas menuju Rasūlullāh s.a.w. itu bukannya untuk mendengarkan (bacaan al-Qur’ān) dan mencari petunjuk. Akan tetapi, mereka hanya hendak muncul secara mengejutkan untuk mengacaukan. Kemudian mereka kembali berkumpul dengan sesama kelompok mereka untuk membicarakan tipu-daya selanjutnya dan menangkal apa yang mereka dengar itu.
Mengapa mereka itu?
أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيْمٍ.
“Adakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk ke dalam surga yang penuh keni‘matan?” (al-Ma‘ārij: 38.)
Padahal mereka berada dalam kondisi yang tidak mengantarkannya ke surga yang penuh keni‘matan, malah mengantarkan mereka ke neraka yang apinya menyala-nyala, tempat kembalinya orang-orang yang berdosa!
Atau, barangkali mereka mengira bahwa diri mereka adalah agung di sisi Allah, lantas mereka kafir dan mengganggu Rasūl, serta mendengarkan al-Qur’ān dan berbisik-bisik satu sama lain untuk membuat tipu-daya. Kemudian mereka masuk surga, karena di dalam timbangan Allah mereka itu adalah sesuatu yang agung.
“Sekali-kali tidak!” Ini sebuah perkataan untuk menghardik dan merendahkan mereka.
كَلَّا إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِّمَّا يَعْلَمُوْنَ.
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani).” (al-Ma‘ārij: 39.)
Mereka mengetahui dari apa mereka diciptakan. Yaitu, dari air hina yang sudah mereka kenal. Ungkapan al-Qur’ān yang indah ini memberikan sentuhan kepada mereka dengan sentuhan yang samar dan dalam. Dengan sentuhan ini dihapusnya kesombongan dan dijungkirkan kecongkakan mereka, tanpa menggunakan sepatah kata pun yang tidak mengenai sasaran, dan tidak menggunakan satu ungkapan pun yang melukai. Akan tetapi, isyārat sepintas ini menggambarkan kerendahan, tidak adanya perhatian, dan ketidakberhargaan dengan gambaran yang sangat sempurna. Maka bagaimana mereka ingin masuk surga yang penuh keni‘matan itu, sedangkan mereka kafir dan tindakannya amat buruk? Mereka diciptakan dari sesuatu yang mereka ketahui. Dalam pandangan Allah, mereka itu terlalu hina untuk bertindak lancang terhadap-Nya dan merobek sunnah-Nya dalam pembalasan yang adil dengan api yang menyala-nyala lantas diganti dengan surga yang penuh keni‘matan.
Selanjutnya, di dalam menghinakan urusan mereka, mengecilkan keadaan mereka, dan menjungkirkan kesombongan mereka, al-Qur’ān menetapkan bahwa Allah berkuasa untuk menciptakan kaum yang lebih baik daripada mereka, dan mereka (kaum yang baru) itu tidak lemah serta dapat pergi tanpa terkena balasan ‘adzāb yang pedih.
فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُوْنَ. عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ مَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَ.
“Maka, Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang bahwa sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa, untuk mengganti (mereka) dengan kaum yang lebih baik dari mereka, dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan” (al-Ma‘ārij: 40-41.)
Masalah ini sebenarnya tidak memerlukan sumpah. Akan tetapi, penyebutan tempat terbit dan terbenamnya matahari mengesankan agungnya Sang Maha Pencipta. “Masyāriq” dan “Maghārib” (yang diterjemahkan dengan tempat terbit dan terbenamnya matahari) di sini boleh jadi yang dimaksudkan adalah tempat-tempat terbitnya bintang di timur dan di barat yang banyak jumlahnya di alam semesta yang luas ini, sebagaimana boleh jadi yang dimaksudkan adalah belahan timur dan belahan barat yang berkesinambungan di hamparan bumi ini. Karena, timur dan barat senantiasa berjalan silih berganti setiap waktu di tengah-tengah perputaran bumi pada porosnya dan dalam mengelilingi matahari yang terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat.
Ada pun yang dimaksud dengan “Masyāriq” dan “Maghārib” ini, hal ini mengesankan di dalam hati betapa besarnya alam semesta, dan menunjukkan betapa agunnya Penciptanya. Nah, kalau begitu, apakah urusan makhlūq yang diciptakan dari sesuatu yang sudah mereka ketahui itu memerlukan sumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan tenggelamnya matahari, sedangkan Allah Maha Kuasa untuk menciptakan kaum yang lebih baik daripada mereka, dan mereka sendiri tidak dapat mendahului-Nya, tidak dapat lepas dari-Nya, dan tidak dapat lari dari tempat kembali yang sudah dipastikan bagi mereka?!
Ketika pembicaraan sampai pada bagian ini, setelah melukiskan ‘adzāb yang mengerikan pada hari yang disaksikan itu, dan setelah melukiskan kemuliaan ni‘mat bagi orang-orang mu’min dan kehinaan keadaan orang-orang kafir, maka ayat-ayat berikutnya ditujukan kepada Rasūlullāh s.a.w. agar membiarkan mereka menghadapi hari kiamat dan ‘adzāb itu. Lalu dilukiskanlah pemandangan mereka di sana dengan pemandangan yang menyedihkan dan penuh kehinaan:
فَذَرْهُمْ يَخُوْضُوْا وَ يَلْعَبُوْا حَتَّى يُلَاقُوْا يَوْمَهُمُ الَّذِيْ يُوْعَدُوْنَ. يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوْفِضُوْنَ. خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ذلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ.
“Maka, biarkanlah mereka tenggelam (dalam kebāthilan) dan bermain-main sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka, (yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia), dalam keadaan mereka menekurkan pandangannya (dan) diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.” (al-Ma‘ārij: 42-44.)
Khithāb ini mengandung penghinaan terhadap keadaan mereka dan ancaman untuk mereka, yang menimbulkan rasa takut. Pemandangan mereka dengan segala keadaan dan gerak mereka yang demikian pada hari kiamat itu juga menimbulkan rasa takut, sebagaimana pengungkapan tentang pelecehan dan penghinaan terhadap mereka itu sangat sesuai dengan kesombongan diri mereka dengan kedudukan mereka.
Mereka yang keluar dari kubur dengan bergegas-gegas itu seakan-akan sedang pergi kepada berhala-berhala sembahan mereka. Penghinaan yang demikian ini sesuai sekali dengan keadaan mereka sewaktu di dunia. Dahulu mereka bergegas-gegas menuju patung-patung mereka pada hari-hari besar, dan mereka berkumpul di sekitarnya. Maka, kini mereka sedang bergegas-gegas, tetapi keadaan pada hari ini jauh berbeda dengan hari itu!
Kemudian, lengkaplah penyebutan keadaan mereka dengan firman-Nya:
“dalam keadaan mereka menekurkan pandangannya (dan) diliputi kehinaan.”
Dari celah-celah kalimat ini kita melihat keadaan mereka secara lengkap. Dan, dari roman muka mereka tampaklah bagi kita suatu gambaran yang jelas, gambaran manusia yang hina dan menderita. Karena sewaktu di dunia, mereka suka mengada-ada dan bermain-main, maka pada hari ini mereka menjadi orang yang hina dan pesakitan.
“Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.” (al-Ma‘ārij: 44.)
Yang selalu mereka sangsikan, mereka dustakan, dan mereka minta segera didatangkan!
Dengan demikian, serasilah antara permulaan dan penutupan surah. Sempurnalah mata rantai pengobatan panjang tentang persoalan hari kebangkitan dan pembalasan. Maka, selesailah salah satu putaran dari perjalanan peperangan yang panjang antara pandangan hidup jāhiliyyah dan pandangan hidup Islāmi.