Arah pokok surah al-Ḥāqqah adalah menetapkan hakikat kesungguhan dan keseriusan mengenai bidang ‘aqīdah. Karena itu, hakikat akhirat adalah salah satu dari hakikat-hakikat yang ada dalam surah ini seperti hakikat dihukumnya orang-orang yang mendustakan agama-Nya dengan hukuman yang berat di dunia ini, dan dihukumnya setiap orang yang mengganti ‘aqīdahnya, tanpa toleransi. Sedangkan, arah pokok dalam surah al-Ma‘ārij adalah menetapkan hakikat beserta pembalasan di sana dan timbangan pembalasan. Maka, hakikat akhirat menjadi hakikat pokok dalam surah ini.
Karena itu, hakikat-hakikat lain dalam surah ini berhubungan secara langsung dengan perbedaan perhitungan Allah pada hari-hariNya dengan perhitungan manusia, dan ukuran Allah terhadap hari akhir dengan ukuran manusia, sebagaimana tercantum dalam surah al-Ma‘ārij ayat 4-7, perbedaan jiwa manusia ketika menghadapi kesusahan dan kesenangan, ketika beriman dan ketika kosong dari iman. Kedua hal ini layak mendapatkan pembalasan pada hari pembalasan; dan keinginan orang-orang kafir untuk masuk surga Na‘īm, padahal dalam pandangan Allah mereka itu sangat hina, dan tidak mampu untuk berlari dan melepaskan diri dari ‘adzāb-Nya. Masalah ini berkaitan erat dengan al-asīl (poros) pokok surah ini.
Demikianlah, hampir seluruh isi surah ini terbatas membahas masalah hakikat akhirat yang merupakan hakikat besar yang sangat urgen untuk dimantapkan ke dalam jiwa, di samping adanya bermacam-macam sentuhan dan hakikat lain yang menyertai tema pokoknya.
Fenomena lain adalah adanya irama musikal dalam surah ini, yang timbul dari bagunan dan bentuk pengungkapannya. Nuansa ritmis dalam surah al-Ḥāqqah timbul dari perubahan rima (sajak, kata terakhir) pada setiap baris atau ayatnya, sesuai dengan ma‘na dan nuansanya. Sedangkan dalam surah al-Ma‘ārij, keanekaragaman itu lebih jauh jangkauannya. Karena ia meliputi macam-macam kalimat yang bernuansa musikal secara keseluruhan, bukan hanya rima pada akhir kalimat saja. Kalimat yang bernuasa musikal di sini lebih dalam, lebih luas, dan lebih kokoh susunannya. Jenis ini banyak ditemui dalam separo pertama surah ini dalam bentuk komentar.
Pada permulaan surah ini terdapat tiga kalimat musikal yang beraneka macam, meskipun sama irama akhirnya, dilihat dari segi panjang dan irama-irama parsialnya sebagaimana contoh berikut ini:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.
“Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzāb yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka, bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan, kami memandangnya dekat (pasti terjadi). Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan). Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya. (al-Ma‘ārij: 1-10.)
Rangkaian ini berakhir dengan memanjangkan bunyi alif pada baris (ayat) kelima.
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.
“Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan, kami memandangnya dekat (pasti terjadi)” (al-Ma‘ārij: 6-7.)
يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.
“Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan). Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya” (al-Ma‘ārij: 8-10.)
Rangkaian ini berakhir dengan memanjangkan bunyi alif pada ayat ketiga, dengan bermacam-macam rima di dalamnya.
يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ. كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.
“Sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzāb hari itu dengan anak-anaknya, istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia), serta orang-orang di atas bumi seluruhnya. Kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak” (al-Ma‘ārij: 11-15.)
Rangkaian ini berakhir dengan memanjangkan alif pada baris kelima sebagaimana pada bagian yang pertama di atas.
نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى. إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.
“Yang mengelupaskan kulit kepala, dan memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta (memanggil orang yang) mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir.” (al-Ma‘ārij: 16-21.)
Di sini, perulangan bunyi yang sama pada alif panjang terjadi lima kali, dan dua di antaranya yang terletak pada kedua ayat terakhir berbeda dengan tiga ayat yang pertama.
Kemudian terjadi perulangan bunyi yang sama pada mīm dan nūn, yang sebelumnya didahului dengan wāu atau yā’.
Penampilan aneka macam rima pada permulaan surah sangat mendalam dan mengikat dalam nuansa iramanya yang dirasakan oleh telinga begitu indah. Nuansa musikalnya tinggi, indah, dan terasa asing di lingkungan bangsa ‘Arab, juga asing di kalangan sastrawan ‘Arab. Akan tetapi, uslub al-Qur’ān ini memberikan kemudahan untuk masuk ke dalam telinga bangsa ‘Arab sehingga dapat diterima, meskipun nilai sastranya sangat indah, mendalam, dan baru bagi irama-irama tradisional mereka. (61)
Sekarang marilah kita paparkan surah ini secara terperinci.
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ. كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.
“Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzāb yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka, bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustaḥīl). Sedangkan, kami memandangnya dekat (pasti terjadi). Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya, sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzāb hari itu dengan anak-anaknya, istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia), serta orang-orang di atas bumi seluruhnya. Kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala, dan memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta (memanggil orang yang) mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. (al-Ma‘ārij: 1-18.)
Hakikat akhirat adalah salah satu dari hakikat-hakikat yang sulit dimengerti oleh orang-orang musyrik ‘Arab. Hakikat ini mendapat penentangan yang mendalam di dalam jiwa mereka. Sehingga, mereka menghadapinya dengan penuh keheranan, keterkejutan, dan merasa aneh. Mereka menolak sekeras-kerasnya dan mereka menentang Rasūlullāh s.a.w. dengan berbagai macam tantangan supaya beliau mendatangkan kepada mereka hari yang dijanjikan itu, atau agar beliau dapat menyampaikan kepada mereka kapan terjadinya hari itu.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa yang meminta ‘adzāb ini adalah an-Nadhr ibn-ul-Ḥārits. Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbās juga, ia mengatakan bahwa itu adalah pertanyaan orang kafir mengenai ‘adzāb Allah padahal ‘adzāb itu bakal menimpa mereka.
Bagaimanapun halnya, maka surah ini menceritakan bahwa di sana ada orang yang meminta didatangkannya ‘adzāb, bahkan meminta disegerakan datangnya. Surah ini juga menetapkan bahwa ‘adzāb itu bakal terjadi, karena ia pasti akan terjadi sesuai dengan ketentuan Allah dilihat dari satu segi, dan sudah dekat terjadinya dilihat dari segi lain. Tidak seorang pun yang akan dapat menolak atau mencegahnya. Maka, menanyakannya atau meminta disegerakan kedatangannya, padahal ia pasti terjadi dan tidak dapat ditolak oleh seorang pun, menunjukkan kesialan orang yang meminta disegerakan kedatangannya itu, baik personal maupun komunal.
‘Adzāb ini akan ditimpakan kepada orang-orang kafir secara mutlak, termasuk di dalamnya orang-orang yang meminta disegerakan kedatangannya dan setiap orang yang kafir. ‘Adzāb ini pasti dari Allah “Yang mempunyai tempat-tempat naik”, suatu ungkapan tentang ketinggian dan keluhuran, sebagaimana disebutkan dalam surah lain:
“Dialah Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang Mempunyai ‘Arasy.” (al-Mu’min: 15).
Setelah pembukaan yang menetapkan kata pasti tentang masalah ‘adzāb, bakal terjadinya, mengenai orang-orang yang layak mendapatkannya, sumbernya, dan ketinggian dan keluhuran sumber ini – yang menjadikan keputusan-Nya bersifat luhur, pasti terlaksana, dan tidak ada yang dapat menolaknya – , maka diterangkanlah kondisi hari yang bakal terjadi dengan segala ‘adzābnya itu, dan yang mereka minta disegerakan kedatangannya padahal kedatangannya itu sudah dekat. Hanya saja ukuran Allah tidak sama dengan ukuran manusia:
“Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka, bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustaḥīl). Sedangkan, kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (al-Ma‘ārij: 4-7.)
Menurut pendapat yang lebih kuat, hari yang diisyaratkan di sini adalah hari kiamat, karena konteksnya hampir pasti menunjukkan ma‘na ini. Pada hari ini para malaikat dan Jibrīl naik menghadap Allah. Dan, yang dimaksud dengan ar-rūḥ di sini adalah malaikat Jibrīl a.s. sebagaimana disebutkan dalam surah-surah lain. Disebutkannya malaikat Jibrīl sesudah disebutkannya para malaikat karena ia memiliki urusan khusus. Disebutkannya naiknya para malaikat dan malaikat Jibrīl pada hari ini menunjukkan penting dan khususnya mereka pada hari ini, yaitu mereka naik berkenaan dengan urusan dan kepentingan hari ini.
Kita tidak mengetahui dan tidak ditugasi untuk mengetahui bagaimana sifat kepentingan ini, bagaimana cara para malaikat itu naik, dan ke mana mereka naik. Semua ini adalah urusan ghaib yang tidak menemabah hikmah nash kalau disebutkan perinciannya. Kita tidak mempunyai jalan untuk mencapainya, dan tidak mempunyai pemandu yang menunjukkan ke sana. Maka, cukuplah bagi kita untuk merasakan betapa pentingnya hari itu dari celah-celah pemandangan ini. Ya‘ni, pemandangan yang menunjukkan bagaimana para malaikat dan Jibrīl sibuk melakukan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan kepentingan hari yang besar itu.
Adapun kalimat “kadarnya lima puluh ribu tahun” mungkin sebagai kiasan terhadap lamanya hari itu, sebagaimana yang biasa terjadi dalam ungkapan bahasa ‘Arab. Mungkin juga menunjukkan hakikat tertentu dan kadar hari itu adalah lima puluh ribu tahun hitungan tahun-tahun penduduk bumi, padahal waktu sepanjang ini hanya satu hari saja pada hari kiamat. Hakikat ini sekarang memang sangat dekat, karena hari kita dalam kehidupan dunia diukur dari perputaran bumi pada porosnya dalam masa dua puluh empat jam. Di sana terdapat bintang-bintang yang perputaran pada porosnya beribu-ribu kali lipat dari hari-hari kita. Ini bukan berarti bahwa yang dimaksud di sini adalah lima puluh ribu tahun itu. Akan tetapi, kami sebutkan hakikat ini untuk mendekatkan kepada pikiran mengenai gambaran tentang perbedaan ukuran hari ini dengan hari itu.
Apabila sehari dari hari-hari Allah itu sama dengan lima puluh ribu tahun, maka ‘adzāb hari itu oleh mereka dianggap sesuatu yang sangat jauh, padahal menurut pandangan Allah adalah dekat. Karena itulah, Allah menyeru Nabi-Nya s.a.w. supaya bersabar dengan kesabaran yang baik di dalam menghadapi permintaan mereka agar disegerakannya ‘adzāb dan di dalam menghadapi pendustaan mereka terhadap ‘adzāb yang dekat itu:
“Maka, bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustaḥīl). Sedangkan, kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (al-Ma‘ārij: 5-7.)
Seruan untuk bersabar dan mengarahkan diri kepada Allah itu senantiasa menyertai setiap dakwah, dan dilakukan secara berulang-ulang kepada setiap rasūl dan para pengikutnya yang beriman. Seruan ini sangat vital, mengingat beratnya beban dan sulitnya jalan yang ditempuh untuk memelihara jiwa ini supaya teguh dan ridhā, selalu berhubungan dengan tujuan jangka panjang, yang juga kelihatan di ufuk yang jauh.
Kesabaran yang baik adalah kesabaran yang menenangkan, yang tidak disertai oleh kemarahan, kegoncangan, dan keraguan terhadap kebenaran janji Allah. Kesabaran orang yang percaya kepada akibat yang bakal terjadi, yang ridhā kepada qadar Allah, yang merasakan hikmah di balik ujian-Nya, selalu berhubungan dengan-Nya, dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya pada setiap apa yang menimpa dirinya.
Kesabaran macam ini layak mengiringi pelaku dakwah karena dakwahnya adalah dakwah Allah dan dakwah kepada Allah. Tidak ada sedikit pun sahamnya terhadap dakwah itu, dan tanpa tujuan apa pun untuk dirinya di baliknya. Namun, segala sesuatu yang dijumpainya dalam dakwah adalah dalam rangka fī sabīlillāh, dan segala yang terjadi berkenaan dengan urusan dakwah ini adalah dari Allah. Maka, kesabaran yang baik tersebut serasi benar dengan hakikat ini, dan serasi dengan perasaannya terhadap hakikat itu di dalam hati nuraninya yang dalam.