AYAT 8-9
يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.
70: 8. Hari ketika langit menjadi seperti lelehan logam.
70: 9. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu yang dicelup.
TAFSIR
Ayat ini lebih jauh membahas Hari Kiamat. Dinyatakan bahwa pada Hari itu langit akan seperti lelehan logam. Gunung-gunung akan seperti serpihan bulu yang dicelup. Frase ‘Arab muhl bermakna lelehan logam. Kata tersebut kadang-kadang mengacu kepada endapan minyak zaitun. Pengertian pertama sesuai dengan makna kontekstualnya. Sementara itu, pengertian kedua memiliki kesamaan dengan makna kontekstualnya.
Frase ‘Arab ‘ihn bermakna “bulu yang dicelup”. Langit akan terbelah berkeping-keping dan meleleh. Gunung-gunung akan hancur dan berserakan melalui angin seperti serpihan-serpihan bulu. Gunung-gunung dalam konteks ini dianggap serupa dengan bulu yang berwarna-warni karena proses pencelupan. Kehancuran semacam ini akan terjadi sebelum terciptanya alam baru saat umat manusia dihidupkan kembali di dalamnya.
AYAT 10-14
وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.
70: 10. Dan tidak ada seorang teman akrab pun akan bertanya tentang keadaan temannya.
70: 11. Mereka akan dipertemukan satu sama lain [tapi mereka sibuk dengan urusan-urusan mereka sendiri] sehingga seorang pendosa ingin sekiranya dia dapat menebus dirinya dari siksaan Hari itu dengan anak-anaknya,
70: 12. istrinya dan saudaranya,
70: 13. dan kaum keluarganya yang melindunginya di segala waktu,
70: 14. dan semua orang di bumi, kemudian agar tebusan itu dapat menyelamatkannya.
TAFSIR
Pada Hari Kiamat umat manusia akan begitu sibuk dengan catatan perbuatan masa lalu mereka. Mereka bahkan tidak pernah memikirkan orang lain, sahabat mereka sekalipun. Mereka hanya memikirkan kebebasan diri mereka sendiri dari siksaan. Masalah yang sama dijelaskan pada ayat lain dalam al-Qur’ān (80: 37): “Setiap orang dari mereka pada Hari itu memiliki urusan yang cukup membuatnya tidak mempedulikan orang-orang lain.”
Ayat ke-11 menyatakan bahwa manusia akan mengenal sahabat mereka. Mereka akan dipertemukan dengan sahabat mereka, tetapi mereka tidak mempedulikannya. Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Berlanjut dengan gambaran lebih jauh tentang suasana yang menimbulkan ketakutan, ayat ini menjelaskan bahwa para pendosa ingin mengorbankan anak-anak mereka agar mereka dapat memperoleh kebebasan dari siksaan-siksaan pada Hari itu. Ayat-ayat 12-14 menyatakan: “istrinya dan saudaranya, dan kaum keluarganya yang melindunginya di segala waktu, dan semua orang di bumi, kemudian agar tebusan itu dapat menyelamatkannya.”
Siksaan-siksaan yang ditimpakan kepada mereka akan menimbulkan rasa takut yang luar biasa sehingga mereka rela menebus dirinya dengan mengorbankan orang yang dicintai: anak, istri, saudara, serta kerabatnya yang dahulu melindunginya setiap waktu. Dia bahkan ingin mengorbankan semua manusia agar dapat terbebas dari siksaan-siksaan itu pada Hari Kiamat.
Bentuk kata kerja ‘Arab yawaddu “dia berkeinginan” berasal dari wadada yang bermakan “keinginan”. Bentuk kata kerja ‘Arab yaftadi “menebus diri dari” berasal dari fada’ yang mengandung makna melindungi diri dari bencana dengan tebusan tertentu. Bentuk nomina ‘Arab fashīla digunakan dalam pengertian “suku dan keluarga” asal mereka (secara harfiah: diwariskan). Kata tersebut bermakna memberikan tempat berlindung dan tempat berteduh yang aman. Namun, ikatan keturunan dan ikatan dengan istri, saudara dan kerabat justru akan menjadi korban untuk mendapatkan kebebasan dari siksaan. Sayangnya, semuanya tidak akan memberi manfaat sedikit pun baginya.
Kita seharusnya tidak menjadi penghuni neraka demi kebahagiaan istri dan anak-anak kita dan memperoleh rida dari sahabat dan kerabat. Padahal, mereka tidak akan memberikan manfaat bagi kita pada Hari Kiamat.
AYAT 15-18
كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْ مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.
70: 15. Sama sekali tidak! Sesungguhnya neraka itu adalah api yang berkobar-kobar.
70: 16. Yang mengelupas tangan, kaki dan kulit kepala.
70: 17. Yang memanggil orang-orang yang berbalik dan berpaling dari perintah Allah.
70: 18. Dan orang-orang yang mengumpulkan harta dan menyembunyikannya.
TAFSIR
Sambil menyebutkan segala keinginan manusia, itu, ayat ke-15 menyatakan, Sama sekali tidak! Tidak ada tebusan yang akan diterima. Akan ada nyala-nyala api yang selalu berkobar-kobar membakar dan menghabiskan apa pun yang berada di dekatnya.
Ayat ke-16 menyatakan bahwa nyala api neraka mengelupaskan kulit tangan, kaki, dan kepala. Frase ‘Arab lazhā mengandung makna “nyala api”. Kata itu pun merupakan salah satu nama dari neraka. Kedua pengertian itu tampaknya termaktub dalam ayat-ayat ini.
Frase ‘Arab nazzā‘a diterapkan bagi sesuatu yang berurutan. Syawā digunakan dalam pengertian “tangan, kaki dan sisi-sisi tubuh”. Kata ini juga bermakna “memanggang”.
Pengertian pertama adalah yang sesuai dengan ayat ini. Ketika menyentuh sesuatu, nyala api membakar sisi-sisi tubuhnya, kaki dan tangannya, kemudian mengelupasnya. Sebagian mufassir al-Qur’ān berpendapat bahwa kata ini digunakan dalam pengertian kulit tubuh. Sementara itu, sebagian mufassir lainnya berpendapat bahwa kata tersebut mengacu pada kulit kepala dan betis. Pengertian ini dilihat berdasarkan konteksnya dengan memperhatikan aspek semantisnya. Semua bencana ini tidak akan menyebabkan kematian para korban.
Ayat ke-17 menjelaskan orang-orang yang menjadi korban api neraka. Nyala api yang membakar ini memanggil orang-orang yang berpaling dari perintah-perintah Allah dan menentang-Nya.
Ayat ke-18 menyatakan bahwa mereka mengumpulkan harta kekayaan dan menyembunyikannya. Mereka tidak membelanjakannya di jalan Allah. Oleh karena itu, api neraka selalu memanggil para pendosa melalui bahasa-Nya, baik verbal maupun nonverbal. Para korban adalah orang-orang yang berpaling dari keimanan dengan menentang Allah s.w.t. dan Rasūl s.a.w. Mereka sibuk dengan mengumpulkan harta, baik halal maupun haram. Mereka menyembunyikannya tanpa memperhatikan hak si miskin. Padahal, mereka memahami alasan di balik diberikannya ni‘mat Allah pada mereka.
AYAT 19-23
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.
70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan serakah.
70: 20. Apabila ia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah.
70: 21. Dan apabila dia memperoleh kebaikan, dia sangat kikir.
70: 22. Kecuali orang-orang yang mendirikan shalat,
70: 23. Yaitu orang-orang yang tetap mendirikan shalat-shalat mereka.
TAFSIR
Setelah mengisahkan sebagian dari siksaan bagi para pendosa pada Hari Kiamat, ayat-ayat ini membahas karakter dari orang kafir dan mu’min sejati. Juga menjelaskan apa alasan di balik siksaan dan kebebasan bagi mereka.
Ayat-ayat ke 19-21 menjelaskan bahwa manusia diciptakan bersifat serakah dan berkeluh-kesah. Dia berkeluh-kesah apabila kesusahan menimpanya. Sebaliknya, dia sangat kikir apabila memperoleh kebaikan. Sebagian mufassir dan ahli kamus berpendapat bahwa frase ‘Arab hulu‘ bermakna “serakah”. Namun, sebagian lainnya berpendapat bahwa kata itu bermakna “berkeluh-kesah”. Ayat-ayat ke-20 dan 21 memberikan penjelasan lebih jauh tentang makna dari kata ini. Makna pertama menunjukkan tiga keburukan moral, yaitu keserakahan, keresahan dan kekikiran. Makna kedua menunjukkan keresahan dan kekikiran. Kedua pengertian itu dapat dinyatakan dengan kata hulu‘ karena keduanya saling berkaitan. Dengan kata lain, orang serakah biasanya bersifat kikir dan berkeluh-kesah ketika menghadapi musibah. Demikian pula seterusnya.
Ayat ke-22 dan 23 membahas karakter mu’min. Didahului dengan kata penghubung illā “kecuali” dinyatakan bahwa orang yang mendirikan shalat adalah pengecualiannya. Merekalah orang yang istiqamah dalam mendirikan shalat. Karakteristik para pendiri shalat salah satunya adalah selalu memelihara hubungan baik mereka dengan Allah. Hubungan ini tercipta dan terpelihara melalui shalat. Shalatnya yang menghalangi manusia dari tindak kejahatan. Shalat pula yang mengembangkan hati dan rohnya sehingga dia selalu mengingat Allah s.w.t. setiap waktu. Dengan demikian, shalat menghindarkannya terjerumus ke dalam keangkuhan, arogansi, hawa-nafsu serta perbudakan (oleh syahwatnya sendiri).
Konsistensi dalam mendirikan shalat tidak mengharuskan mereka mendirikan shalat setiap waktu. Namun, ini adalah tanda bahwa mereka mendirikan shalat wajib mereka pada waktu-waktu tertentu. Biasanya, konsistensi dalam melakukan perbuatan baik apa pun secara positif mempengaruhi hati manusia. Nabi s.a.w. bersabda: “Perbuatan-perbuatan yang paling disukai di sisi Allah s.w.t. adalah apa yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun perbuatan itu tampak remeh sekali.” (1921).
Diriwayatkan dari Imām Bāqir a.s. bahwa orang yang dimaksud dalam konteks ini adalah orang yang menganggap hal sunnah sebagai kewajiban dan selalu melakukan perbuatan tersebut. (1932) Hadits lain yang diriwayatkan dari Imām a.s. menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan mendirikan shalat wajib. (1943).
Perbedaannya terletak pada fakta bahwa memelihara shalat berlaku untuk shalat wajib. Sementara itu, konsistensi berlaku untuk shalat sunnah karena manusia boleh melaksanakannya atau pun tidak.