Surah al-Ma’arij 70 – Tafsir Khuluqun ‘Azhim (5/6)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim

AYAT 26

وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.

70: 26. dan orang-orang yang mempercayai Hari Pembalasan.

Juga orang-orang yang percaya terhadap adanya Hari Pembalasan. “Dan orang-orang yang mempercayai Hari Pembalasan.” Kepercayaan terhadap Hari Pembalasan ini merupakan ajaran esensial dalam Islam, setelah kepercayaan terhadap Allah dan rasūl-Nya. Kepercayaan tentang Hari Pembalasan ini menjadi takaran bagi kalkulasi amal perbuatan yang dilakukan di dunia. Ia memberi dampak yang sangat signifikan bagi perbuatan yang dilakukan, apakah perbuatan buruk atau perbuatan baik.

Percaya terhadap Hari Pembalasan mempunyai dampak psikologis bagi yang mempercayainya. Orang yang mempercayai Hari Pembalasan akan berhati-hati dalam menjalani hidup. Ia akan selalu berjalan di jalan yang lurus dengan mengikuti pedoman dan petunjuk yang telah disampaikan oleh Rasūlullāh s.a.w. Dia akan memelihara dirinya agar jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah dan rasūl-Nya.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak percaya terhadap Hari Pembalasan, akan memandang bahwa hidup harus dijalani dengan sepuas-puasnya. Tidak mengenal batas mana yang halal dan mana yang haram. Tidak perduli ada orang-orang yang harus dibantu dan dibela untuk menjalani kehidupan yang fanā’ ini. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak pernah peduli terhadap orang lain. Dalam dirinya hanya ada satu tekad, reguklah kemewahan dunia seluas-luasnya.

 

AYAT 27

وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ.

70: 27. dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya.

Percaya terhadap adanya Hari Pembalasan terkandung makna takut terhadap ‘adzab Tuhan. Namun, ayat ini memberikan penegasan lagi untuk menanamkan kesadaran lebih terhunjam. “Dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya.” Sebab, betapapun shalihnya seseorang, bagi seorang Mu’min yang sudah menyerahkan diri secara total kepada Allah, selalu mencemaskan dirinya apakah akan terlepas dari ‘adzab Tuhan atau tidak. Ia akan selalu gemar ber-istighfār atau memohon ampun.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa hati yang tawādhu‘ selalu dihiasi oleh rasa cemas karena cinta kepada-Nya. Seseorang yang telah jatuh cinta, selalu dirundung kecemasan kalau-kalau orang yang dia cintai tersinggung perasaannya. Demikian pula seorang Mu’min. Sebab bila sudah sampai ke tingkat kepasrahan total kepada Allah s.w.t., maka yang muncul adalah khauf (kecemasan dan ketakutan) kalau-kalau ada amalan hati yang keliru, sehingga Allah menjatuhkan ‘adzab-Nya.

Betapa agungnya akhlak Rasūlullāh s.a.w., walaupun beliau sudah dijamin oleh Allah dan dijadikan manusia pilihan serta diangkat sebagai utusan-Nya, namun kekhawatiran beliau tentang ‘adzab sangatlah tinggi. Beliau mengungkapkan kekhawatiran ini dalam bentuk kebalikannya, yakni kewajiban bersyukur kepada Allah sebagai seorang hamba. Dalam rangka bersyukur itulah beliau selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat malam, sampai kaki beliau bengkak akibat shalat malam itu.

 

AYAT 28

إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ.

70: 28. Karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).

Bila seseorang sudah menerima turunnya ‘adzab Allah tersebut, tidak ada seorang pun yang merasa aman dibuatnya. “Karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).” Bagaimana merasa aman bila diri sudah dilemparkan ke dalam neraka Jahim, dengan wajah yang terkelupas dari akibat pembakaran tersebut. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari ‘adzab bila sudah dijatuhkan keputusannya oleh Allah Tuhan Yang Maha ‘Adil.

Ini adalah suatu pernyataan simbolis untuk mengetuk kesadaran dan kepekaan jiwa tentang datangnya ‘adzab Allah tersebut. Adanya kepekaan terhadap ‘adzab Allah ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi perilaku seseorang dalam hidup. Sudah menjadi sifat manusia bahwa manusia akan meninggalkan sesuatu bila hal itu menimbulkan kesakitan ataupun kerugian terhadap dirinya. Andai kata akibat dosa itu, yakni ‘adzab, langsung diterima di dunia dalam bentuk fisik, pasti manusia tidak mau melakukannya. Tetapi ‘adzab dari dosa itu dijanjikan oleh Allah akan ditimpakan nanti di akhirat, bukan di dunia.

Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran akan ditimpakannya ‘adzab di akhirat kelak. Bahwa tidak ada yang dapat aman bila ‘adzab sudah dijatuhkan. Siapa yang sudah dinyatakan sebagai orang yang berbuat dosa sesuai dengan hasil rekam jejaknya, pasti akan menerima ‘adzab. Dengan kesadaran dan kepekaan seperti ini, setiap orang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, makhluk yang dimuliakan oleh Allah s.w.t.

 

AYAT 29

وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ.

70: 29. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.

Juga orang-orang yang menjaga kehormatan dirinya dengan cara tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah. “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.” Hubungan seksual di luar nikah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap mental dan struktur masyarakat. Kerusakan mental itu bisa terjadi karena tidak ada lagi kesakralan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Hubungan itu telah bergeser menjadi transaksi uang. Sehingga pada giliran berikutnya menyuburkan perilaku yang hanya mengukur segala sesuatu dengan uang.

Sementara itu dari dampak buruk terhadap struktur masyarakat, akan lahir keturunan yang tidak jelas nasabnya. Akan muncul anak-anak atau generasi yang tidak mempunyai ayah. Di samping itu, akan merebak dan tumbuh subur di tengah masyarakat praktik-praktik aborsi hanya untuk menutupi malu dari pada calon ibu yang belum siap secara fisik dan mental menjadi ibu. Semuanya akibat dari perbuatan orang-orang yang tidak memelihara kemaluannya.

Islam memelihara kebersihan dan kesucian masyarakat pada landasan yang terang-benderang dan berjangka panjang dengan terlaksananya hubungan seksual yang sah dan dibenarkan. Melindungi setiap individu dan anggota keluarga dari penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seksual di luar nikah tersebut, yakni virus HIV/AIDS yang sampai sekarang tidak ada obatnya. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur’ān tentang sifat seorang Mu’min, yakni memelihara kemaluannya dari penyimpangan seksual.

 

AYAT 30

إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ.

70: 30. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Oleh sebab itu, agama Islam sangat mementingkan hubungan sah suami istri dalam membentuk keluarga dan pengembangan generasi. Kemaluan yang harus dijaga untuk tidak dipergunakan pada jalan-jalan yang terlarang. “Kecuali terhadap istri-istri mereka.” Hubungan seks tersebut dilakukan sesudah terjadi akad nikah antara dua orang anak Ādam, laki-laki dan perempuan yang sudah seia sekata untuk membangun rumah tangga. Hubungan itu harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat dan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Di samping itu, juga diperbolehkan berhubungan seksual terhadap hamba sahaya, “atau budak-budak yang mereka miliki.” Ayat ini harus ditegaskan lebih konkret agar jangan terjadi penyalahtafsiran. Kebolehan menggauli hamba sahaya ketika ayat ini diturunkan, karena praktik perbudakan ketika itu masih merajalela. Tradisi masyarakat Jāhiliyyah ini, haruslah dihentikan, tetapi tidak secara drastis, masyarakat harus dididik untuk meninggalkan praktik tersebut. Caranya adalah menghilangkan praktik tersebut secara berangsur-angsur.

Sebab Islam menolerir perbudakan pada awal da‘wah risalah, bukan untuk melanggengkan perbudakan tersebut, tetapi untuk menghapuskannya. Khalīfah ‘Umar bin Khaththāb menggariskan kebijakan bahwa umm-ul-walad, ibu yang berasal dari hamba sahaya telah melahirkan anak, tidak boleh dijual lagi. Dia harus dimerdekakan sehingga dia tidak berstatus sebagai hamba sahaya lagi. Oleh sebab itu, di era peradaban yang sudah tinggi ini, di saat perbudakan tidak dibenarkan lagi, maka hubungan seksual terhadap budak tidak ada lagi.

 

AYAT 31

فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ.

70: 31. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Namun, masih ada orang-orang yang melakukan hubungan seksual bukan pada jalur yang dibenarkan dan dihalalkan tersebut. Perilaku seks menyimpang, yang masih mencari jalan di balik atau di luar ketentuan yang sudah ditetapkan. “Barang siapa mencari yang di balik itu.” Untuk itu Allah memberi ancaman yang sangat keras. Barang siapa yang masih mencari-carii jalan dan cara melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak sah itu, atau dengan perzinaan, maka akan dikenakan sanksi yang sangat berat.

Orang-orang yang masih mencari-cari jalan yang tidak dibenarkan itu, yakni orang-orang yang melakukan hubungan seksual di luar nikah. Mereka melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Mereka yang digambarkan sebagai, “maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” Artinya melampau batas dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. melanggar perintah dan garis-garis moralitas agama.

Para pelampau batas ini adalah orang-orang yang tidak mampu mengendalikan hawa-nafsunya dan tidak memelihara kehormatannya. Tentu saja orang-orang yang seperti ini, ketika melakukan pelanggaran tersebut, imannya sedang bermasalah. Mereka hanya memperturutkan panggilan hawa-nafsu yang tidak mempunyai batas kepuasan. Hawa-nafsu yang sering menggiring manusia untuk melanggar ajaran yang dibawa oleh Nabi Muḥammad s.a.w.

 

AYAT 32

وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ.

70: 32. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

Juga, termasuk ke dalam orang-orang yang tidak berkeluh-kesah itu adalah orang-orang yang memelihara amanat dan tanggungjawab yang telah dipikulkan kepada mereka. “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya).” Amanah atau kepercayaan tidak boleh disia-siakan. Pekerjaan, jabatan, pangkat, dan anak adalah bagian dari amanah yang dipikul tersebut. Maka amanah tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada pemberi amanah itu di dunia, tetapi juga dipertanggungjawabkan kepada Allah s.w.t. di akhirat.

Bergandengan dengan amanah itu adalah janji, “dan janjinya.” Janji adalah utang dan oleh sebab itu harus ditepati, sebagaimana amanah juga harus ditunaikan. Janji tidak boleh dimungkari. Rasūlullāh telah mengingatkan bahwa salah satu tanda dari seorang munafiq adalah apabila dia berjanji ia mangkir dari janji itu. Perilaku manafiq adalah perilaku yang bertentangan dengan perilaku Mu’min. Maka siapa yang tidak menepati janji atau mungkir dari janji, maka orang itu identik dengan kekufuran.

Seorang Mu’min yang tidak berkeluh-kesah adalah orang yang memegang teguh atas amanah dan janji yang sudah diikat. Amanah harus ditunaikan sesuai dengan apa yang telah diamanahkan. Demikian pula janji juga harus ditepati sesuai dengan apa yang telah disepakati sebagai janji. Tidak berlebihan bila dikatakan ciri dari keimanan itu adalah memelihara amanah dan menepati janji. Tak pelak lagi, semua sifat ini adalah buah dari iman kepada Allah dan Rasūl.

 

AYAT 33

وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ.

70: 33. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.

Juga orang-orang yang ketika memberikan kesaksian adalah kesaksian yang jujur. “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.” Adakalanya dalam menjalani kehidupan muncul masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan tanpa dibawa ke pengadilan. Maka di pengadilan diperlukan kesaksian yang memberikan pembenaran atas suatu perbuatan. Maka kesaksian tersebut hendaklah diberikan sejujur-jujurnya. Tidak memberikan kesaksian palsu.

Kesaksian palsu akan menimbulkan keputusan yang palsu. Sebab para hakim hanya dapat memberikan keputusan atau vonis berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan yang dikuatkan dengan saksi-saksi. Bisa jadi orang yang tidak bersalah, tetapi berdasarkan kesaksian palsu, maka orang yang sebenarnya bersalah, tetapi karena dikuatkan oleh kesaksian palsu, menjadi bebas dari hukuman karena divonis tidak bersalah.

Sangat relevan membicarakan hal ini dalam konteks praktik peradilan di tanah air. Fenomena mafia peradilan atau mafia hukum yang masih kental ada di dunia hukum kita, harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Sebab dengan masih banyaknya bergentayangan mafia hukum atau mafia peradilan akan membuat sistem peradilan kita menjadi sarang bagi para penyamun. Sebab, dengan akan sangat mudah akan muncul orang-orang yang memberikan kesaksian palsu.

 

AYAT 34

وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ.

70: 34. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.

Kembali Allah mengulang perihal shalat dalam untaian ayat-ayat ini. “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” Bila pada ayat 23 Allah menekankan tentang dā’imūn, yakni shalat yang didirikan secara berkelanjutan, maka pada ayat ini Allah menggarisbawahi tentang yuḥāfizhūn, yakni shalat yang terpelihara. Dā’imūn menyangkut pemeliharaan terhadap waktu-waktu shalat. Berkelanjutan dalam memelihara waktu-waktu shalat dan tidak pernah terlambat ataupun luput dari waktu shalat.

Sedangkan yuḥāfizhūn menyangkut pemeliharaan terhadap rukun, syarat, hal-hal yang disunnatkan dalam pelaksanaan shalat tersebut, serta memelihara makna dari pelaksanaan shalat. Yakni berupaya dengan sekuat tenaga memelihara hati dalam shalat, yang oleh Imām al-Ghazālī diistilahkan dengan ḥudhūr-ul-qalb (hadirnya hati) dalam shalat. Sehingga shalat mampu memanifestasikan kekuatan yang menurut al-Qur’ān, mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

Diulanginya kembali kedudukan shalat dalam pembicaran perangai manusia yang suka berkeluh-kesah, memperlihatkan bahwa ibadah shalat merupakah ibadah kunci dan menduduki posisi yang sangat signifikan dalam ajaran Islam. Rasūlullāh s.a.w. mengatakan bahwa shalat adalah ‘imād-ud-dīn, tiang agama. Apabila shalat seseorang baik, maka baiklah seluruh amalnya. Sebaliknya, apabila shalatnya buruk, maka akan berdampak kepada amal-amalnya.

 

AYAT 35

أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.

70: 35. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.

Orang-orang yang tenang tanpa keluh-kesah itulah yang akan menerima anugerah keni‘matan surga oleh Allah s.w.t. “Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.” Yakni orang-orang yang secara rinci disebut dalam untaian ayat-ayat ini, yakni orang-orang yang tetap mengerjakan shalat, meyakini bahwa dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), mempercayai Hari Pembalasan, takut terhadap sanksi dan ‘adzab dari Allah, memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, memelihara amanat dan janji, memberika kesaksian secara jujur, dan memelihara shalatnya.

Allah berjanji akan memasukkan mereka ke dalam surga dan juga dimuliakan di dalamnya. Pemuliaan yang dilakukan oleh Allah jalla jalāluh adalah anugerah yang sangat tinggi bagi seorang hamba, karena pemuliaan tersebut datang dari sumber kemuliaan. Berbagai pemahaman dan penafsiran yang telah muncul untuk menggambarkan apa bentuk kemuliaan tersebut. Salah satunya adalah anugerah Allah untuk melihat wajah-Nya di surga kelak. Firman Allah dalam surah Yūnus [10]: 26):

لِّلَّذِيْنَ أَحْسَنُوا الْحُسْنى وَ زِيَادَةٌ وَ لَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَ لَا ذِلَّةٌ أُوْلئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ.

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya, dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan, mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.”

Kata ziyādah yang terdapat dalam ayat di atas diartikan dengan tambahan. Dimaksudkan dengan kata ziyādah itu adalah bahwa orang-orang Mu’min itu diberi tambahan kemuliaan oleh Allah, di samping sudah mendapat ni‘mat yang berlimpah, ditambah lagi dengan keni‘matan yang lain, yakni mendapatkan kemuliaan melihat wajah Allah. Kemuliaan tambahan yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang beriman dan beramal shalih.

Orang-orang Mu’min setelah dimasukkan ke dalam surga akan dilimpahi dengan berbagai keni‘matan surgawi yang tiada tara. Seperti mendapatkan pelayanan dari para pelayan surga, disuguhi makanan dan buah-buahan yang mempunyai cita rasa yang sangat tinggi. Di samping itu, mereka juga akan dianugerahi puncak dari keni‘matan surgawi, tidak ada keni‘matan di atas keni‘matan tersebut, yakni kelak mereka akan bertemu dengan Allah dan menyaksikan wajah Allah secara langsung.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *