إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.
70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah.
70: 20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah.
70: 21. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
AYAT 19
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.
70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah.
Apa yang membuat manusia menjadi congkak dan sombong serta berpaling dari Allah dan rasul? Tiga ayat berikut menjelaskan penyebab hal itu. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah.” Penyebabnya adalah karena manusia mempunyai naluri selalu gelisah, tidak mengenal batas kepuasan dan punya keinginan yang meluap-luap. Naluri inilah yang tidak mempunyai batas pemilikan. Ia selalu merasa kekurangan dan tidak pernah merasa cukup.
Al-Qur’ān mempergunakan kata halū‘a menjelaskan sifat naluriah itu. Menurut M. Quraish Shihāb, kata halū‘a itu terambil dari kata hala‘a yang berarti cepat gelisah, atau berkeinginan meluap-luap semacam sikap rakus. Kerakusan memang membuat seseorang menjadi haknya, karena ingin memuaskan kerakusannya. Sering kali batas dari capaian kerakusan tidak ada sama sekali.
Dalam hidup manusia harus memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan. Tetapi ketika ketiga kebutuhan ini terpenuhi, manusia memerlukan lagi kebutuhan lain, yakni pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya, kalau pendidikan dan kesehatan juga sudah terpenuhi, maka manusia memerlukan lagi tambahan dari kebutuhan-kebutuhan tersebut, sehingga akhirnya tidak mempunyai batas lagi. Bila hal ini diperturutkan, maka berapa pun yang sudah diperoleh tetap terasa tidak cukup.
AYAT 20
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا.
70: 20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah.
Naluri gelisah dan kerakusan ini bila tidak dipandu oleh iman akan menimbulkan hal yang negatif bagi manusia. “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah.” Kesusahan atau kesulitan dalam hidup adalah sesuatu yang biasa dan niscaya. Ada tingkat kesusahan dan kesulitan yang rendah dan ada pula tingkat kesusahan dan kesulitan itu yang tinggi. Pada hakikatnya tidak ada kehidupan yang tanpa masalah. Bahkan masalah itu adalah bagian integral dari kehidupan itu sendiri.
Orang yang tidak mempunyai keimanan, bila menemui kesusahan dan kesulitan dalam hidup akan dilanda oleh kegelisahan. Dia akan menyasali diri dan meratapi nasib yang menimpa. Bahkan, dia bisa mencari jalan pintas untuk mengakhiri hidup. Sisi jahat dari naluri ini adalah mencari kambing hitam, yakni menimpakan kesalahan kepada orang lain. Masalah yang sedang dia hadapi, dia pandang sebagai akibat tindakan dan perbuatan orang lain terhadap dirinya.
Seolah-olah hidup itu hanya jalan menurun dan penuh keindahan. Kesusahan dan kesulitan seharusnya tidak ada. Sedikit saja dia dilanda kesulitan, hatinya sudah meradang, kenapa saya saja yang dilanda oleh kesulitan, orang lain tidak. Padahal bila ditanyakan kepada orang lain yang dianggap tidak mempunyai kesulitan itu, dia pun akan mengatakan hal yang sama, yakni sama mengeluh, karena banyak kesusahan dan kesulitan yang dihadapi. Pokoknya, kalau ditimpa kesusahan manusia pasti berkeluh-kesah dan gelisah.
AYAT 21
وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.
70: 21. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
Sama dengan kesusahan dan kesulitan, kesenangan dan kemudahan juga adalah sesuatu yang biasa dalam hidup. Susah dan senang adalah permainan hidup. Tidak ada kehidupan yang senang terus-menerus atau susah terus-menerus. Bila tidak ada iman, bukan saja menghadapi kesulitan dia berkeluh-kesah, dalam menghadapi kesenangan pun manusia akan berkeluh-kesah juga. Ia akan melakukan keluh-kesah itu dengan menutup diri dari orang. “Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” Ia akan menjadi orang yang tidak mau menerima nasihat orang lain.
Bila ada orang yang datang kepadanya untuk minta bantuan, dia mengatakan dia pun sedang menghadapi masalah. Ia juga memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan keluarganya. Ia akan menggambarkan bahwa masalah yang sedang dia hadapi lebih besar dari masalah yang dihadapi oleh orang yang datang kepadanya. Sehingga orang yang tadi sengaja datang untuk tujuan hendak meminta bantuan, tidak mempunyai kata-kata lagi guna menyampaikan maksudnya.
Bahkan lebih jelek lagi, orang yang seperti ini bertambah diberi kesenangan, bertambah kikir. Bertambah mempunyai kelebihan harta, bertambah besar sifat bakhilnya. Tidak boleh ada seorang pun yang mendekatinya. Kalau pun dia mau memberikan sumbangan ataupun bantuan, pastilah ada kalkulasi untuk rugi yang sudah dia buat sendiri kalkulasinya, Dia tidak akan pernah mendapat kerugian sedikit pun. Pada akhirnya bila dihitung lebih cermat, ujung-ujungnya dia mendapat keuntungan besar.
إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.
70: 22. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,
70: 23. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,
70: 24. dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,
70: 25. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),
70: 26. dan orang-orang yang mempercayai Hari Pembalasan,
70: 27. dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya.
70: 28. Karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).
70: 29. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
70: 30. kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
70: 31. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
70: 32. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
70: 33. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.
70: 34. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
70: 35. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.
AYAT 22
إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ.
70: 22. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.
Untaian ayat-ayat lalu menggambarkan orang-orang yang selalu berkeluh-kesah dan kikir setiap menerima kesulitan dan kesenangan, maka untaian ayat berikut menggambarkan orang-orang yang tidak mengalami hal yang demikian, orang-orang yang tidak pernah berkeluh-kesah. Siapakah mereka? “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” Yakni orang-orang yang mendirikan shalat atas dasar iman. Mereka yang mendirikan shalat karena dalam hatinya ada iman, percaya bahwa Allah itu ada dan Muḥammad adalah rasūl-Nya.
Orang-orang yang mendirikan shalat bila menerima kesusahan dan kesulitan dalam hidup, pastilah tidak akan berkeluh-kesah, tetapi dia akan terima dengan penuh kesabaran. Karena shalat menurut al-Qur’ān salah satu sarana untuk mengingat Allah. Firman Allah dalam surah Thāhā [20]: 14:
إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ وَ أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيْ
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”
Jadi orang yang mendirikan shalat adalah orang yang selalu mengingat Allah. Orang yang mengingat Allah pasti mempunyai sikap sabar. Oleh sebab itu, sikap sabarlah yang tepat dalam menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan yang ditemui dalam hidup. Bukan sebaliknya, seperti gelap mata dan kemudian mencari cara-cara “jalan pintas” bagi penyelesaian. Dia hadapi masalah dengan tenang dan pikiran jernih. Sebaliknya bila mengahapi kesenangan atau kemudahan, maka dia bersyukur dan bertasbih kepada Allah, bukan kemudian melakukan pesta pora dan huru-hara.
AYAT 23
الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.
70: 23. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.
Shalat di samping ibadah ritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah, juga merupakan sarana untuk meraih ketenganan jiwa. Oleh sebab itu, shalat yang meredam keluh-kesah itu haruslah shalat yang berkelanjutan. “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” Shalat yang menurut al-Qur’ān disebut dengan kata dā’imūn, yakni shalat yang tidak mengalami keterputusan dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan lima waktu sehari semalam dipelihara dengan baik.
Keterputusan pelaksanaan shalat itu bisa terjadi karena ditinggalkan dengan sengaja, diterlantarkan, ataupun disebabkan karena malas mengerjakan. Sebab bila ada ‘udzur tertentu, shalat tetap harus dikerjakan. Kalau tidak bisa berdiri, lakukan dengan duduk. Kalau tidak bisa dengan duduk, lakukan dengan berbaring. Kalau tidak bisa dengan sempurna melaksanakan dengan cara berbaring, maka lakukan dengan cara isyarat.
Yang penting di sini adalah berkelanjutannya pelaksanaan shalat. Rasūlullāh s.a.w. sangat menganjurkan amal yang berkelanjutan, walaupun sedikit, daripada amal yang banyak tapi terputus-putus. Ibadah yang kecil tetapi berkesinambungan lebih mulia dari amal kebajikan yang besar tetapi tidak berkesinambungan. Firman Allah dalam surah Maryam [19]: 65:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَ اصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”
Berteguh hatilah dalam beribadah. Berkesinambungan dalam beribadah serta menjadikannya sebagai perilaku sehari-hari merupakan hal yang sangat penting dalam hidup. Hindarkan diri masuk ke dalam suasana demam ibadah. Rajin dan tekun beribadah bila ada sesuatu yang hendak dituju, tetapi bila sudah dapat yang dituju, semuanya kemudian ditinggalkan. Orang-orang yang shalat dan kemudian berkelanjutan dalam shalatnya tidak akan mengalami keluh-kesah.
AYAT 24
وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ.
70: 24. dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.
Di samping menegakkan shalat secara berkelanjutan, orang-orang yang tidak akan berkeluh-kesah itu adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya. “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.” Mereka sangat sadar bahwa dalam harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada mereka ada hak orang lain. Walaupun harta itu milik mereka dan mereka yang berusaha mendapatkannya, tetapi mereka percaya dalam harta mereka itu ada bagian tertentu yang bukan menjadi milik mereka.
Karena bagian tertentu itu mereka yakini bukan milik mereka, maka ketika menyisihkannya dari daftar kekayaan yang mereka punyai, tidak ada beban mental sedikit pun. Dengan ringan dan senang hati mereka berikan bagian tertentu itu untuk dikeluarkan. Ajaran al-Qur’ān menegaskan bahwa dalam setiap harta yang dipunyai terdapat bagian orang-orang fakir, miskin, orang-orang yang lemah dan tertinggal, serta bagi anak yatim yang mempunyai kesulitan hidup.
Para mufassir berbeda pendapat tentang bentuk dari cara mengeluarkan harta itu. Ada yang mengatakan dengan menunaikan zakat, ada pula yang mengatakan dengan jalan sedekah atau infaq. Namun apa pun bentuk cara mengeluarkan harta tersebut, yang pasti adalah bahwa dalam harta yang dimiliki itu ada hak orang lain. Oleh sebab itu, bila seseorang sudah memperoleh harta, maka dia hendaklah membelanjakannya di jalan Allah dengan ikhlas, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah.
AYAT 25
لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ.
70: 25. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).
Siapa pemilik bagian tertentu dari harta itu? Untuk siapa saja harta itu diberikan? “Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” Al-Qur’ān menegaskan bahwa ada bagian tertentu dari harta seseorang menjadi milik orang lain. Harta itu harus dikeluarkan dan diinfaqkan dengan cara memberikannya kepada orang-orang miskin. Orang-orang miskin yang disebut oleh al-Qur’ān dengan istilah as-Sā’il dan al-Maḥrūm.
As-Sā’il diartikan sebagai orang miskin yang menjadi peminta-minta dan secara jelas memperlihatkan kebutuhan yang diperlukannya dalam menjalani hidup. Mereka tidak punya penghasilan untuk menyambung hidup dan tidak juga mempunyai tempat tinggal untuk menetap. Mereka adalah orang-orang yang hidup terlantar sehingga menimbulkan dengan cara memberi bantuan, problema masyarakat akan lebih parah lagi.
Sedangkan al-Maḥrūm adalah orang-orang miskin yang tidak meminta-minta dan mereka tidak mengungkapkan kebutuhan yang mereka perlukan. Seperti seseorang yang tadinya mempunyai harta banyak, tetapi dalam perniagaan jatuh bangkrut sehingga dililit utang. Orang-orang seperti ini mempunyai hak dalam harta seorang yang berpunya. Mereka harus diberi untuk membantu dalam kehidupan dan meringankan beban mereka dalam memenuhi kebutuhan.