Surah al-Ma’arij 70 – Tafsir Khuluqun ‘Azhim (2/6)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim

3. ‘Adzab Itu pun Dimulai

يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.

70: 8. Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.
70: 9. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),
70: 10. Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,
70: 11. Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya.
70: 12. Dan istrinya dan saudaranya,
70: 13. Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).
70: 14. Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.

 

AYAT 8

يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.

70: 8. Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.

Pada untaian pertama ayat-ayat surah al-Ma‘ārij di atas Allah menggambarkan kesombongan dan kecongkakan orang-orang kafir yang meminta agar ‘adzab yang diinformasikan oleh al-Qur’ān segera diturunkan oleh Allah. Pada untaian kedua berikutnya, kata berjawab, gayung bersambut, Allah mulai menggambarkan awal dari turunnya ‘adzab tersebut. “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.” Ia dimulai dengan Hari Kiamat, kehancuran total alam semesta. Kehancuran total itu diperlihatkan dengan langit meleleh seperti luluhan perak.

Ini adalah penggambaran simbolis tentang kehancuran alam semesta tersebut. Hari Kiamat ditandai dengan langit yang meleleh seperti melelehnya perak. Perak adalah dzāt argentit yang apabila dibakar akan meleleh menjadi benda cair. Perak yang tadinya keras dan kuat, setelah mengalami pembakaran hancur dan meleleh seperti air. Begitulah penggambaran yang dilukiskan oleh al-Qur’ān ketika peristiwa Hari Kiamat terjadi. Tidak ada yang bisa terhindar dari peristiwa itu.

Betapa dahsyatnya kehancuran total tersebut. Langit dengan luas yang tiada bertepi, yang dihiasi oleh planet-planet raksasa di mana jumlahnya tabrakan dan hancur berantakan. Planet yang satu dengan planet yang lain saling berbenturan, sehingga terjadi dentuman-dentuman raksasa yang sangat dahsyat, sampai-sampai memecahkan gendang telinga manusia. Sebenarnya, situasi yang terjadi ketika tidak bisa digambarkan dengan kata-kata dalam bahasa manusia.

 

AYAT 9

وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.

70: 9. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan)

Kalau langit dengan planet-planet raksasa saja seperti perak yang meleleh, apalagi gunung-gunung yang terdapat di planet bumi mengalami kondisi seperti bulu yang beterbangan. “Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan).” Sungguh tidak sulit membayangkan gunung-gunung beterbangan seperti bulu atau kapas, manakala bumi tempat gunung-gunung tertancap bertabrakan dengan planet lain mengalami kehancuran, bahkan menjadi debu.

Kalau sudah menjadi bulu atau menjadi debu, jangankan angin puting beliung, angin biasa saja berembus, debu itu sudah diterbangkan oleh angin tadi. Apalagi lagi dalam kondisi peristiwa kehancuran oleh akal, dalam situasi Hari Kiamat itu gunung-gunung beterbangan. Jangankan gunung-gunung, planet bumi di mana gunung itu terpacak juga beterbangan dan bertabrakan dengan planet lain.

Pada saat itu planet-planet sudah terlepas dari sumbunya, terbang tak tentu arah dan saling bertabrakan antara satu dengan yang lainnya. Demikian pula gaya tarik bumi pun sudah terganggu, tidak lagi mampu menahan bumi untuk tetap berada pada tempatnya. Benda-benda angkasa lain sudah hancur berantakan sebagai akibat saling bertabrakan. Maka gunung-gunung yang berdiri kokoh dan tinggi menjulang di permukaan bumi, laluh-lantak menjadi debu.

 

AYAT 10

وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.

70: 10. Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya.

Dalam situasi dahsyat seperti itu, di saat langit sudah meleleh dan gunung-gunung sudah beterbangan, setiap orang mengalami kebingungan dan kepanikan yang sangat luar-biasa. Masing-masing orang hanya berpikir untuk menyelamatkan diri masing-masing. “Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya.” Bagaimana berpikir tentang teman akrab, diri sendiri pun belum tentu selamat dalam situasi yang sangat menakutkan itu.

Pada hari itu, setiap orang tidak lagi mampu memikirkan tentang bagaimana keselamatan orang lain. Jangankan menyelamatkan orang lain, menyelamatkan diri sendiri pun tidak mampu. Yang ada dalam pikiran setiap orang ketika itu adalah bagaimana bisa selamat dari huru-hara itu. Apalagi huru-hara itu terjadi di seluruh belahan bumi, bukan terjadi di kawasan lokal, atau sebagian wilayah bumi. Sehingga berpikir tentang teman akrab pun tidak mampu lagi.

Ini adalah penggambaran betapa dahsyatnya hari itu. Suasananya sangat mencekam. Semua orang mengalami ketakutan yang sangat besar sehingga tidak bisa lagi memikirkan orang lain, hatta memikirkan sahabat akrab atau teman sejati sekalipun. Memang benar bahwa teman sejati lebih dekat kepada seseorang dari saudara kandung sendiri. Karena teman sejati adalah teman waktu senang dan susah. Sangatlah sering kita berbagi problem duka kepada teman sejati, bukan kepada saudara.

 

AYAT 11

يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ.

70: 11. Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya.

Kenapa di antara teman akrab tidak saling menanyakan keadaan untuk masing-masing membantu yang lainnya agar selamat dari situasi ini? Apakah mereka saling berjauhan sehingga tidak dapat berkomunikasi? Tidak, sekali-kali tidak! “Sedang mereka saling memandang.” Mereka ketika itu berdekatan. Bahkan sangat dekat, sehingga satu sama lain saling memandang. Kalau yang satu sudah dapat memandang yang lain, itu berarti komunikasi verbal seharusnya dapat dilakukan. Tetapi komunikasi verbal tidak terjadi, karena masing-masing sibuk memikirkan keselamatan diri sendiri.

Apa yang terpikir ketika itu? Mereka, “Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu.” Pemikiran hanya tertuju kepada bagaimana bisa melepaskan diri dari ‘adzab yang sudah tiba itu. Teringatlah seluruh yang pernah dipunyai di dunia, yang kira-kira bisa menolong pada hari itu. Pokoknya apa saja yang bisa dijadikan tebusan agar ‘adzab ini tidak diberlakukan kepada dirinya. Dia sanggup menyerahkan apa saja sebagai pengganti.

Bisa jadi yang dijadikan tebusan itu adalah “dengan anak-anaknya” yang dipunyai. Ketika di dunia dulu anak yang sudah dibesarkan sejak kecil sampai menjadi dewasa. Sudah mempunyai kedudukan yang tinggi, harta yang berlimpah. Apa saja kebutuhan dan keperluan dapat segera dikabulkan oleh sang anak. Sehingga terasa betapa pentingnya anak yang sudah mapan itu ketika berada di dunia. Bagaimana kalau anak-anak tersebut diminta tolong agar dia bisa selamat dari ‘adzab.

 

AYAT 12

وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ.

70: 12. Dan istrinya dan saudaranya.

Kalau anak-anak belum cukup, bagaimana kalau istri juga turut membantu. “Dan istrinya,” yang bukan hanya cantik jelita, tetapi juga kaya dan terpandang. Ketika di dunia dulu sering melempangkan jalan bagi karier suaminya untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Atau karena kehadiran istri di sampingnya, semua bisnis yang diusahakan berjalan lancar, tanpa ada hambatan sedikit pun. Bahkan tidak jarang istri dijadikan pioner untuk mencapai segala kemudahan dan keberhasilan itu. Itu pun juga dijadikan tebusan agar ‘adzab ini tidak diberlakukan.

Juga diharapkan dari saudara kandung, dalam ungkapan ayat “dan saudaranya,” yakni saudara yang mempunyai hubungan darah. Ketika di dunia saudara kandung memberi perlindungan bagi saudaranya sendiri. Bahkan saudara kandung mempunyai hak waris serta hak-hak lainnya dalam hubungan kekeluargaan. Saudara kandunglah yang mengambil alih persoalan-persoalan yang sedang dihadapi seseorang. Oleh sebab itu, bantuan saudara kandung memang layak diharapkan.

Bila diri sedang mengalami masalah, maka saudara kandunglah yang ikut memecahkan masalah tersebut sekaligus memberikan dukungan dan bantuan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi itu. Di saat-saat sedang didera oleh ‘adzab tersebut, saudara kandung pun diharapkan bisa menjadi tebusan. Tetapi sayang waktu dan kesempatan untuk itu sudah ditutup. Peluang untuk mendapatkan perlindungan dari saudara kandung sudah tidak ada lagi. Setiap orang harus menghadapi masalahnya sendiri-sendiri.

 

AYAT 13

وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ.

70: 13. Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).

Kalau anak dan istri belum juga cukup, bagaimana kalau mengerahkan famili atau sanak saudara. “Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).” Mereka sanak saudara ketika berada di dunia adalah orang-orang yang melindungi dan mendukung dirinya menuju keberhasilan di segala bidang. Ketika dia berhasil, sanak famili itu pun dia tempatkan pada tempat-tempat yang strategis di pemerintahan atau di dunia swasta, di tempat mana dia mempunyai peranan kunci.

Inilah sistem nepotisme yang melemahkan sendi-sendi manajemen profesional. Menempatkan orang yang tidak berdasarkan keahliannya, tetapi semata-mata hanya ada hubungan kekerabatan. Apalagi penempatan itu dibumbui pula sogok-menyogok. Tidak peduli apakah yang bersangkutan mempunyai keahlian dan keterampilan tentang pekerjaan tersebut. Pokoknya dia adalah sanak famili yang bersangkutan atau yang bersangkutan sudah membayar sesuai dengan jumlah yang diminta.

Inilah yang mengakibatkan munculnya orang-orang yang bekerja tidak profesional di dalam pekerjaan. Ataupun boleh jadi sanak keluarga dalam hubungan kekerabatan membela anggota kerabatnya yang sedang ditimpa masalah atau musibah. Semua anggota kerabat itu memberi pertolongan terhadap anggota kerabatnya yang memerlukan. Seperti hubungan satu marga dalam budaya Batak, atau hubungan sepersukuan dalam budaya Minangkabau. Ini juga diharapkan bisa menjadi tebusan atas ‘adzab yang sedang diderita, mungkinkah?

 

AYAT 14

وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.

70: 14. Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.

Bahkan, kalau bisa seluruh manusia di mana saja berada di atas bumi ini. “Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya,” menjadi tebusan. Seluruh manusia di atas bumi tanpa kecuali, siapa saja, baik yang dikenal maupun tidak dikenal, baik yang ada hubungan relasi kerja atau bisnis maupun tidak, bisa dijadikan sebagai tebusan. Begitu mencekamnya suasana kala itu karena ‘adzab sudah di depan mata. Kepedihannya sudah terbayang dan seakan-akan sudah menjilat diri dengan siksa yang sangat menyakitkan.

Mulai dari teman akrab, anak, istri, saudara kandung, sanak famili, dan seluruh umat manusia, “kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.” Semua diharapkan dapat menjadi tebusan agar ‘adzab yang dulu diminta untuk didatangkan, tidak jadi membelenggu diri. Semua tebusan itu dia harapkan dapat menyelamatkan diri dari ‘adzab tersebut. Sebab menurut dia dengan menjadikan semua itu sebagai tebusan, maka ‘adzab akan dibatalkan.

Tetapi semua sudah selesai dan berakhir, nasi sudah menjadi bubur. Putaran jarum jam tidak dapat dikembalikan lagi sebagaimana sedia kala. Ketetapan sudah dibuat dan keputusan sudah dijatuhkan. Keputusan tentang ‘adzab itu adalah keadilan yang layak diterima oleh orang-orang yang durhaka. Sanksi harus dijatuhkan dan ‘adzab harus diberlakukan. Tidak ada alasan lagi untuk menunda-nundanya. Peluang untuk bertaubat sudah tertutup. Tidak ada lagi harapan untuk lepas dari ‘adzab tersebut.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *