Surah al-Ma’arij 70 – Tafsir Khuluqun ‘Azhim (1/6)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim

TAFSIR SURAH KE-70

سُوْرَةُ الْمَعَارِجِ

AL-MA‘ĀRIJ /THE WAYS OF ASCENT/TEMPAT-TEMPAT NAIK

AYAT 1 s/d 44

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

1. Iftitāḥ

Surah al-Ma‘ārij (Tempat-tempat Naik) adalah surah ke-70 dalam susunan surah-surah yang terkandung dalam Mushḥaf ‘Utsmānī. Ayatnya berjumlah 44 ayat, Ibnu ‘Abbās menghitung jumlah kata yang terdapat di dalamnya sebanyak 335 kata dan huruf-hurufnya sebanyak 1313 huruf. Seluruh ayat surah al-Ma‘ārij dikatakan termasuk ke dalam kelompok ayat-ayat Makkiyyah. Surah al-Ma‘ārij diturunkan oleh Allah s.w.t. pada urutan ke-78 surah-surah al-Qur’ān. Ia turun sebelum surah an-Naba’ [78] dan sebelum surah al-Ḥāqqah [69].

Nama al-Ma‘ārij terambil dari kata al-ma‘ārij yang terdapat dalam ayat ketiga surah ini. Ia juga diberi nama dengan surah sa’ala sā’il, yang berarti “seorang penanya telah bertanya.” Kata sa’ala sā’il tercantum pada awal ayat pertama surah ini, sebagai kata pembuka untuk masuk ke dalam kandungannya. Di samping itu, surah ini juga diberi nama dengan surah al-Wāqi‘ yang berarti “yang akan terjadi”. Kata ini terdapat pada kata terakhir yang terdapat dalam ayat pertama surah al-Ma‘ārij.

Ada dua riwayat berkaitan dengan asbāb-un-nuzūl surah ini. Yang pertama dari Imām Nasā’ī dan Imām Abū Ḥanīfah telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu ‘Abbās r.a., sehubungan dengan firman-Nya: “Seorang telah meminta….” Ibnu ‘Abbās r.a. mengatakan bahwa orang yang meminta agar ‘adzab diturunkan ialah an-Nadhr ibnu al-Ḥārits telah mengatakan: “Ya Allah, seandainya al-Qur’ān ini adalah benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit.”

Sedangkan riwayat yang kedua dari Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui as-Suddī, sehubungan dengan firman-Nya: “Seorang telah meminta….”. As-Suddī telah menceritakan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah berkenaan dengan peristiwa an-Nadhr ibnu al-Ḥārits, karena sesungguhnya ia telah mengatakan, sebagaimana yang disebut oleh firman Allah surah al-Anfāl [8]: 32:

وَ إِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.

Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.”

Adapun munāsabah (korelasi) antara surah sebelumnya, yakni surah al-Ḥāqqah, dengan surah al-Ma‘ārij ini dapat dilihat dari kandungan keduanya. Surah al-Ḥāqqah mengandung penjelasan tentang peristiwa mengerikan, menakutkan, benar, dan pasti terjadi. Yakni pada di mana akan terjadi kehancuran total alam semesta dan sesudah itu manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia. Sedangkan surah al-Ma‘ārij ini diawali dengan pertanyaan dari orang yang bertanya tentang ‘adzab yang akan terjadi pada Hari Kiamat tersebut dengan nada yang mengejek serta melecehkan.

Pokok-pokok kandungan surah al-Ma‘ārij: Pertanyaan orang-orang kafir yang melecehkan; Hari Kiamat; manusia diciptakan selalu gelisah, bila disentuh kesusahan akan berkeluh-kesah, bila disentuh kesenangan akan kikir; kecuali orang yang menegakkan shalat secara konsisten. Juga Allah Maha Kuasa untuk mengganti satu generasi yang durhaka dengan generasi baru yang lebih baik. Setiap manusia kelak akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan di dunia.

2. Pertanyaan Mengejek dari Orang-orang Kafir Minta Diturunkan ‘Adzab.

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.

70: 1. Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa.
70: 2. Orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya,
70: 3. (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.
70: 4. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
70: 5. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.
70: 6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).
70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).

 

AYAT 1

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

70: 1. Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa.

Surah ini dimulai dengan pertanyaan dari orang-orang kafir tentang datangnya ‘adzab yang akan menimpa. Bahkan bukan hanya bertanya, tetapi meminta agar ‘adzab itu diturunkan kepada mereka. “Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa.” Dua riwayat yang dinukil pada iftitāḥ di atas berkaitan dengan asbāb-un-nuzūl surah ini menguatkan hal itu. Yang pertama dari Imām Nasā’ī dan Imām Abū Ḥanīfah telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu ‘Abbās r.a., sehubungan dengan firman-Nya: “Seorang telah meminta….” Ibnu ‘Abbās r.a. mengatakan bahwa orang yang meminta agar ‘adzab diturunkan ialah an-Nadhr ibnu al-Ḥārits telah mengatakan: “Ya Allah, seandainya al-Qur’ān ini adalah benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit.”

Sedangkan riwayat yang kedua dari Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui as-Suddī, sehubungan dengan firman-Nya: “Seorang telah meminta….” As-Suddī telah menceritakan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah berkenaan dengan peristiwa an-Nadhr ibnu al-Ḥārits, karena sesungguhnya ia telah mengatakan, sebagaimana yang disebut oleh firman Allah surah al-Anfāl [8]: 32:

وَ إِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.

Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.”

Dikisahkan dalam sejarah, sebagai yang disebut oleh hadits di atas, bahwa yang meminta ‘adzab secara terbuka itu adalah antara lain an-Nadhr ibnu al-Ḥārits. Tentu saja ‘adzab tidak langsung didatangkan oleh Allah pada saat dia minta. Tetapi ‘adzab itu menimpa an-Nadhr ibn al-Ḥārits pada waktu perang Badar. Ia mati terbunuh secara mengenaskan pada peperangan itu.

 

AYAT 2

لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.

70: 2. Orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya,

Imām Ibnu al-Mundzir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui al-Ḥasan yang menceritakan bahwa ayat ini, yaitu firman-Nya: “Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpanya.” Orang-orang (yakni para sahabat) mengatakan: “Kepada siapakah ‘adzab itu akan menimpa?” Maka Allah kembali menurunkan firman-Nya yang lain, yaitu: “Orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya.

‘Adzab itu diturunkan terhadap orang-orang kafir. Yang dimaksud adalah ‘adzab yang kelak akan dijatuhkan di akhirat. Orang-orang kafir yang mendurhaka kepada Allah s.w.t. akan diberi ‘adzab dengan siksaan api neraka. Mereka tidak mau beriman kepada Allah, tidak menerima kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w., mendustakan kewahyuan al-Qur’ān sebagai firman Allah. Di samping itu, mereka juga mendustakan Hari Kiamat serta tidak peduli terhadap fakir miskin dan anak yatim.

Tetapi diriwayatkan bahwa secara khusus ‘adzab itu telah terjadi terhadap orang yang bertanya dengan cemoohan tentang ‘adzab tersebut, yakni an-Nadhr ibnu al-Ḥārits. Hal ini sebagai peringatan bagi orang-orang kafir lainnya, agar menimbulkan kesadaran tentang kepastian datangnya Hari Kiamat. “Orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya” Bila ketetapan Allah sudah jatuh untuk mendatangkan ‘adzab, maka tidak ada eksistensi mana pun yang mampu menahan atau menolaknya. Bila sekarang ‘adzab itu belum datang, itu tidak berarti tidak ada sama sekali. Masalahnya tinggal waktu saja.

 

AYAT 3

مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ.

70: 3. (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.

Ketentuan tentang ‘adzab itu datang dari Allah: “(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik,” dan Allah itu adalah pemilik al-ma‘ārij, yakni tempat-tempat naik para malaikat. Penyebutan al-ma‘ārij dalam surah ini menurut Sayyid Quthb adalah untuk menggambarkan tentang keluhuran dan ketinggian Allah Yang Maha Tinggi, sebagaimana yang juga disebutkan dalam surat al-Mu’min [40]: 15:

رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ.

(Dialah) Yang Maha Tinggi Derajat-Nya, Yang mempunyai ‘arasy.”

Apa hakikat dari al-ma‘ārij itu hanya Allah Yang Maha Tahu. Yang jelas dikatakan bahwa al-ma‘ārij itu adalah tempat-tempat naik menuju tempat kemuliaan. Tempat kemuliaan itu adalah tempat yang maha tinggi, yang terhindar dari konsep ruang dan waktu. Penyebutan “tempat” dalam kasus ini disebabkan tidak ada kata yang tepat agar dapat dipahami dengan baik, untuk mendeskripsikan locus naik tersebut. Karena, makna tempat-tempat naik itu harus dijauhkan dari konsep ruang.

Kata al-ma‘ārij seakar dengan kata mi‘rāj peristiwa yang dialami oleh Rasūlullāh s.a.w., yakni Isrā’ Mi‘rāj. Isrā’ adalah perjalan malam yang dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w. dari Masjid-ul-Ḥarām di Makkah menuju Masjid-ul-Aqshā di Palestina. Sementara Mi‘rāj bentuk mufrad/singular dari kata al-ma‘ārij, yakni tempat yang digunakan untuk naik, adalah perjalanan lanjutan Mi‘rāj Rasūlullāh s.a.w. dari Masjid-ul-Aqshā di Palestina menuju Sidrat-ul-Muntahā dan bertemu dengan Allah Yang Maha Tinggi.

 

AYAT 4

تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

70: 4. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.

Tempat atau boleh jadi jalan itu yang dipergunakan oleh para malaikat secara umum serta malaikat Jibrīl secara khusus, untuk naik menuju Allah Yang Maha Tinggi. “Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan.” Al-Qur’ān mempergunakan kata ta‘ruju yang seakar dengan kata al-ma‘ārij tersebut. Melalui tempat atau jalan itu para malaikat dan malaikat Jibrīl menghadap Allah jalla wa a‘lā. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa al-ma‘ārij adalah tempat atau jalan yang amat mulia.

Perjalanan yang ditempuh oleh malaikat itu bila dibandingkan dengan perhitungan waktu manusia adalah satu hari berbanding 50.000 tahun, “dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” Bila dihitung secara matematis, 50.000 tahun itu adalah 1.825.000 hari. Jadi rasio antara malaikat dengan manusia adalah 1:1.825. Satu juta delapan ratus dua puluh lima ribu hari itu adalah 43.800.000 jam. Bila manusia mempergunakan pesawat terbang tercepat, kita tidak tahu lagi tempat mana kita sampai diantarkan. Subḥānallāh, Allāhu Akbar (Maha Suci Allah, dan Allah Maha Besar).

 

AYAT 5

فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.

70: 5. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang indah.

Oleh karena itu, (wahai Muhammad) bersabarlah dengan kesabaran yang indah. “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang indah.” Jika orang-orang kafir itu dengan pongahnya meminta agar ‘adzab yang dikatakan akan turun itu kelak di Hari Kiamat, belum turun juga, janganlah gelisah. Biarkanlah mereka dengan kepongahan dan kecongkakannya. Tidak usah risau dengan ejekan mereka agar mereka dijauhi oleh Allah dengan hujan batu, kalau wahyu itu benar-benar dari Allah, bukan karangan Muḥammad sendiri.

Para nabi dan rasūl serta para penegak keadilan dan kebenaran diperintahkan oleh Allah agar sabar dengan indah “shabrun jamīl”. Apakah shabrun jamīl itu? Buya Hamka menjelaskannya dengan sangat indah dengan mengatakan, bahwa shabrun jamīl itu ialah sikap tenang, tidak lekas marah, tidak naik darah. Terima cemoohan dengan senyum. Jangan termenung dan putus asa, lanjutkan usaha dan jangan berhenti di tengah jalan. Shabran jamīlan adalah amat perlu bagi seorang pemimpin, bagi seorang Rasūl. Karena manusia yang membantah dan yang menyatakan tidak percaya itu sebagian besar adalah manusia-manusia yang kerdil jiwanya. Mereka sombong karena tidak tahu dan tidak mau tahu latar belakang atau sesuatu yang dihadapi di muka. Akan datang masanya kelak orang-orang seperti demikian menjadi manusia-manusia yang lebih hina dari pada cacing, karena tidak ada pertahanan jiwanya ketika percobaan datang. Demikian Buya Hamka.

Para rijāl-ul-da‘wah haruslah sadar sesadar-sadarnya, meneladani kesabaran yang dicontohkan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. adalah suatu kewajiban di medan da‘wah. Kesabaran bukan sembarang kesabaran. Tetapi kesabaran yang indah. Kesabaran yang menyejukkan hati, yang membuat seorang rijāl-ul-da‘wah tidak menghentikan pelaksanaan tugas mulianya untuk menyampaikan da‘wah.

 

AYAT 6

إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا.

70: 6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).

Mereka orang-orang kafir itu memprediksi atau mengira atau juga memperhitungkan bahwa ‘adzab itu masih sangat jauh datangnya. Masih diperlukan waktu yang sangat panjang untuk tibanya ‘adzab tersebut. “Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).” Itulah perkiraan mereka yang sedang terbuai oleh keasyikan duniawi. Hidup hendaknya berlangsung lama sekali, kalau bisa selama-lamanya. Hidup jangan pernah berakhir, terus dan terus.

Inilah pandangan hidup materialisme dan sekularisme. Pandangan yang mengatakan bahwa yang namanya kehidupan spiritual itu tidak ada. Hari akhirat itu nihil semata. Yang benar-benar ada adalah yang bersifat kebedaan dan bersifat kekinian dan kedisinian. Itulah yang benar-benar ada. Yang ghaib/tidak ada dan ke-nanti-an itu hanyalah fatamorgana yang tidak boleh diperhitungkan. Memperhitungkan yang ke-nanti-an itu sama dengan menghisab candu, yang akan membuat orang menjadi terlena.

Oleh sebab itu, ‘adzab akhirat yang diberitakan oleh al-Qur’ān itu hanyalah kebohongan belaka. Kalau ‘adzab itu benar-benar ada, kenapa tidak diturunkan saja sekarang? Kenapa ditunggu sekian juta tahun lagi baru datang? Itu berarti apa yang diberitakan itu adalah tidak benar. Inilah bentuk kesombongan dan keconggakkan yang sesungguhnya. Orang-orang kafir dengan pongah dan congkak menantang Allah agar segera menurunkan ‘adzab tanpa menunggu lama.

 

AYAT 7

وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.

70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).

Kalau orang-orang kafir memandang bahwa datangnya ‘adzab itu sangat jauh, karena pandangan tersebut didasarkan pada fondasi yang lemah, maka Allah mengatakan bahwa ‘adzab itu sudah sangat dekat datangnya: “Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).” Dua pandangan ini memang sangat berbeda tajam. Pandangan pertama berawal dari ketidakpercayaan atau kedurhakaan, sedangkan pandangan kedua berawal dari keimanan dan keyakinan.

Jangankan perjalanan sejauh 50.000 tahun atau 43.800.000 jam di tengah alam semesta, bahkan alam semesta itu sendiri berada dalam genggaman Allah yang Maha Kuasa. Dialah eksistensi yang menghidupi dan mematikan, eksistensi yang menciptakan dan menghancurkan. Kapan saja Dia bisa datangkan ‘adzab itu. Ibarat kata sekedipan mata dalam ukuran manusia. Tidak ada yang sulit bagi Allah, semuanya serba mudah. Tetapi kenapa belum juga datang?

Inilah bentuk dari kasih-sayang Allah kepada manusia. Manusia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Kesempatan untuk memperbanyak amal shalih dan amal-amal kebajikan. Kesempatan untuk tidak memilih jalan yang sesat dan menyesatkan sehingga berbuat kehancuran di muka bumi. Kesempatan memilih shirāth-al-mustaqīm, jalan yang benar dan lurus, agar berjalan dengan selamat dalam kehidupan dunia dan sampai ke tujuan yang diridhai oleh Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *