Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir al-Qurthubi (5/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.

70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.
70: 20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah,
70: 21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 19-21).

Firman Allah ta‘ālā: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.” Maksudnya adalah orang-orang kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari adh-Dhaḥḥāk.

Al-Hala‘ menurut bahasa adalah sangat kikir dan sangat buruk lagi sangat keji kegelisahannya. Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Qatādah, Mujāhid dan yang lainnya. (Dikatakan): Hali‘a yahla‘u fahuwa hāli‘un dan halū‘un, guna menunjukkan makna sering gelisah.

Makna firman Allah itu adalah, bahwa manusia itu tidak dapat bersabar, baik atas kebaikan maupun keburukan, sehingga dia melakukan sesuatu yang tidak semestinya pada kebaikan dan keburukan itu.

‘Ikrimah berkata: “(Al-Hala‘) adalah kegelisahan.”

Adh-Dhaḥḥāk berkata: “Al-Halū‘ adalah orang yang tidak pernah kenyang, sedangkan al-manū‘ adalah orang yang apabila mendapatkan harta maka dia tidak menunaikan hak Allah dari harta itu.”

Ibnu Kaisān berkata: “Allah menciptakan manusia mencintai sesuatu yang dapat membahagiakan dan memuaskannya, dan dia akan lari dari sesuatu yang tidak disukai dan dibencinya. Setelah itu, Allah memerintahkannya untuk beribadah yaitu dengan menginfaqkan apa yang dicintainya dan bersabar atas sesuatu yang tidak disukainya.”

Abū ‘Ubaidah berkata: “Al-Halū‘ adalah orang yang jika mendapatkan kebaikan maka dia tidak akan bersyukur, dan jika mendapatkan kemudharatan maka dia tidak akan bersabar.” Seperti itulah yang dikatakan Tsa‘lab.

Tsa‘lab juga berkata: “Sesungguhnya Allah telah menafsirkan al-Halū‘, yaitu orang yang jika mendapatkan keburukan maka dia nampak sangat gelisah, tapi jika dia mendapatkan kebaikan maka dia kikir dan tidak memberikannya kepada manusia lain.”

Nabi s.a.w. bersabda:

شَرُّ مَا أَعْطِيَ الْعَبْدُ شُحٌّ هَالِعٌ وَ جُبْنٌ خَالِعٌ.

Seburuk-buruk sifat yang diberikan kepada seorang hamba adalah sifat kikir yang gelisah dan sifat penakut yang sangat.” (1521).

Orang ‘Arab berkata: “Nāqatun hilwā‘atun dan hilwā‘un (unta yang cepat berjalannya lagi ringan”.

Lafazh (جَزُوْعًا) “keluh-kesah” dan (مَنُوْعًا) “kikir” adalah dua sifat bagi lafazh (هَلُوْعًا), namun dengan catatan harus diniatkan untuk mendahulukan keduanya sebelum lafazh (إِذَا).

Menurut satu pendapat, keduanya adalah khabar bagi lafazh (كَانَ) yang disimpan.

 

Firman Allah:

إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.

70: 22. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,
70: 23. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,
70: 24. dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,
70: 25. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),
70: 26. dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,
70: 27. dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya.
70: 28. Karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).
70: 29. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
70: 30. kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
70: 31. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
70: 32. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
70: 33. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.
70: 34. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
70: 35. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 22-35).

Firman Allah ta‘ālā: (إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ.) “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,” menunjukkan bahwa firman Allah sebelumnya adalah tentang orang-orang kafir. Sebab al-insān (manusia) adalah Isim Jins. Dalil atas hal ini adalah istitsna’ (pengecualian) yang menyertainya. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا.) “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman.” (Qs. al-‘Ashr [103]: 2-3).

An-Nakha‘ī berkata: “Yang dimaksud dengan (الْمُصَلِّيْنَ) adalah orang-orang yang menunaikan shalat fardhu.”

Ibnu Mas‘ūd berkata: “(Yang dimaksud dengan (الْمُصَلِّيْنَ) adalah) orang-orang yang menunaikan shalat pada waktunya. Adapun meninggalkan shalat, itu merupakan sebuah tindak kekafiran.”

Menurut satu pendapat, yang dimaksud dengan (الْمُصَلِّيْنَ) adalah para sahabat.

Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud dengan (الْمُصَلِّيْنَ) adalah orang-orang yang beriman secara umum. Sebab mereka akan dapat mengatasi kegelisahan mereka dengan kepercayaan dan keyakinan mereka terhadap Tuhan mereka.

 

Firman Allah ta‘ālā: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” yakni pada waktunya. ‘Aqabah bin ‘Āmir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang apabila menunaikan shalat, maka mereka tidak melirik ke kanan dan ke kiri.” Sebab ad-dā’im adalah orang yang diam/tenang. Contohnya adalah (kalimat):

نَهَى عَنِ الْبَوْلِ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ.

Beliau melarang buang air kecil di air yang diam.”

Maksudnya, tidak mengalir.

Ibnu Juraij dan al-Ḥasan mengatakan, mereka adalah orang-orang yang banyak mengerjakan shalat sunnah.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ.) “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,” maksudnya adalah zakat wajib. Demikianlah yang dikatakan oleh Qatādah dan Ibnu Sīrīn.

Mujāhid berkata: “Selain zakat.”

‘Alī bin Abī Thalḥah mengutip dari Ibnu ‘Abbās: membina hubungan silaturrahim dan menanggung semua orang. Namun pendapat yang pertama (pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat wajib) adalah pendapat yang lebih shaḥīḥ. Sebab Allah menyifati (حَقٌّ) “bagian” dengan (مَّعْلُوْمٌ) “tertentu”. Sementara selain zakat itu tidak ditentukan, akan tetapi tergantung pada keperluan, dan hal ini terkadang bisa banyak dan terkadang pula bisa sedikit.

 

Firman Allah ta‘ālā: (لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ.) “bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” Firman Allah ini sudah dibahas pada tafsir surah adz-Dzāriyāt. (1532).

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.) “dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,” maksudnya hari pembalasan, yaitu hari kiamat. Pembahasan mengenai hal ini sudah dijelaskan pada tafsir al-Fātiḥah.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ.) “dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya,” maksudnya yang takut.

 

(إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ.) “Karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).” Ibnu ‘Abbās berkata: “Bagi orang yang menyekutukan (Allah) atau mendustakan para Nabi-Nya.”

Menurut satu pendapat, tidak ada seorang pun yang aman darinya. Oleh karena itulah setiap orang wajib untuk takut kepadanya.

 

Firman Allah ta‘ālā:

وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ.

Dan orang-orang yang memilihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Ma‘ārij [70]: 29-31), persis sama dengan (Qs. al-Mu’minūn [23]: 5-7). (Firman Allah ini sudah dijelaskan pada surah al-Mu’minūn): (قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Mu’minūn [23]: 1).

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ.) “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,” Firman Allah ini pun sudah dijelaskan pada pembahasan terdahulu.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ.) “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya,” kepada orang yang wajib menerimanya, baik orang dekat maupun orang yang jauh. Mereka memberikan kesaksiannya itu di depan hakim dan mereka tidak menyembunyikannya atau merubahnnya. Pembahasan mengenai kesaksian dan berbagai hukumnya sudah dipaparkan dalam tafsir surah al-Baqarah. (1543).

Ibnu ‘Abbās berkata: “(بِشَهَادَاتِهِمْ) “kesaksiannya,” bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muḥammad adalah hamba dan utusan-Nya”

Firman Allah itu dibaca pula dengan (لِأَمَانَتِهِمْ) – dengan kata yang berbentuk tunggal. Qirā’ah ini adalah qirā’ah Ibnu Katsīr dan Ibnu Muḥaishin. (1554).

Dengan demikian, lafazh al-amānah adalah isim jins di mana amānah-amānah agama termasuk ke dalamnya. Sebab syarī‘at-syarī‘at adalah amānah yang dibebankan Allah kepada hamba-hambaNya. Termasuk pula ke dalamnya amānah-amanah manusia, yaitu titipan. Semua ini sudah dijelaskan secara lengkap dalam surah an-Nisā’. (1565).

‘Abbās ad-Dūrī membaca (firman Allah itu) dari Abū ‘Amru dan Ya‘qūb dengan (بِشَهَادَتِهِمْ) – yakni kata yang berbentuk tunggal. Sebab kata yang berbentuk tunggal ini pun dapat menunaikan makna yang terkandung dalam kata yang berbentuk jama‘.

Dalam hal ini, biasanya mashdar tetap menggunakan bentuk tunggal, meskipun ia disandarkan kepada jama‘. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ.) “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqmān [31]: 19).

Al-Farrā’ berkata: “Dalil yang menunjukkan bahwa qirā’ah (yang relevan) adalah (بِشَهَادَاتِهِمْ), yakni menggunakan kata yang berbentuk tunggal, adalah firman Allah ta‘ālā: (وَ أَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ للهِ.) “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Qs. ath-Thalāq [65]: 2).”

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ.) “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” Qatādah berkata: “Dengan wudhu’, ruku‘, dan sujudnya.” Ibnu Juraij berkata: “(Maksudnya), shalat sunnah.” Hal ini sudah dijelaskan dalam surah al-Mu’minūn. (1576). Dengan demikian. Ad-dawām (tetap mengerjakan) itu berbeda dengan al-muḥāfazhah (pemeliharaan). Ad-Dawām yang mereka lakukan terhadap shalat mereka adalah: mereka memelihara pelaksanaannya, tidak pernah meninggalkannya, dan tidak pernah pula tersibukkan darinya oleh kesibukan apapun. Sementara al-muḥāfazhah yang mereka lakukan terhadap shalatnya adalah: mereka menjaga kesempurnaan wudhu’nya dan juga waktu shalatnya, melaksanakan rukun-rukun shalatnya, menyempurnakan shalatnya dengan berbagai sunnah dan etikanya, serta memeliharanya dari kegagalan karena mendekati perbuatan dosa. Dengan demikian, ad-dawām itu kembali kepada shalat itu sendiri, sedangkan al-muḥāfazhah kembali kepada keadaannya.

 

Firman Allah ta‘ālā: (أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.) “Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.” Maksudnya, Allah memuliakan mereka di dalam surga dengan berbagai penghormatan.

Catatan:

  1. 152). Sabda Rasūlullāh: (جُبْنٌ خَالِعٌ.), yakni (sifat penakut) yang sangat, seolah-olah hatinya copot karena saking takutnya. Itu merupakan majāz dalam pencopotan. Yang dimaksud darinya adalah ide-ide yang terbersit pada dirinya dan lemah hatinya ketika merasa takut. Demikianlah, dan hadits ini tertera dalam an-Nihāyah karya Ibna-ul-Atsīr. (2/62).
  2. 153). Lih. Tafsir surah adz-Dzāriyat ayāt 19.
  3. 154). Lih. Tafsir surah al-Baqarah, ayat 283.
  4. 155). Qirā’ah dengan kata yang berbentuk tunggal ini merupakan qirā’ah yang juga mutawātir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 147.
  5. 156). Lih. Tafsir surah an-Nisā’, ayat 58.
  6. 157). Lih. Tafsir surah al-Mu’minūn, ayat 9.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *