Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir al-Qurthubi (4/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.

70: 15. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak,
70: 16. yang mengelupaskan kulit kepala,
70: 17. yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama).
70: 18. Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 15-18).

Firman Allah ta‘ālā: (كَلَّا) “Sekali-kali tidak dapat,” pembahasan mengenai lafazh (كَلَّا) ini telah dipaparkan pada uraian terdahulu, dan bahwa ia mengandung makna (حَقًّا) “sesungguhnya” dan makna (لَا) “tidak” (Jika digabungkan, maka makna lafazh kalla itu menjadi: Sesungguhnya tidak atau sekali-kali tidak. Penerj.). Pada ayat ini, lafazh (كَلَّا) itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan: jika ia mengandung makna (حَقًّا) “sesungguhnya”, maka firman Allah (sebelumnya) sempurna pada lafazh: (يُنْجِيْهِ). Tapi jika ia mengandung makna (لَا) “tidak”, maka firman Allah (sebelumnya) sempurna pada lafazh (كَلَّا) ini. Maksudnya, tidak akan dapat menyelamatkannya dari ‘adzab Allah tebusan itu. Setelah itu Allah berfirman: (إِنَّهَا لَظَى.) “Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak.” Maksudnya, itu adalah neraka Jahannam. Yakni, apinya menyala-nyala. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى) “Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.” (Q.s. al-Lail [98]: 14).

Lafazh (لَظَى) itu diambil dari (التَّلَظَّى). Iltizhā’ api adalah kobarannya, dan talāzhzhi api adalah kobarannya.

Menurut asal lafazh (لَظَى) adalah (لَظَظَ), yakni terus-menerus, karena kekalnya ‘adzab. Setelah itu, salah satu dari dua huruf zhā’ itu ditukarkan kepada huruf alif, sehingga jadilah (لَظَى).

Menurut satu pendapat, (لَظَى) adalah salah satu tingkatan neraka. Ia adalah isim ma‘rifah mu’annats, sehingga tidak dapat menerima tanwīn.

 

Firman Allah ta‘ālā: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) “yang mengelupaskan kulit kepala.” Abū Ja‘far, Syaibah, Nāfi‘, ‘Āshim pada riwayat Abū Bakar darinya, al-A‘masy, Abū ‘Amru, Ḥamzah, dan al-Kisā’ī membaca firman Allah itu dengan: (نَزَّاعَةٌ), yakni dengan rafa‘. Sementara Abū ‘Amru dari ‘Āshim membaca firman Allah itu dengan: (نَزَّاعَةً), yakni dengan nashab. Barang siapa yang me-rafa‘-kan lafazh (نَزَّاعَةٌ) itu, dia memilik lima alasan:

  1. Menjadikan lafazh (لَظَى) sebagai khabar lafazh (إِنَّ), dan lafazh (نَزَّاعَةٌ) di-rafa‘-kan dengan menyembunyikan lafazh (هِيَ). Jika berdasarkan kepada alasan ini, maka akan dianggap baik bila me-waqaf-kan qirā’ah pada lafazh (لَظَى).
  2. Menjadikan lafazh (لَظَى) dan lafazh (نَزَّاعَةٌ) sebagai dua khabar lafazh (إِنَّ), sebagaimana engkau berkata: Innahu khalqu mukhāshimunsesungguhnya dia adalah makhluk yang memusuhi”.
  3. Menjadikan lafazh (نَزَّاعَةٌ) sebagai badal bagi lafazh (لَظَى), sementara lafazh (لَظَى) itu merupakan khabar bagi lafazh (إِنَّ).
  4. Menjadikan lafazh (لَظَى) sebagai badal (pengganti) dari Isim (إِنَّ), sedangkan (نَزَّاعَةٌ) khabar (إِنَّ).
  5. Menjadikan dhamīr (kata ganti) pada lafazh (إِنَّهَا) untuk kisah, sementara lafazh (لَظَى) menjadi mubtada’ dan lafazh (نَزَّاعَةٌ) menjadi khabar-nya. Kalimat yang terdiri dari mubtada’ dan khabar ini berada (pada) posisi rafa‘ karena menjadi khabar bagi lafazh (إِنَّ). Maknanya, sesungguhnya kisah dan kabar (tentang neraka) adalah (bahwa) api yang menyala adalah yang dapat mengelupaskan kulit kepala.

Barang siapa yang me-nashab-kan lafazh (نَزَّاعَةً), maka akan dianggap baik baginya bila dia me-waqaf-kan qirā’ah pada lafazh (لَظَى). Lafazh (نَزَّاعَةً) ini di-nashab-kan karena diputuskan dari lafazh (لَظَى), jika ia adalah isim nakirah (indefinitif) yang bersambung dengan isim ma‘rifah (definitif).

Boleh juga me-nashab-kan lafazh (نَزَّاعَةً) ini karena menjadikannya sebagai ḥāl yang diberikan taukīd (penguatan), sebagaimana Allah berfirman: (وَ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا.) “Sedang al-Qur’ān itu adalah (Kitāb) yang hak, yang membenarkan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 91). Boleh juga me-nashab-kan lafazh (نَزَّاعَةً) ini dengan makna bahwa api itu menggelegak saat mengelupaskan (kulit kepala), yakni pada saat ia mengelupaskan kulit kepala. ‘Āmil padanya adalah makna penggelegakan yang ditunjukkan oleh firman Allah itu.

Boleh juga me-nashab-kan lafazh (نَزَّاعَةً) karena menjadi ḥāl, yakni kondisi bagi orang-orang yang mendustakan berita tentang pengelupaskan kulit kepala oleh api itu. Boleh juga me-nashab-kan lafazh (نَزَّاعَةً) karena diputus (dari kalimat sebelumnya). Contohnya engkau berkata: Marartu bizaidin al-‘āqila al-fādhilaaku bertemu dengan Zaid yang berakal lagi mulia”. Dengan demikian, untuk nashab lafazh (نَزَّاعَةً) ini pun ada lima alasan.

Asy-Syawā adalah jama‘ dari Syawāh, yaitu kulit kepala.

Al-A‘syā berkata:

قَالَتْ قُتَيْلَةُ مَالَهُ قَدْ جُلَّلَتْ شَيْبًا شَوَاتُهُ.

Qutailah berkata: “Mengapa dia?
Sesungguhnya kulit kepalanya telah dipenuhi uban.”
(1501).

Dalam kitab ash-Shiḥḥah dinyatakan, asy-syawā adalah jama‘ dari syawāh, yaitu kulit kepala. Asy-Syawā juga berarti kedua tangan, kedua kaki dan kepala manusia, serta semua anggota tubuh yang bukan merupakan tempat untuk melakukan pembunuhan. Dikatakan: Ramāhu fa asywāhu “dia membidiknya, namun dia tidak mengenainya”, jika dia tidak mengenai anggota tubuh yang dapat menimbulkan kematian.

Al-A‘syā berkata:

قَالَتْ قُتَيْلَةُ مَالَهُ قَدْ جُلَّلَتْ شَيْبًا شَوَاتُهُ.

Qutailah berkata: “Mengapa dia?
Sesungguhnya kulit kepalanya telah dipenuhi uban.”
(1512).

Abū ‘Ubaid berkata: “Bait itu disenandungkan oleh Abul-Khaththāb Akhfasy kepada Abū ‘Amru al-‘Alā, lalu Abū ‘Amru al-‘Alā berkata kepadanya: “Engkau telah salah membaca. Sesungguhnya yang benar adalah sarātuhu (bukan syawātuhu), yakni sekitar (kepala)nya. Abul-Khaththāb diam. Setelah itu Abul-Khaththāb berkata: “Melainkan dialah (Abū ‘Amru al-‘Alā) yang salah membaca. Sesungguhnya yang benar adalah syawātuhu.”

Syawā-l-khail adalah keempat kaki kuda. Sebab kuda disebut juga: Abl-usy-syawā (yang besar/kokoh kakinya). Namun kata asy-Syawā ini tidak dapat digunakan untuk (kulit) kepala kuda, sebab mereka menyifati kuda dengan cari/pipih kedua pipinya dan leher wajahnya, yaitu bagiannya yang lembut.

Asy-Syawā juga berarti kotoran harta. Asy-Syawā pun berarti sesuatu yang hina lagi sepele.

Tsābit al-Bunānī dan al-Ḥasan mengatakan: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) “yang mengelupaskan kulit kepala,” yakni kemuliaan wajahnya.

Abul-‘Aliyyah berkata: “Keindahan wajahnya.”

Qatādah berkata: “Kemuliaan rupa dan anggota tubuhnya.”

Adh-Dhaḥḥāk berkata: “Melepaskan daging dan kulit dari tulang, hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun.”

Al-Kisā’ī berkata: “Itu adalah persendian.”

Sebagian imam berkata: “Itu adalah kaki dan kulit.”

Abū Shāliḥ berkata: “Ujung-ujung dua tangan dan dua kaki.”

Al-Ḥasan juga berkata: “Asy-Syawā adalah kepala.”

 

Firman Allah ta‘ālā: (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) “Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama).” Maksudnya, api yang berkobar itu memanggil orang yang membelakang di dunia dari ketaatan terhadap Allah dan berpaling dari keimanan. Panggilannya adalah mengatakan: “Kemarilah wahai musyrik, kemarilah wahai kafir.”

Ibnu ‘Abbās berkata: “Api yang berkobar itu memanggil nama orang-orang kafir dan munafiq dengan lidah yang fasih: kemarilah wahai kafir, kemarilah wahai munafiq. Setelah itu, api yang berkobar itu menelan mereka seperti burung menelan biji-bijian.”

Tsa‘lab berkata: “(Allah berfirman): (تَدْعُوْا), yakni membinasakan. Orang ‘Arab berkata: Da’ānkallāhu (semoga Allah membinasakanmu).”

Al-Khalīl berkata: “Sesungguhnya panggilan itu bukanlah seperti panggilan kemarilah. Akan tetapi panggilan api yang berkobar itu adalah kemampuannya untuk meng‘adzab mereka.”

Menurut satu pendapat, yang memanggil adalah para penjaga neraka. Seruan mereka itu di-idhāfah-kan kepada api yang berkobar.

Menurut pendapat yang lain, itu merupakan sebuah kiasan. Maksudnya, tempat kembali orang yang membelakang dan berpaling adalah ke dalam api yang berkobar, sehingga seolah-olah api itu memanggil mereka.

 

Menurut saya (al-Qurthubī), pendapat yang pertama adalah hakikat, sebagaimana yang telah dijelaskan melalui ayat-ayat al-Qur’ān dan hadits-hadits yang shaḥīḥ.

Al-Qusyairī berkata: “Panggilan api yang berkobar itu adalah dengan diciptakannya kehidupan padanya, pada saat dia melakukan panggilan. Kelak hal-hal yang luar biasa akan banyak terjadi.”

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.” Maksudnya adalah orang yang mengumpulkan harta benda dan menempatkannya di wadahnya, namun dia tidak menunaikan hak Allah dari harta tersebut, sehingga dia pun menjadi orang yang banyak tidak menunaikan hak Allah.

Al-Ḥakam berkata: ‘Abdullāh bin ‘Ukaim tidak dapat memelihara kesantunannya, dan dia berkata: Aku mendengar Allah berfirman: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.

Catatan:

  1. 150). Bait ini tertera dalam ash-Shiḥḥāh (Lisān-ul-‘Arab (entri: Syawā)), Majāz-ul-Qur’ān (2/269), Tafsīr-ul-Māwardī (6/93), Tafsīru Ibnu ‘Athiyyah (16/112), al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/330), dan Fatḥ-ul-Qadīr (5/413).
  2. 151). Ibid.

Unduh Rujukan:

  • [download id="21613"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *