Firman Allah:
فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.
70: 5. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.
70: 6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).
70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 5-7).
Firman Allah ta‘ālā: (فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.) “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik,” yakni atas gangguan kaummu.
Sabar yang baik adalah yang tiada kegundahan di dalamnya dan tiada pula pengaduan kepada selain Allah. Menurut satu pendapat, sabar yang baik adalah seseorang tertimpa musibah di kalangan suatu kaum, namun identitasnya tidak diketahui sebagai orang yang terkena musibah. Makna dari definisi tersebut hampir sama.
Ibnu Zaid berkata: “Ayat tersebut telah dinasakh oleh ayat-ayat pedang (ayat-ayat yang menganjurkan untuk memerangi orang-orang kafir).”
Firman Allah ta‘ālā: (إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا.) “Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).” Maksudnya, penduduk Makkah (pada saat itu) memandang bahwa ‘adzab neraka itu jauh, sebab mereka tidak percaya kepadanya. Mereka memandangnya jauh karena mereka seolah-olah menganggapnya mustahil. Hal itu sebagaimana engkau berkata kepada orang yang engkau debat: “Ini jauh dan tidak akan terjadi.”
Menurut satu pendapat, mereka menganggap hari ini masih jauh, (وَ نَرَاهُ) “Sedangkan Kami memandangnya,” yakni mengetahuinya. Sebab pandangan itu terkait dengan sesuatu yang ada. Hal ini seperti ucapanmu: Asy-Syāfi‘ī yarā fī hādzih-il-mas’alati kadzā wa kadzā (Syāfi‘ī memandang anu dan anu (begini dan begini) dalam masalah ini).”
Firman Allah:
يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.
70: 8. Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.
70: 9. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),
70: 10. Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 8-10).
Firman Allah ta‘ālā: (يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.” ‘Āmil bagi lafazh (يَوْمَ) adalah lafazh (وَاقِعٍ). Perkiraan susunan kalimatnya adalah (يَقَعُ بِهِمُ الْعَذَابُ يَوْمَ) “‘Adzab menimpa mereka pada hari.”
Menurut satu pendapat, ‘āmil-nya adalah lafazh (نَرَاهُ) atau lafazh (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling memandang.” (Qs. al-Ma‘ārij [70]: 11). Atau, lafazh (يَوْمَ) itu menjadi badal dari lafazh (قَرِيْبًا).
Al-Muhl adalah minyak jelantah dan (minyak) yang keruhan. Ini menurut pendapat Ibnu ‘Abbās dan yang lainnya. Namun Ibnu Mas‘ūd berkata: “Al-Muhl adalah lelehan timah, tembaga dan perak.”
Mujāhid berkata: “(Allah berfirman): (كَالْمُهْلِ), yakni seperti tetesan darah dan nanah.” Hal ini sudah dijelaskan dalam surah ad-Dukhān dan al-Kahfi. (1481).
Firman Allah ta‘ālā: (وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.) “Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),” dan (الْعِهْنِ) adalah bulu yang berwarna merah. Ia adalah bulu yang paling lembut.”
Menurut satu pendapat, (الْعِهْنِ) adalah bulu yang berwarna-warni. Gunung-gunung disamakan dengan bulu yang berwarna-warni ini, karena sama-sama memiliki banyak warna. Makna firman Allah itu adalah, bahwa gunung-gunung itu menjadi lemah setelah kokoh dan tercerai-berai setelah menyatu.
Menurut satu pendapat, pertama kali gunung-gunung itu berubah adalah menjadi pasir yang apabila bagian bawahnya digerakkan maka bagi atasnya ikut-ikutan, kemudian menjadi debu yang berterbangan.
Firman Allah ta‘ālā: (وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.) “Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,” yakni tentang keadaannya, karena masing-masing manusia sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri. Demikianlah yang dikatakan Qatādah. Hal ini sebagaimana Allah ta‘ālā berfirman: (لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ) “Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Qs. ‘Abasa [80]: 37).
Menurut satu pendapat, (perkiraan susunan kalimat untuk firman Allah tersebut adalah): (وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ عَنْ حَمِيْمٍ.) “Tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan tentang temannya.” Setelah itu, huruf jarr (عَنْ) dibuang, dan fi‘il disambungkan (maksudnya, lafazh (حَمِيْمٍ) dijadikan sebagai maf‘ūl (objek) secara langsung, tanpa perantaraan huruf jarr).
Qirā’ah kalangan mayoritas adalah (يَسْئَلُ) dengan fatḥah huruf yā’. Sementara Syaibah dan al-Bazzī dari ‘Āshim membaca firman Allah itu dengan (وَ لَا يُسْأَلُ), dengan dhammah huruf yā’, yakni dengan bentuk fi‘il yang tidak disebutkan fā‘il-nya (1492) Maksudnya, tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan tentang temannya, dan tidak ada seorang saudara pun yang menanyakan tentang saudaranya. Akan tetapi masing-masing manusia bertanya tentang amalnya sendiri-sendiri. Padanan firman Allah itu adalah firman-Nya: (كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ.) “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Qs. al-Muddatstsir [78]: 38).
Firman Allah:
يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.
70: 11. Sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya.
70: 12. Dan istrinya dan saudaranya,
70: 13. Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).
70: 14. Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 11-14).
Firman Allah ta‘ālā: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling melihat.” Maksudnya, mereka dapat melihat orang-orang itu. Pada hari kiamat kelak, tidak ada seorang makhluk pun kecuali dia berada di hadapan sahabatnya, baik jinn maupun manusia. Seseorang dapat melihat ayahnya, saudaranya, kerabatnya, familinya, namun dia tidak bertanya atau berbicara kepada mereka, karena masing-masing orang sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri.
Ibnu ‘Abbās berkata: “Mereka saling mengenal sesaat, lalu setelah itu mereka tidak lagi saling mengenali.”
Pada beberapa riwayat dinyatakan bahwa orang-orang yang ada pada hari kiamat akan lari dari orang-orang yang mereka kenal, karena takut akan kezhaliman yang pernah mereka perbuat.
Ibnu ‘Abbās juga berkata: “(Allah berfirman): (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling melihat,” yakni satu sama lain saling melihat dan mereka pun saling mengenal. Setelah itu, satu sama lain saling melarikan diri.” Jika berdasarkan kepada pendapat ini, dhamīr yang terdapat pada lafazh (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) ditujukan kepada orang-orang kafir, sementara huruf (hā’ dan) mīm-nya ditujukan kepada karib-kerabat (mereka).
Mujāhid berkata: “Allah membuat orang-orang yang beriman dapat melihat orang-orang kafir pada hari kiamat kelak.” Jika berdasarkan kepada pendapat ini, dhamīr yang terdapat pada lafazh (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) ditujukan kepada orang-orang yang beriman, sementara huruf hā’ dan mīm-nya ditujukan kepada orang-orang kafir.
Ibnu Zaid berkata: “Makna (firman Allah itu adalah): Allah membuat orang-orang kafir yang berada di neraka depat melihat orang-orang yang menyesatkan mereka di dunia.” Jika berdasarkan kepada pendapat ini, maka dhamīr yang terdapat pada lafazh (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) ditujukan kepada orang-orang yang mengikuti, sementara huruf hā’ dan mīm-nya ditujukan kepada orang-orang yang diikuti.
Menurut satu pendapat, maksud firman Allah itu adalah: Allah membuat orang yang teraniaya dapat melihat orang yang menganiayanya, dan orang yang terbunuh dapat melihat orang yang membunuhnya.
Menurut pendapat yang lain, firman Allah (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) kembali kepada para malaikat. Maksudnya, mereka mengetahui keadaan manusia, lalu mereka menggiring masing-masing kelompok ke tempat yang pantas baginya.
Firman Allah itu telah sempurna pada firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ). Setelah itu Allah berfirman: (يَوَدُّ الْمُجْرِمُ) “Orang kafir ingin,” maksudnya orang-orang kafir itu berangan-angan, (لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ) “Kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu,” maksudnya dari ‘adzab neraka Jahannam dengan orang yang paling berharga baginya di dunia. Yaitu karib-kerabatnya, namun dia tidak dapat melakukan itu. Setelah itu Allah mengingatkan mereka (akan saudara dan famili mereka), di mana Allah berfirman: (وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِه) “Dan saudaranya, Dan kaum familinya,” yakni familinya, (الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ.) “Yang melindunginya,” yakni yang membelanya. Demikianlah yang dikatakan Mujahid dan Ibnu Zaid.
Imām Mālik berkata: “(Maksudnya), ibunya yang telah mendidiknya.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Māwardī. Hal itu juga diriwayatkan oleh Asyhab dari Imām Mālik.
Abū ‘Ubaidah berkata: “Al-Fashīlah itu bukanlah al-qabīlah (kabilah).”
Tsa‘lab berkata: “Al-Fashīlah adalah nenek-moyangnya yang paling dekat.”
Al-Mubarrad berkata: “Al-Fashīlah adalah potongan anggota tubuh. Al-Fashīlah itu bukanlah al-qabīlah (kabilah). Keturunan seseorang disebut Fashīlah-nya, karena mereka diidentikkan sebagai bagian darinya.” Pembahasan mengenai kata al-qabīlah dan yang lainnya telah dijelaskan dalam surah al-Ḥujurāt.
Dalam hal ini terdapat sebuah masalah, yaitu jika seseorang memberikan kekhususan kepada Fashīlah-nya atau memberikan wasiat hanya kepada Fashīlah-nya, barang siapa yang menganut makna Fashīlah yang umum, dia akan membawa kekhususan dan wasiat itu kepada al-‘Asyīrah (keluarga). Sementara yang menganut makna al-Fashīlah yang khusus, dia membawanya hanya kepada bapak-bapaknya, yang dekat kemudian yang paling dekat. Namun pendapat yang pertama lebih banyak dikemukakan oleh para ‘ulamā’. Wallāhu a‘lam.
Makna: (تُؤْوِيْهِ.) adalah yang membela dan mengamankannya dari ketakutan, jika ada ketakutan yang menimpanya.
Firman Allah ta‘ālā: (وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا) “Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya.” Maksudnya, dia berangan-angan seandainya dia bisa ditebus oleh mereka, niscaya dia akan mengorbankan mereka.
(ثُمَّ يُنْجِيْهِ.) “Kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya,” yakni (dia mengharapkan) tebusan itu dapat membebaskannya. Jika demikian, maka adanya kata yang disimpan ini merupakan sebuah keharusan. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (وَ إِنَّهُ لَفِسْقٌ) “Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Q.s. al-An‘ām [6]: 121). Maksudnya, (وَ إِنَّهُ أَكَلَهُ لَفِسْقٌ) “Dan jika dia memakannya (sesuatu yang tidak disebutkan nama Allah kepadanya), maka itu merupakan sebuah kefasikan.”
Menurut satu pendapat, firman Allah ta‘ālā: (يَوَدُّ الْمُجْرِمُ) “Orang kafir ingin,” menghendaki adanya jawaban yang menggunakan huruf fa’ baginya. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ) “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Q.s. al-Qalam [68]: 9). Jawaban untuk firman Allah itu adalah firman-Nya: (ثُمَّ يُنْجِيْهِ.) “Kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya,” sebab lafazh (ثُمَّ) itu merupakan huruf ‘Athaf. Maksudnya, orang kafir itu ingin kalau sekiranya dia dapat menebus dirinya (dari ‘adzab pada hari itu), maka kemudian tebusan dapat menyelamatkan dirinya.