Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir al-Qurthubi (1/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Qurthubi

SŪRAT-UL-MA‘ĀRIJ

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Firman Allah:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

70: 1. Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi,
70: 2. untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya,
70: 3. (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.
70: 4. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya 50.000 (lima puluh ribu) tahun.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 1-4).

Firman Allah ta‘ālā: (سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) “Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi.” Nāfi‘ dan Ibnu ‘Āmir membaca firman Allah itu dengan (سَالَ سَائِلٌ), yakni tanpa huruf hamzah. (1381) Sementara yang lain membaca firman Allah itu dengan huruf hamzah. Barang siapa yang membacanya dengan huruf hamzah maka kata (سَأَلَ) itu berasal dari (السُّؤَالُ).

Huruf bā’ (yang terdapat pada firman Allah: (بِعَذَابٍ) itu boleh jadi merupakan bā’ zā’idah/tambahan, dan boleh jadi pula mengandung makna (عَنْ) “dari”.

Makna as-su’āl adalah ad-du‘ā (doa). Maksud firman Allah itu adalah: seseorang pendoa telah berdoa (agar datang) ‘adzab. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan yang lainnya. Dikatakan: da‘ā ‘alā fulānin bil-waili (dia mendoakan fulan agar celaka) dan da‘ā ‘alaihi bil-‘adzāb (dia mendoakannya agar di‘adzab).

Dikatakan pula: Da‘autu Zaidan (aku memanggil Zaid), yakni aku meminta kehadirannya. Maksud firman Allah itu adalah: seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab kepada orang-orang yang kafir. ‘Adzab itu pasti akan menimpa mereka pada hari kiamat kelak.

Jika berdasarkan kepada pendapat ini, maka huruf bā’ tersebut adalah bā’ zā’idah/tambahan, seperti firman Allah ta‘ālā: (تَنْبُتُ بِالدُّهْنِ) “Yang menghasilkan minyak.” (Qs. al-Mu’minūn [23]: 20). Juga seperti firman Allah ta‘ālā: (وَ هُزِّيْ إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ) “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” (Qs. Maryam [19]: 25). Huruf bā’ itu merupakan penguat. Maksud firman Allah itu adalah: seseorang peminta telah meminta ‘adzab yang bakal terjadi, (لِّلْكَافِريْنَ) “Untuk orang-orang kafir,” yakni pada orang-orang yang kafir, yaitu an-Nadhr bin al-Ḥārits, karena dia berkata:

(اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.) “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (Qs. al-Anfāl [8]: 32).

Setelah itu, terkabullah permintaannya, di mana dia dan ‘Aqabah bin Abī Mu‘aith dibunuh dalam perang Badar tanpa perlawanan. Tidak ada seorang pun yang dibunuh tanpa perlawanan selain mereka berdua. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid.

Menurut satu pendapat, orang yang meminta (‘adzab) dalam ayat ini adalah al-Ḥārits bin Nu‘man al-Fihrī. Pasalnya ketika dia mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. tentang ‘Alī: “Barang siapa yang aku adalah tuannya, maka ‘Alī pun merupakan tuannya,” dia menunggang untanya hingga dia tiba (di tempat Nabi) dan mendekamkannya di Abthah. Setelah itu dia berkata: ‘Wahai Muḥammad: “Engkau memerintahkan kami dari Allah agar kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, maka kami menerima perintah itu darimu. (Engkau memerintahkan kami dari Allah) agar kami shalat lima waktu, maka kami menerima perintah itu darimu. (Engkau memerintahkan kami dari Allah) agar kami menzakati harta-harta kami, maka kami menerima perintah itu darimu. (Engkau memerintahkan kami dari Allah) agar kami berpuasa pada bulan Ramadhān setiap tahun, maka kami menerima perintah itu darimu. (Engkau memerintahkan kami dari Allah) agar kami menunaikan ibadah haji, maka kami menerima peritah itu darimu. Namun engkau tidak puas dengan ini, sehingga engkau mengutamakan anak pamanmu atas diri kami. Apakah ini merupakan sesuatu yang bersumber dari kamu atau dari Allah?” Nabi s.a.w. menjawab: “Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang hak kecuali Dia, perintah itu hanyalah bersumber dari Allah.” Al-Ḥārits kemudian berpaling seraya berkata: “Ya Allah, jika apa yang dikatakan Muḥammad itu merupakan sebuah kebenaran, maka turunkanlah hujan batu kepada kami dari langit, atau datangkanlah ‘adzab yang pedih kepada kami.” Demi Allah, belum sempat dia sampai ke untanya, Allah sudah melemparinya dengan batu yang menimpa otaknya hingga keluar dari anusnya, sehingga membunuhnya. Setelah itu, turunlah ayat: (سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) “Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi.

Menurut pendapat yang lain, orang yang meminta ‘adzab di sini adalah Abū Jahl, dan dialah yang mengatakan perkataan itu. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh ar-Rabī‘.

Menurut pendapat yang lain lagi, ucapan itu adalah ucapan segolongan kafir Quraisy.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, orang yang meminta ‘adzab itu adalah Nabi Nūḥ yang meminta ‘adzab untuk orang-orang yang kafir.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, orang yang meminta ‘adzab itu adalah Nabi Rasūlullāh s.a.w. Maksud firman Allah itu adalah, Rasūlullāh memohon dan meminta agar Allah menimpakan hukuman kepada orang-orang yang kafir. Hukuman itu pasti akan menimpa mereka. Firman Allah itu memanjang sampai firman-Nya: (فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا) “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik” (Qs. al-Ma‘ārij [70]; 5). Maksudnya, janganlah engkau tergesa-gesa, karena hukuman itu sudah dekat.

Tapi apabila huruf bā’ itu mengandung makna (عَنْ), dan ini adalah pendapat Qatādah, maka seakan-akan orang yang meminta ‘adzab itu bertanya tentang siapakah orang yang akan ditimpa ‘adzab itu dan kapankah ‘adzab itu terjadi. Allah ta‘ālā kemudian berfirman: (فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا) “Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muḥammad) tentang Dia.” (Qs. al-Furqān [25]: 59). Maksudnya, bertanyalah tentang Dia. ‘Alqamah berkata:

بَصِيْرٌ بِأَدْوَاءِ النِّسَاءِ طَبِيْبٌ.

فَإِنْ تَسْأَلُوْنِيْ بِالنِّسَاءِ فَإِنَّنِيْ

Jika kalian bertanya kepadaku tentang kaum perempuan, maka sesungguhanya aku,

adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan untuk kaum perempuan lagi seorang tabib.”

Maksudnya, (عَنِ النِّسَاءِ) “tentang kaum perempuan”. Dikatakan: Kharajnā nas’alu ‘an fulānin wa bi fulānin (kami keluar untuk menanyakan tentang fulan dan fulan). Dengan demikian, makna firman Allah itu adalah: mereka bertanya tentang orang yang akan ditimpa ‘adzab dan kepada siapakah ‘adzab itu jatuh. Allah kemudian berfirman: (لِّلْكَافِريْنَ) “Untuk orang-orang kafir.”

Abū ‘Alī dan yang lainnya mengatakan: jika kata (سَأَلَ) itu berasal dari kata (السُّؤَالُ) “permintaan/pertanyaan”, maka asalnya ia muta‘adi (transitif) kepada dua maf‘ūl, namun boleh hanya mempunyai salah satunya saja. Jika ia hanya mempunyai salah satunya saja, maka ia boleh muta‘adi kepadanya melalui perantaraan jarr majrūr, sehingga perkiraan susunan kalimatnya adalah (سَأَلَ سَائِلٌ النَّبِيَّ (ص) أَوِ الْمُسْلِمِيْنَ بِعَذَابٍ أَوْ عَنْ عَذَابٍ) “Seseorang peminta meminta kepada Nabi s.a.w. atau kepada kaum muslimin (kedatangan) ‘adzab atau (bertanya) tentang ‘adzab.”

Barang siapa yang membaca firman Allah itu tanpa huruf hamzah, maka dia memiliki dua alasan:

Pertama, itu merupakan dialek untuk kata as-su’āl, dan ini (qirā’ah tanpa hamzah) merupakan dialek orang-orang Quraisy. Orang ‘Arab berkata: “sāla yasālu, seperti nāla yanālu dan khāfa yakhāfu.”

Kedua, kata sāla itu berasal dari kata as-sailān (السَّيْلَان). Hal ini diperkuat oleh qirā’ah Ibnu ‘Abbās: (سَيْلٌ سَالَ) (1392). ‘Abd-ur-Raḥmān bin Zaid berkata: “Sebuah lembah yang terdapat di dalam neraka Jahannam mengalir. Lembah ini bernama sā’il.” Pendapat inipun merupakan pendapat Zaid bin Tsābit.

Ats-Tsa‘labī berkata: “Alasan yang pertama adalah yang lebih baik, seperti perkataan al-A‘syā yang menipiskan huruh hamzah:

سَالْتَانِيْ الطَّلَاقَ إِذَا رَأَتَانِيْ قَلَّ مَالَيْ قَدْ جِئْتُمَانِيْ بِنُكْرٍ.

Kalian berdua meminta cerai kepadaku di saat kalian berdua melihatku (dalam kondisi)

Hartaku sedikit. Sesungguhnya kalian berdua telah datang kepadaku dengan membawa hal yang tertolak.” (1403).

Dalam kitab ash-Shiḥḥah (1414) dinyatakan: “Al-Akhfasy berkata: “Dikatakan: Kharajnā nas’alu ‘an fulānin wa bi fulānin (kami keluar untuk menanyakan tentang fulan dan fulan). Terkadang huruf hamzah (pada kata nas’alu itu) diringankan/dihilangkan, sehingga dikatakan: sāla yasālu.”

Al-Mahdawī berkata: “Barang siapa yang membaca dengan (سَالَ), maka dibolehkan menipiskan huruf hamzah itu dengan menukarkannya kepada huruf alif. Penukaran ini merupakan penukaran yang tidak sesuai dengan kaidah dalam ilmu sharaf. Dibolehkan juga huruf alif itu merupakan penukaran dari huruf wāu sesuai dengan dialek orang-orang yang mengatakan: siltu as’alu (aku telah bertanya, aku akan bertanya), seperti khiftu akhāfu (aku telah takut, aku akan takut). An-Naḥḥās (berkata): “Sibawaih meriwayatkan: siltu as’alu, seperti khiftu akhāfu, di mana maknanya adalah sa’altu (aku telah bertanya). Sibawaih bersambung:

سَالَتْ هُذَيْلٌ رَسُوْلَ اللهِ فَاحِشَةً ضَلَّتْ هُذَيْلٌ بِمَا سَالَتْ وَ لَمْ تُصِبْ.

Kabilah Hudzail meminta (diperbolehkan) berzina kepada Rasūlullāh.

Telah sesatlah kabilah Hudzail itu karena permintaan mereka, dan mereka itu tidak menepati kebenaran.” (1425).

Dikatakan: Humā Yatasawalāni (keduanya saling meminta/bertanya).”

Al-Mahdawī meneruskan: “Dibolehkan juga huruf alif itu merupakan penukaran dari huruf yā’ dan sāla yasīlu. (سَايِلٌ) adalah sebuah lembah yang terdapat di dalam neraka Jahannam. Dengan demikian, jika berdasarkan kepada pendapat yang pertama, maka hamzah lafazh (سَايِلٌ) merupakan hamzah yang asli, sedangkan menurut pendapat yang kedua merupakan penukaran dari huruf wāu, dan menurut pendapat yang ketiga merupakan penukaran dari huruf yā’.”

Al-Qusyairī berkata: “Lafazh (سَائِلٌ) itu menggunakan huruf hamzah. Sebab jika ia berasal dari kata (سَئَلَ) yang menggunakan huruf hamzah, maka ia pun menggunakan huruf hamzah. Tapi jika ia berasal dari kata yang tidak menggunakan huruf hamzah, maka ia pun tetap menggunakan huruf hamzah, seperti lafazh (قَائِلٌ) dan (خَائِفٌ). Sebab ‘ain (fi‘il) di-i‘lal dalam bentuk fi‘il-nya, sehingga ia pun di-i‘ilal dalam bentuk isim fā‘il-nya. Peng-i‘lal-an ini tidak dilakukan dengan membuang ‘ain fi‘il, khawatir akan menimbulkan kerancuan. Oleh karena itulah peng-i‘lal-an itu dilakukan dengan menukarkan huruf yang bukan hamzah itu kepada huruf hamzah. Namun engkau pun berhak untuk menipiskan huruf hamzah tersebut, agar huruf hamzah itu menjadi sangat jelas.”

Firman Allah ta‘ālā: (وَاقِعٍ) “Yang bakal terjadi”, yakni yang akan menimpa orang-orang kafir. Allah menerangkan bahwa ‘adzab itu berasal dari Allah yang memiliki tangga-tangga.

Al-Ḥasan berkata: “Allah ta‘ālā menurunkan: (سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) “Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi.” Allah kemudian berfirman: “Untuk siapa ‘adzab itu?” Allah berfirman: (لِّلْكَافِريْنَ) “Untuk orang-orang kafir.” Dengan demikian, huruf lām yang terdapat pada lafazh (لِّلْكَافِريْنَ) itu berhubungan dengan lafazh (وَاقِعٍ).

Al-Farrā’ berkata: “Perkiraan susunan kalimatnya adalah: (بِعَذَابٍ لِّلْكَافِريْنَ وَاقِعٍ) “‘Adzab bagi orang-orang kafir yang bakal terjadi,” dengan demikian, lafazh (وَاقِعٍ) merupakan sifat bagi lafazh (عَذَابٍ) dan huruf lām itu masuk kepada lafazh (عَذَابٍ) bukan kepada lafazh (وَاقِعٍ). Maksudnya, ‘adzab ini bagi orang-orang kafir di akhirat kelak, yang tidak ada seorang pun dapat menolaknya dari mereka.”

Menurut satu pendapat, huruf lām itu mengandung makna (عَنْ) “dari/tentang”, sehingga makna firman Allah itu adalah: yang tidak ada yang dapat menolak(nya) dari orang-orang kafir, yang berasal dari Allah. Maksudnya, ‘adzab itu berasal dari Allah yang memiliki tangga-tangga. Yakni, yang memiliki ketinggian, kedudukan yang utama, dan keni‘matan. Demikianlah yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbās dan Qatādah. Dengan demikian (الْمَعَارِجِ) adalah tingkatan-tingkatan pemberian keni‘matan-Nya kepada makhluk.

Catatan:

  1. 138). Qirā’ah dengan menggunakan huruf alif dan tanpa huruf hamzah ini merupakan qirā’ah yang mutawātir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 183.
  2. 139). Qirā’ah Ibnu ‘Abbās: (سَيْلٌ) bukanlah qirā’ah yang mutawātir. Qirā’ah ini dicantumkan oleh ash-Syaukānī dalam Fatḥ-ul-Qadīr (5/409).
  3. 140). Dalam al-Kitāb, bait ini dinisbatkan kepada Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Bait ini telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
  4. 141). Lih. ash-Shiḥḥāh (5/1723).
  5. 142). Bait ini milik Ḥasan bin Tsābit yang dikatakannya untuk mencemooh kabilah Ḥudzail, karena meminta diperbolehkan berzina kepada Nabi.

Unduh Rujukan:

  • [download id="21613"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *