Surah al-Ma’arij 70 – Tafsir al-Munir – Marah Labid (2/4)

TAFSĪR AL-MUNĪR
(MARĀḤ LABĪD)
(Judul Asli: At-Tafsīr-ul-Munīru Lima‘ālim-it-Tanzīl)
Penyusun: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (Banten).

(Jilid ke 6 dari Surah al-Aḥqāf s.d. an-Nās)

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
Dibantu oleh: H. Anwar Abu Baka, L.C.

Penerbit: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Munir - Marah Labid

فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.

70: 5. Maka bersabarlah kamu (Muḥammad) dengan kesabaran yang baik. (al-Ma‘ārij [70]: 5)

(فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.) “Maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik.” yakni tetaplah kamu bersabar tanpa mengeluh dalam menghadapi olok-olokan an-Nadhr dan orang-orang yang semisal dengannya terhadapmu, bersabarlah dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan wahyu, dan bersabarlah dalam menghadapi sikap orang-orang kafir Makkah yang meminta secara medesak kepadamu dengan nada memperolok-olok dan tidak percaya. Maka berdasarkan hal ini kalimat ini berta‘alluq kepada firman-Nya Sa’ala.

Orang yang membaca Sāla dengan memakai Alif murni bermakna: ‘Adzab itu pasti datang yang masanya sudah dekat, oleh karena itu bersabarlah kamu, sesungguhnya waktu pembalasan itu pasti akan tiba.

 

إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا.

70: 6. Sesungguhnya mereka memandang (‘adzab) itu jauh (mustahil). (al-Ma‘ārij [70]: 6)

وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.

70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi). (al-Ma‘ārij [70]: 7)

(إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.) “Sesungguhnya mereka memandang (‘adzab) itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” yakni sesungguhnya orang-orang kafir menganggap mustahil terjadinya hari yang lamanya sama dengan lima puluh ribu tahun itu, padahal Kami menganggapnya dekat dan sangat mudah mengadakannya bagi kekuasaan Kami.

Pendapat lain menyebutkan bahwa sesungguhnya orang-orang kafir Makkah menganggap ‘adzab itu tidak akan terjadi pada hari Kiamat, padahal Kami mengetahui bahwa hari itu harus terjadi. Kalimat ini merupakan ta‘līl dari perintah bersabar.

 

يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.

70: 8. (Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga. (al-Ma‘ārij [70]: 8)

(يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “(Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga” yakni langit menjadi seperti minyak yang mendidih, lafal ini adalah zharaf yang berta‘alluq kepada Laisa Lahu Dāfi‘, atau dengan lafal yang semakna dengannya seperti Yaqa‘u, yakni terjadinya ‘adzab itu pada hari ketika langit dan seterusnya.

Atau, berta‘alluq dengan qarīban apabila dhamīr yang terkandung di dalam Narāhu merujuk kepada ‘adzab.

 

وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.

70: 9. Gunung-gunung pun bagaikan bulu (yang beterbangan). (al-Ma‘ārij [70]: 9)

(وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.) “Gunung-gunung pun bagaikan bulu (yang beterbangan)” yakni gunung-gunung pada hari itu bagaikan bulu yang dicelup dengan berbagai macam warna. Sesungguhnya penyerupaan ini dilakukan tiada lain karena gunung-gunung itu ada yang berwarna hijau, merah, atau hitam, apabila dihancurkan dan diterbangkan ke udara, maka keadaannya mirip dengan bulu yang beterbangan karena ditiup angin yang kencang.

 

وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.

70: 10. Tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya. (al-Ma‘ārij [70]: 10)

(وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.) “Tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya” yakni seorang kerabat tidak menanyakan perihal kerabatnya tentang keadaannya, misalnya dia menanyakan kepadanya: “Bagaimanakah keadaanmu?”, dan tidak pula ia berbicara kepadanya karena masing-masing orang sangat sibuk dengan dirinya sendiri sehingga melupakan hal tersebut. Tidak ada seorang pun yang meminta kepada kerabatnya suatu syafaat dan kebaikan, karena dia mengetahui bahwa hal seperti itu pada hari tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Ibnu Katsīr dan Abū Ja‘far membaca Lā Yus’alu dengan Yā’ yang di-dhammah-kan, yakni seorang teman tidak ditanyai mengenai temannya untuk diketahui keadaannya melalui pihaknya. Oleh karena itu, tidak akan ada pertanyaan kepada seseorang: “Di manakah teman dekatmu?”

 

يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ.

70: 11. Sedangkan mereka saling melihat. Pada hari itu, orang yang berdosa ingin sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab dengan anak-anaknya. (al-Ma‘ārij [70]: 11)

(يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedangkan mereka saling melihat” yakni seseorang mengetahui teman dekatnya dan mengenalnya, sekalipun demikian dia tidak menanyainya tentang keadaannya, karena setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Menurut qirā’āt lain dibaca Yabshurūnahum, yakni mereka melihat teman-teman dekatnya, tetapi tidak mengetahui mereka, karena sibuk dengan urusan masing-masing.

(يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ.) “Pada hari itu, orang yang berdosa ingin sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab dengan anak-anaknya”.

 

وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ.

70: 12. istri dan saudaranya, (al-Ma‘ārij [70]: 12)

وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ.

70: 13. keluarga yang melindunginya (di dunia), (al-Ma‘ārij [70]: 13)

وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.

70: 14. dan seluruh orang di bumi, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. (al-Ma‘ārij [70]: 14)

(وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا) “istri dan saudaranya, keluarga yang melindunginya (di dunia), dan seluruh orang di bumi” yakni orang musyrik mengharapkan agar dirinya dapat ditebus dari ‘adzab hari Kiamat dengan anak-anaknya, istrinya, saudaranya, kaum kerabatnya yang terdekat yang senasab dengannya lagi melindunginya saat mendapat cobaan semasa di dunia dan semua orang yang ada di muka bumi.

Nāfi‘ dan al-Kisā’ī membaca Yauman ‘idzin dengan Mīm yang di-fatḥah-kan sebagai bentuk mabnī karena di-mudhāf-kan kepada lafal yang mabnī. Sedangkan ‘ulamā’ yang lain membacanya dengan kasrah karena memandang asalnya mu‘rab dalam bab isim. Qirā’āt yang lain membaca Min ‘Adzābin dengan di-tanwīn-kan dan Yauma idz di-nashab-kan oleh ‘adzābin karena ia mengandung makna ta‘dzīb.

(ثُمَّ يُنْجِيْهِ) “kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya” lafal ini di-‘athaf-kan kepada yaftadī, yakni orang kafir terhadap agar dirinya dapat ditebus dengan segala hal tersebut, kemudian tebusan itu dapat menyelamatkannya dari ‘adzab.

 

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.

70: 15. Sama sekali tidak!. Sungguh, neraka itu api yang bergejolak. (al-Ma‘ārij [70]: 15)

(كَلَّا) “Sama sekali tidak!” lafal Kallā di sini jika diartikan bermakna ḥaqqan atau benar, berarti melakukan waqaf pada Yunjīhi adalah waqaf tām. Jika dianggap bermakna , maka melakukan waqaf pada Kallā adalah tām, dan hal ini lebih utama, tetapi tidak boleh menggabungkan keduanya dalam hal waqaf, waqaf hanya dilakukan pada salah satunya saja.

Makna ayat: Tebusan itu sama sekali tidak berguna baginya dan tidak dapat menyelamatkannya dari ‘adzab Allah.

(إِنَّهَا لَظَى) “Sungguh, neraka itu api yang bergejolak

 

نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.

70: 16. Yang mengelupaskan kulit kepala. (al-Ma‘ārij [70]: 16)

(نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) “Yang mengelupaskan kulit kepalaḤafsh membacanya dengan nashab sebagai Ikhtishāsh, atau sebagai ḥāl yang mengukuhkan, dan ungkapan kināyah merujuk kepada neraka karena ditunjukkan oleh makna ‘adzab yang terkandung di dalamnya. ‘Ulamā’ yang lain membacanya dengan bacaan rafa‘, sehingga ungkapan kināyah dijadikan sebagai huruf ‘imād, dan lazhā adalah isim Inna sedangkan Nazza‘ātun adalah khabar Inna, seakan-akan dikatakan, sesungguhnya api neraka itu mengelupaskan. Atau, dijadikan dhamīr qishshah yaitu isim Inna dan lazhā sebagai mubtada dan khabar menjadi khabar Inna. Bentuk lengkapnya: Sesungguhnya kisah yang sebenarnya api neraka itu mengelupaskan kulit kepala. Yakni, merontokkan seluruh anggota luar tubuh kemudian kembali seperti sediakala lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada henti-hentinya untuk selamanya.

Api neraka tidak membiarkan daging ataupun kulit selain dibakarnya.

 

تَدْعُوْ مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.

70: 17. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama). (al-Ma‘ārij [70]: 17)

(تَدْعُوْ مَنْ أَدْبَرَ) “Yang memanggil orang yang membelakangi” tidak mau taat – (وَ تَوَلَّى) “dan yang berpaling” dari iman.

 

وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.

70: 18. dan orang yang mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. (al-Ma‘ārij [70]: 18)

(وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “dan orang yang mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya” yakni menghimpun harta lalu menyimpannya di tempatnya tanpa menunaikan hak-hak yang ada padanya.

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa sesungguhnya neraka memanggil mereka dengan lisān-ul-ḥāl, atau Allah menjadikannya dapat berbicara hingga neraka dapat berseru: “Ke marilah, hai orang kafir! Ke marilah, hai orang munafiq!” Kemudian, neraka melahap mereka dengan cepat dan membakarnya.

Lafal Adbara dan tawallā mengisyaratkan pengertian berpaling dari ma‘rifat Allah, yakni dari mengenal Allah dan berpaling dari taat kepada-Nya.

Lafal Jama‘a mengisyaratkan ketamakan menghimpun harta. Lafal Au‘ā mengisyaratkan panjangnya angan-angan, dan semuanya itu merupakan pokok dari bencana agama.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *