Surah al-Ma’arij 70 – Tafsir al-Munir – Marah Labid (1/4)

TAFSĪR AL-MUNĪR
(MARĀḤ LABĪD)
(Judul Asli: At-Tafsīr-ul-Munīru Lima‘ālim-it-Tanzīl)
Penyusun: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (Banten).

(Jilid ke 6 dari Surah al-Aḥqāf s.d. an-Nās)

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
Dibantu oleh: H. Anwar Abu Baka, L.C.

Penerbit: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Munir - Marah Labid

سُوْرَةُ الْمَعَارِجِ

SURAH AL-MA‘ĀRIJ

Surah al-Ma‘ārij ini disebut pula dengan nama Sa’ala Sā’ilūn, termasuk ke dalam kelompok surah Makkiyyah, terdiri atas empat puluh empat ayat, dua ratus enam belas kalimat, dan delapan ratus enam puluh satu huruf.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

70: 1. Seseorang bertanya tentang ‘adzab yang pasti terjadi. (al-Ma‘ārij [70]: 1)

لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.

70: 2. Bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya. (al-Ma‘ārij [70]: 2)

(سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.) “Seseorang bertanya tentang ‘adzab yang pasti terjadi, bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya.” Yang seseorang ada yang meminta ‘adzab ditimpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini dan di akhirat, yang tiada seorang pun dapat menghindarkan ‘adzab itu terhadap mereka dari pihak Allah. Karena sesungguhnya apabila kejadiannya bertentangan dengan hikmah Allah, pastilah Allah tidak akan menurunkannya.

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa orang tersebut adalah an-Nadhr ibn-ul-Ḥārits karena dia mengatakan dengan nada memperolok-olok dan tidak percaya sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya:

اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ

Ya Allah, jika al-Qur’ān ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (al-Anfāl [8]: 32).

Maka terbunuhlah ia dalam peperangan Badr dalam keadaan tidak berdaya, dia dan temannya yang sama-sama kafir, yaitu ‘Uqbah ibnu Abī Mu‘īts.

Ar-Rabī‘ mengatakan bahwa orang tersebut adalah Abū Jahal, dia mengatakan: “Jatuhkanlah kepada kami kepingan dari langit.”

Pendapat yang lain menyebutkan bahwa dia adalah al-Ḥārits ibn-un-Nu‘mān al-Fihrī; ketika sampai kepadanya perkataan Rasūlullāh s.a.w. berkenaan dengan sahabat ‘Alī r.a. yang menyebutkan:

مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ.

Barang siapa yang aku menjadi teman setianya, maka ‘Alī adalah teman setiaku.

Lalu, Abū Jahal mengatakan: “Ya Allah, jika apa yang dikatakan oleh Muḥammad itu benar (yakni al-Qur’ān itu benar), maka hujanilah kami dengan batu dari langit.” Tidak lama kemudian Allah melemparnya dengan batu yang mengenai ubun-ubunnya, menembus otaknya, dan keluara dari duburnya, sehingga tamatlah riwayatnya saat itu juga, kemudian turunlah ayat ini.

Al-Ḥasan dan Qatādah mengatakan bahwa setelah Allah mengutus Nabi Muḥammad dan beliau menakut-nakuti kaum musyrik dengan ‘adzab, orang-orang musyrik berkata kepada sebagian mereka: “Tanyakanlah kepada Muḥammad, siapa yang akan ditimpa oleh ‘adzab itu?” Maka Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal ucapan mereka melalui firman-Nya:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

Seseorang bertanya tentang ‘adzab yang pasti terjadi.” (al-Ma‘ārij [70]: 1)

yakni menanyakan ‘adzab itu. Berdasarkan ta’wīl ini berarti firman di atas adalah menyitir kata-kata mereka yang sering mereka lakukan. Semakna dengan pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ.

Mereka menanyakan kepadamu (Muḥammad) tentang kiamat.” (al-A‘rāf [7]: 187).

Demikian pula firman-Nya:

وَ يَقُوْلُوْنَ مَتَى هذَا الْوَعْدُ.

Mereka pun bertanya: “Kapankah (datangnya) janji ini?” (Saba’: 29).

Abū Su‘ūd mengatakan bahwa pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.

Nāfi‘ dan Ibnu ‘Āmir membacanya Sāla dengan memakai Alif. Ibnu ‘Abbās membacanya: Sāla Sā’ilum Bi ‘adzābiw Wāqi‘, Lil-Kāfirīna, yang berarti: Mereka akan diterjang oleh ‘adzab dari lembah neraka Jahannam yang pasti menimpa mereka. Demikianlah menurut pendapat Zaid ibnu Tsābit dan ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Zaid. Ubay membacanya ‘Alal-Kāfirīn.

 

مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ.

70: 3. (‘Adzab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik. (al-Ma‘ārij [70]: 3)

(مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ.) “(‘Adzab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik” yakni dari Allah yang mempunyai langit, Dialah yang menciptakannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās. Langit disebut Ma‘ārij karena para malaikat naik dengan melaluinya.

Qatādah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Allah Yang memiliki karunia dan ni‘mat yang Dia limpahkan kepada manusia dalam tingkatan yang berbeda-beda. Menurut pendapat yang lain disebutkan Yang mempunyai derajat-derajat yang Dia berikan kepada kekasih-kekasihNya di dalam surga.

 

تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

70: 4. Para malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. (al-Ma‘ārij [70]: 4)

(تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ) “Para malaikat dan Jibrīl naik” yang dimaksud dengan Rūḥ adalah malaikat Jibrīl – (إِلَيْهِ) “kepada-Nya” yakni sampai ke hadirat-Nya Yang Maha Mulia, yaitu kawasan yang tiada berlaku bagi seorang pun keputusan di dalamnya selain Allah s.w.t. Menurut pendapat yang lain disebutkan sampai ke ‘Arasy-Nya. Al-Kisā’ī membacanya dengan memakai Yā’ menjadi Ya‘ruju.

(فِيْ يَوْمٍ) “dalam sehari” dari hari-hari di dunia – (كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.) “setara dengan lima puluh ribu tahun” dari tahun-tahun di dunia, yakni mereka menempuh jarak dalam sehari sejauh apa yang dapat ditempuh oleh manusia dalam masa lima puluh ribu tahun, sebagai perumpamaan.

Wahb mengatakan bahwa jarak antara alam bawah sampai ke halaman ‘Arasy yang paling tinggi sama dengan jarak perjalanan lima puluh ribu tahun. Dari puncak langit yang terdekat sampai ke bumi sama dengan jarak seribu tahun, karena jarak setiap lapis langit adalah lima ratus tahun. Demikian pula jarak antara bagian bawah langit sampai ke bagian bawah bumi adalah lima ratus tahun.

Muḥammad ibnu Isḥāq mengatakan bahwa seandainya Bani Ādam berangkat dari dunia ke tempat ‘Arasy berada, tentulah mereka memerlukan waktu lima puluh ribu tahun.

Firman Allah s.w.t. Fī Yaumin berta‘alluq kepada Ta‘ruju, sebagaimana yang dikatakan oleh para ‘ulamā’.

Muqātil mengatakan bahwa fi yaumin berta‘alluq kepada wāqi‘. Menurut pendapat yang lain disebutkan berta‘alluq kepada Sāla tanpa Hamzah, yang berasal dari sailan yang berarti mengalir. Berdasarkan pengertian ini yang dimaksud dengan hari tersebut adalah Hari Kiamat, dan pemberhentian mereka untuk hisab sampai seluruh perkara di antara manusia diputuskan adalah lima puluh ribu tahun dari usia dunia. Ahli neraka menetapi tempat mereka di dasar neraka.

Sebagian ‘ulamā’ lain mengatakan bahwa masa ini terjadi di akhirat yang digambarkan berdasarkan tamtsīl, artinya: Seandainya orang yang paling pandai dan paling cerdas menangani keputusan dan hisab tersebut, tentulah dia tinggal selama lima puluh ribu tahun. Namun, sesungguhnya Allah s.w.t. menyempurnakan peradilan dan hisab itu hanya dalam waktu setengah hari dari hari dunia.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *