(سَأَلَ سَائِلٌ) seseorang mengundang, artinya dia memintanya. Oleh karena itu, di-muta‘addi-kan dengan bā’ (pada – سَأَلَ سَائِلٌ), artinya (as-su’āl) kadang-kadang mempunyai makna meminta sesuatu. Pada saat itu, ia di-muta‘addi-kan dengan bā’. Contohnya (سَأَلْتُ بِكَذَا) artinya aku memintanya. Aslinya su’āl mempunyai makna meminta kabar akan sesuatu. Pada saat itu, di-muta‘addi-kan dengan (عَنْ) atau (الْبَاءُ). Contohnya (سَأَلْتُ عَنْهُ، وَ سَأَلْتُ بِهِ وَ بِحَالِهِ). Orang yang meminta karena mengejek dan menentang adalah an-Nadhr bin al-Ḥārits, dia mengatakan:
“…..Jika (al-Qur’ān) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (al-Anfāl [8]: 32).
Atau Abū Jahal sebab dia berkata:
“Maka jatuhkanlah kepada kami gumpalan dari langit, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (asy-Syu‘arā’ [26]: 187).
Atau Rasūlullāh s.a.w. meminta turunnya ‘adzab kepada mereka segera.
(لِّلْكَافِريْنَ) adalah sifat lain dari ‘adzab atau shilah yang berhubungan dengan kata (وَاقِعٍ).
Kalimat (لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ) penghalang, penjaga. Maksudnya siksa itu pasti terjadi.
Kalimat (مِّنَ اللهِ) sambung dengan (وَاقِعٍ).
Kalimat (ذِي الْمَعَارِجِ) yang mempunyai tempat-tempat naik, yakni tingkatan-tingkatan di mana ucapan yang baik dan amal shalih naik, atau tingkatan malaikat atau langit. Makna zhahirnya adalah yang mempunyai beberapa langit. Ada yang mengatakan yang mempunyai ni‘mat-ni‘mat, keutamaan-keutamaan yang terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda.
Kata (تَعْرُجُ) naik.
Kata (الرُّوْحُ) adalah Jibrīl.
Kata (إِلَيْهِ) ke tempat turun perintah-Nya di langit.
Kata (فِيْ يَوْمٍ) terkait dengan kata (تَعْرُجُ).
Kalimat (كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.) untuk menjelaskan naiknya tingkatan-tingkatan itu dan jauh jangkauannya, dengan bentuk tamtsīl (penyerupaan) dan takhyīl (imajinasi). Maknanya adalah bahwasanya kalau saja diukur dengan waktu, waktu yang diperkirakan adalah lima puluh ribu tahun dari tahun-tahun dunia. Ini di akhirat, kaitannya dengan orang kafir, tatkala dia melihat bencana-bencana di akhirat. Adapun orang Mu’min lebih ringan daripada shalat wajib, sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi yang akan dijelaskan.
(فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.) tidak perlu tergesa-gesa tidak perlu resah, goncang. Firman ini terkait dengan kata (سَأَلَ) sebab su’āl (permintaan) di sini adalah ejekan atau penentangan. Itu termasuk hal yang membuatnya bosan. Maknanya adalah terjadinya siksa sudah dekat. Oleh karena itu, bersabarlah, waktu pembalasan sudah dekat.
(إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ) mereka melihat siksa atau hari Kiamat.
Kata (بَعِيْدًا) jauh dari mungkin, tidak terjadi.
(وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا) hampir terjadi.
(يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ.) adalah zharaf untuk kata (قَرِيْبًا) atau terkait dengan kata yang dibuang, taqdīr-nya (يَقَعُ).
Kata (كَالْمُهْلِ) minyak cair atau endapan minyak (minyak yang ada di endapan wadah) atau cairan barang tambang yang dicairkan, seperti cairan perak.
(كَالْعِهْنِ) seperti bulu yang dihambur-hamburkan atau yang dibusar, atau bulu yang diwarnai dengan warna-warni.
(وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.) kerabat tidak bertanya pada kerabatnya karena masing-masing sibuk dengan keadaannya sendiri. (الحميم) adalah kerabat.
(يُبَصَّرُوْنَهُمْ) orang-orang Mu’min melihat orang-orang kafir di neraka.
(يَوَدُّ الْمُجْرِمُ) orang kafir atau pendosa mengangan-angan.
(لَوْ يَفْتَدِيْ) menebus.
(وَ صَاحِبَتِهِ) istrinya.
(وَ فَصِيْلَتِهِ) keluarganya karena dia berasal darinya.
(تُؤْوِيْهِ) yang merengkuhnya atau dia berlindung kepada keluarga itu. Ini bukti sibuknya pendosa dengan dirinya sendiri. Di mana dia berangan-angan bisa menebus siksa itu dengan orang yang paling dekat dengannya dan yang paling diketahui oleh hatinya. Apalagi memperhatikan keadaannya dan menanyakan keadaannya.
(وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا) yaitu jinn dan manusia atau para makhluk.
(ثُمَّ يُنْجِيْهِ) ‘athaf pada kata (يَفْتَدِيْ), kemudian penebusan itu bisa menyelamatkannya, Kata (ثُمَّ) untuk menunjukkan jauh.
(كَلَّا) hardikan pada pendosa dan sanggahan terhadap apa yang dia inginkan. Kata tersebut adalah kata yang menunjukkan ancaman keras atas apa yang dia minta.
(إِنَّهَا لَظَى) api itu adalah api yang dikobarkan atau nerakan Jahannam. Sebab ia berkobar artinya berkobar-kobar membakar orang-orang kafir.
(لِّلشَّوَى) anggota tubuh manusia atau kulit kepala, terlepas kemudian kembali seperti sedia kala.
(تَدْعُوْا) menarik dan menghadirkan.
(مَنْ أَدْبَرَ) orang yang berpaling dari keimanan dan kebenaran.
(وَ تَوَلَّى) orang yang berpaling dari ketaatan.
(وَ جَمَعَ) mengumpulkan harta.
(فَأَوْعَى) dia menjadikannya di wadah, menyimpannya karena rakus, berharap-harap, tidak mau memberikan hak Allah pada harta itu.
أَخْرَجَ النَّسَائِيُّ وَ ابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (سَأَلَ سَائِلٌ) قَالَ: هُوَ النَّضِرُ بْنُ الْحَارِثِ، قَالَ: (اللهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ). وَ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِيْ حَاتِمْ عَنِ السُّدِّيْ فِيْ قَوْلِهِ: (سَأَلَ سَائِلٌ) قَالَ: نَزَلَتْ بِمَكَّةَ فِي النَّضِرِ بْنِ الْحَارِثِ، وَ قَدْ قَالَ: (اللهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ) الآية. وَ كَانَ عَذَابُهُ يَوْمَ بَدْرٍ. وَ أَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: نَزَلَتْ (سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) فَقَالَ النَّاسُ: عَلَى مَنْ يَقَعُ الْعَذَابُ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ: (لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.).
An-Nasā’ī dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman Allah s.w.t.: “Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa,” dia berkata: “Itu adalah an-Nadhr bin al-Ḥārits.” (di mana dia (an-Nadhr) berkata: “Ya Allah, jika (al-Qur’ān) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (al-Anfāl [8]: 32). Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari as-Suddī mengenai firman Allah: “Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa,” dia berkata: “Ayat itu turun di Makkah mengenai an-Nadhr bin al-Ḥārits, dia telah berkata: “Ya Allah, jika (al-Qur’ān) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (al-Anfāl [8]: 32). Siksa untuknya adalah pada hari Perang Badar. Ibn-ul-Mundzir meriwayatkan dari al-Ḥasan, dia berkata: “Ayat (سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) “Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa”, turun lalu orang-orang berkata: “Kepada siapa siksa itu turun?, lalu Allah menurunkan ayat (لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.) “bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya.”
“Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa, bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya.” (al-Ma‘ārij [70]: 1-2).
Seseorang menyeru dan meminta siksa yang turun tanpa keraguan, yang terjadi di akhirat, pada orang-orang kafir, turun pada mereka, tidak ada yang bisa menghalangi siksa yang jatuh ketika Allah menghendak. Permintaan ini adalah untuk mengejek dan menentang. Orang yang meminta adalah an-Nadhir bin al-Ḥārits bin Kaldah atau lainnya ketika mereka berkata:
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika (al-Qur’ān) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (al-Anfāl [8]: 32).
“(‘Adzab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik.” (al-Ma‘ārij [70]: 3).
Terjadi dari sisi Allah s.w.t., yang mempunyai tempat-tempat naik untuk para malaikat. Ibnu ‘Abbās mengatakan (ذِي الْمَعَارِجِ) yang mempunyai langit-langit. Allah menamakan langit dengan (مَعَارِج) “tempat-tempat naik” sebab para malaikat naik di tempat-tempat itu. Qatādah mengatakan bahwa yang mempunyai keutamaan-keutamaan dan kenikmatan-kenikmatan. Hal itu karena tangan-tangan Allah, wajah-wajahNya dan keni‘matan-Nya ada tingkatan-tingkatan. Itu semua sampai kepada manusia berdasarkan tingkatan-tingkatan yang berlainan.
Yang dimaksud adalah siksa yang diminta oleh orang-orang kafir dengan segera akan terjadi dengan pasti, tanpa keraguan.
“Para malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).
Para malaikat dan Jibrīl naik kepada Allah pada suatu hari yang diperkirakan lima puluh ribu tahun dari tahun-tahun dunia kalau saja manusia ingin naik ke sana. Namun, malaikat ruhani naik ke tempat itu dalam waktu sebentar. Yang dimaksud dengan lima puluh bukanlah angka tersebut secara pasti, tetapi yang dimaksud adalah banyak secara mutlak. Naiknya malaikat adalah ke tempat yang sangat jauh. Firman Allah (إِلَيْهِ) menuju ‘Arasy-Nya atau hukum-Nya, atau pada tempat di mana perintah-Nya turun, atau pada tempat-tempat keagungan dan kemuliaan. Firman Allah (فِيْ يَوْمٍ) menurut pendapat mayoritas ‘ulamā’ ta‘lluq (berkaitan) dengan firman-Nya (تَعْرُجُ) naiknya malaikat itu terjadi pada hari seperti itu, dengan tujuan menyifati hari yang lama secara mutlak.
Yang dimaksud dengan hari menurut pendapat lain – yakni, pendapat Ibnu ‘Abbās dan Ḥasan Bashrī – adalah hari Kiamat demi membuat kegentingan dan ketakutan pada orang-orang kafir. Yang dimaksud adalah posisi mereka dalam waktu hari penghisaban, sampai dipisahkan antara mereka dengan manusia lain sebanyak lima puluh ribu tahun dunia. Kemudian, penduduk neraka menetap di tingkatan-tingkatan bawah neraka. Alasan pengaitan antara permintaan siksa dengan naiknya malaikat adalah perbandingan antara hari menurut mereka dan hari menurut Allah. Mereka melihat dunia sangat lama, sedangkan menurut Allah, dunia itu pendek jika dibandingkan dengan hari menurut Allah.
Penggabungan antara ayat ini dan ayat Sajdah:
“Dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (as-Sajdah [32]: 5).
Adalah bahwa hari Kiamat ada beberapa tempat pemberhentian dan tempat. Pada hari Kiamat, ada lima puluh tempat. Setiap tempat adalah seribu tahun.
Ini hanya terjadi pada orang-orang kafir. Adapun mengenai orang Mu’min, tidak demikian karena firman Allah s.w.t.
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (al-Furqān [25]: 24).
Mereka bersepakat bahwa tempat istirahat dan tempat tinggal itu adalah surga. Juga karena hadits yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, Ibnu Jarīr dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, dia berkata:
قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَطْوَلَ هذَا الْيَوْمَ. فَقَالَ (ص) وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَنِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَكُوْنَ أَخَفَّ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةٍ مَكْتُوْبَةٍ يُصَلِّيْهَا فِي الدُّنْيَا.
“Ada yang bertanya: “Wahai Rasūlullāh, alangkah lamanya hari itu.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Demi Dzāt yang jiwaku ada di tangan-Nya. Sungguh itu ringan bagi orang Mu’min, sampai-sampai ia lebih ringan daripada shalat fardhu yang dilaksanakan di dunia.”
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (al-Ma‘ārij [70]: 5).
Jangan peduli wahai Muḥammad dengan permintaan mereka akan siksa karena pengejekan, pembangkangan, dan pendustaan terhadap wahyu dan janganlah engkau bosan. Berlemah-lembutlah menghadapi pendustaan mereka kepadamu, kekafiran mereka pada apa yang kamu bawa, permintaan akan ‘adzab dengan segera – karena menganggap aneh terjadinya -, bersabarlah dengan baik, tanpa ada kegelisahan dan pengaduan pada selain Allah. Ini adalah makna kesabaran yang baik.
“Mereka memandang (‘adzab) itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (al-Ma‘ārij [70]: 6-7).
Mereka melihat terjadinya siksa sesuatu yang jauh. Terjadinya Kiamat dalam aqidah orang-orang kafir adalah mustahil terjadi. Mereka juga melihat hari Kiamat yang kadarnya lima puluh ribu tahun sebagai sesuatu yang jauh dan mustahil. Sementara Kami mengetahuinya sebagai sesuatu yang dekat, mungkin terjadi, dan tidak ada alasan tidak terjadi. Setiap yang akan datang adalah dekat.
Kemudian, Allah menyebutkan beberapa sifat dan fenomena hari tersebut, Dia berfirman:
“(Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga, dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan), dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya” (al-Ma‘ārij [70]: 8-10).
Sesungguhnya hari Kiamat adalah hari di mana langit seperti kerak minyak atau cairan tembaga, timah, atau perak. Artinya, langit menjadi lemah, tidak terjalin bagian-bagiannya dan tercerai-berai, gunung-gunung seperti bulu yang dihembuskan ketika diterbangkan oleh angin. Kerabat tidak bertanya pada kerabatnya mengenai urusannya atau keadaannya pada hari itu. Dia melihat dirinya dalam keadaan yang paling buruk sehingga dia sibuk dengan dirinya sendiri, tidak memperhatikan orang lain, karena melihat gentingnya hari Kiamat yang dia saksikan.
“Sedang mereka saling melihat pada hari itu, orang kafir yang berdosa ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan keluarga yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di bumi seluruhnya, kemudian mengharapkan (tebusan) itu dapat menyelamatkannya.” (al-Ma‘ārij [70]: 11-14).
Masing-masing kerabat dekat melihat kerabatnya dan mengenalnya. Tak seorang pun yang tidak mengetahui, tetapi tak seorang pun yang bercakap-cakap dengan yang lain. Orang kafir, pendosa yang berhak masuk neraka berangan-angan agar bisa menebus dirinya dari siksa hari Kiamat yang turun kepadanya dengan harta paling besar yang dia temukan, orang yang paling berharga baginya, yakni anak-anak, saudara-saudara, istrinya, qabilah, dan keluarga dekatnya yang mana dia bergabung dengan mereka dalam nashab, atau mereka merengkuhnya ketika terjadi bencana, dia berlindung kepada mereka, mereka menolongnya. Bahkan pendosa berangan-angan kalau sekiranya dia bisa menebus siksa itu dengan semua yang ada di bumi, dari jinn, manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Tebusannya tidak diterima. Tebusannya itu tidak bisa menyelamatkannya dari siksa neraka Jahannam meskipun dia membawa penduduk bumi.
Mirip dengan ayat ini adalah firman Allah s.w.t.:
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar.” (Luqmān [31]: 33).
Juga firman-Nya:
“Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.” (Fāthir [35]: 18).
Juga firman-Nya:
“Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya.” (al-Mu’minūn [23]: 101).
Juga firman-Nya:
“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (‘Abasa [80]: 34-37).
Kesimpulannya, bahwasanya Allah s.w.t. menyebutkan empat sifat pada hari Kiamat: langit pada hari itu seperti luluhan perak, gunung-gunung seperti bulu (yang beterbangan), teman akrab tidak bertanya pada teman akrab yang lain, dan orang yang berdosa lagi kafir ingin menebus siksa pada hari itu dengan orang yang paling berharga baginya bahkan semua orang yang ada di bumi.