بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
MAKKIYYAH, EMPAT PULUH EMPAT AYAT
Surah ini dinamakan al-Ma‘ārij (tempat-tempat naik) karena dimulai dengan firman Allah s.w.t. (تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ) “Para malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan”. Artinya, para malaikat dan Jibrīl al-Amīn yang diberi tugas khusus oleh Allah untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasūl naik (penghadap) kepada-Nya. Jibrīl disebut secara khusus karena kemuliaan dan keutamaan kedudukannya. Dialah yang dinamakan dengan ar-Rūḥ dalam firman-Nya:
“Yang dibawa turun oleh ar-Rūḥ-ul-Amīn (Jibrīl).” (asy-Syu‘arā’: 193).
Surah ini turun setelah surah al-Ḥāqqah. Surah al-Ma‘ārij adalah sebagai penyempurna surah al-Ḥāqqah dalam menjelaskan sifat-sifat hari Kiamat dan neraka, keadaan-keadaan orang-orang Mu’min dan para pendosa di akhirat.
Surah ini – sebagaimana surah-surah al-Makkiyyah yang lain – menceritakan tentang dasar-dasar aqidah yang benar. Puncaknya adalah penetapan kebangkitan dan penggiringan manusia, balasan dan hisab (perhitungan amal), sifat-sifat siksa dan neraka.
Surah ini mulai menjelaskan sikap penduduk Makkah terhadap da‘wah rasūl, ejekan mereka terhadapnya, pertanyaan orang-orang kafir mengenai siksa Allah, permintaan penyegeraan siksa dari mereka karena mengejek, menghina, dan menentang yang direpresentasikan oleh an-Nadhr bin al-Ḥārits bin Kaldah ketika menuntut terjadinya siksa dan siksa pun jatuh kepada mereka.
“Seseorang bertanya tentang ‘adzab yang pasti terjadi, bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (‘adzab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik. Para malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Mereka memandang (‘adzab) itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (al-Ma‘ārij [70]: 1-7).
Kemudian, Allah menyifati hari Kiamat dan kegentingannya, neraka dan siksanya, serta keadaan para pendosa pada hari yang menakutkan itu.
“(Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga, dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan), dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya, sedang mereka saling melihat pada hari itu, orang kafir yang berdosa ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan keluarga yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di bumi seluruhnya, kemudian mengharapkan (tebusan) itu dapat menyelamatkannya. Sama sekali tidak! Sungguh, neraka itu api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama), dan mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya” (al-Ma‘ārij [70]: 8-18).
Hal itu selaras dengan pembicaraan diskursif mengenai karakter manusia dan sifat-sifatnya yang menyebabkan dia masuk neraka, kegundahannya ketika dalam kesusahan, kegembiraan yang meluap ketika mendapatkan ni‘mat, kebakhilan dan kekikiran ketika membutuhkan, krisis dan upaya menangani kefakiran.
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir” (al-Ma‘ārij [70]: 19-21).
Ayat di atas adalah pengecualian bagi orang-orang Mu’min yang shalat dengan berhias akhlak-akhlak mulia. Mereka memberikan hak-hak Allah juga hak-hak sebagai hamba sehingga mereka berhak mendapatkan keabadian di surga.
“kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta, dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya, sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka, tidak ada seseorang yang merasa aman (dari kedatangannya), dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Maka barang siapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya, dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu dimuliakan di dalam surga.” (al-Ma‘ārij [70]: 22-35).
Kemudian, surah ini mengkritik orang-orang kafir dan mengintimidasi mereka dengan ancaman kebinasaan dan penggantian dengan kaum baru, mengancam mereka dengan siksaan yang akan mereka jumpai pada hari Kiamat, menyifati keadaan mereka yang buruk di akhirat pada hari kebangkitan dan penggiringan.
“Maka mengapa orang-orang kafir itu datang bergegas ke hadapanmu (Muhammad), dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok? Apakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk surga yang penuh kenikmatan? Tidak mungkin! Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui. Maka Aku bersumpah demi Tuhan yang mengatur tempat-tempat terbit dan terbenamnya (matahari, bulan dan bintang), sungguh Kami pasti mampu, untuk mengganti (mereka) dengan kaum yang lebih baik dari mereka, dan Kami tidak dapat dikalahkan. Maka biarkanlah mereka tenggelam dan bermain-main (dalam kesesatan) sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka, (yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia), pandangan mereka tertunduk ke bawah diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.” (al-Ma‘ārij [70]: 36-44).
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ. كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.
“Seseorang bertanya tentang ‘adzab yang pasti terjadi, bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (‘adzab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik. Para malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Mereka memandang (‘adzab) itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi). (Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga, dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan), dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya, sedang mereka saling melihat pada hari itu, orang kafir yang berdosa ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan keluarga yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di bumi seluruhnya, kemudian mengharapkan (tebusan) itu dapat menyelamatkannya. Sama sekali tidak! Sungguh, neraka itu api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama), dan mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya” (al-Ma‘ārij [70]: 1-18).
(سَأَلَ):
Nāfi‘ dan Ibnu ‘Āmir membaca (سَالَ).
(تَعْرُجُ)
Al-Kisā’ī membaca (يَعْرُجُ).
(يَوْمِئِذٍ)
Nāfi‘ dan Al-Kisā’ī membaca (يَوْمَئِذٍ).
(نَزَّاعَةً)
Ḥafsh membaca (نَزَّاعَةً), sedang qurrā’ lain membaca (نَزَّاعَةٌ).
(سَأَلَ سَائِلٌ) dibaca dengan hamzah sesuai aslinya, dibaca juga dengan tanpa hamzah atau mengganti hamzah dengan alif, dalam keadaan tidak sesuai dengan qiyās (kaidah asli).
(كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.). Kata (خَمْسِيْنَ) adalah khabar kana. Kata (أَلْفَ) dibaca nashab sebagai tamyīz. Susunan (كَانَ) dengan isim dan khabar-nya dalam posisi jarr sebagai sifat (يَوْمٍ).
(وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ) kata (يَسْأَلُ) dan (حَمِيْمٌ) adalah fi‘il dan fā‘il. Sedang kata (حَمِيْمًا) menjadi maf‘ūl bih. Kata (يَسْأَلُ) dibaca dengan (يُسْأَلُ) dengan dhammah dalam bentuk mabnī majhūl. Taqdīr-nya (وَ لَا يُسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمِهِ) “kerabat tidak ditanya tentang kerabatnya”. (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) artinya kerabat melihat kerabatnya. Yang dimaksud dengan kerabat adalah sekelompok kerabat. Dhamīr yang dibaca rafa‘ pada kalimat (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) kembali kepada orang-orang Mu’min. Sedang hā’ dan mīm (هُمْ), kembali kepada orang-orang kafir. Artinya orang-orang Mu’min diperlihatkan orang-orang kafir pada hari Kiamat, yakni orang-orang Mu’min melihat orang-orang kafir di neraka.
(إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) kata (لَظَى) dibaca rafa‘ sebagai khabar (إن). Kata (نَزَّاعَةً) menjadi khabar kedua. Atau (لَظَى) menjadi khabar (إن), sedang (نَزَّاعَةً) menjadi badal dari (لَظَى). Atau hā’ pada (إِنَّهَا) menjadi dhamīr qishshah sedang (لَظَى) menjadi mubtada’ dan (نَزَّاعَةً) menjadi khabar-nya. Susunan kalimat sesudahnya menjadi khabar (إن). Kata (لَظَى) boleh dibaca nashab sebagai badal dari hā’ pada kata (إِنَّهَا) sedang (نَزَّاعَةً) dibaca rafa‘ sebagai khabar (إن). Pe-nashab-an (نَزَّاعَةً) sebagai ḥāl mu’akkidah sedangkan ‘āmil-nya adalah makna yang tersirat dari susunan kalimat. Sebagaimana (وَ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا) “padahal (al-Qur’ān) itu adalah yang hak yang membenarkan apa yang ada pada mereka.” (al-Baqarah [2]: 91), kalimat (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ) menjadi khabar ketiga atau jumlah musta’nafah (susunan yang ada di awal kalimat).
Kata (بَعِيْدًا) dan (قَرِيْبًا) keduanya adalah ath-Thibāq.
Kalimat (سَأَلَ سَائِلٌ) adalah jinas isytiqāq. Demikian juga (الْمَعَارِجِ) dan (تَعْرُجُ).
(تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ) kata (الرُّوْحُ) artinya Jibrīl. Sebagai ‘athaf khash ‘alā ‘ām (meng-‘athaf-kan yang khusus pada yang umum) sebagai bentuk perhatian atas kemuliaan dan keutamaan Jibrīl.
Kalimat (يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.) adalah tasybīh mursal mujmal (penyerupaan langit dengan luluhan perak tanpa ada penjelasan dari sisi apanya) karena ada pembuangan wajhu syabah.
(لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ) (وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.).
Di sini, ada penyebutan yang umum (orang-orang di atas bumi seluruhnya) setelah yang khusus (anak-anak, istri, saudara, famili) untuk menjelaskan gentingnya kejadian.
Kalimat (إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) dan seterusnya adalah saja‘ murashsha‘ (kata-kata yang bersanjak sama) yang diletakkan demi menjaga keserasian akhir ayat.