V
فَمَالِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا قِبَلَكَ مُهْطِعِيْنَ. عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ. أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيْمٍ. كَلَّا إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِّمَّا يَعْلَمُوْنَ. فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُوْنَ. عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ مَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَ. فَذَرْهُمْ يَخُوْضُوْا وَ يَلْعَبُوْا حَتَّى يُلَاقُوْا يَوْمَهُمُ الَّذِيْ يُوْعَدُوْنَ. يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوْفِضُوْنَ. خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ذلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ.
70: 36. Apalah gerangan sebabnya orang kafir itu kepihak engkau bergegas-gegas.
70: 37. Dari kanan dan dari kiri mereka berkelompok-kelompok.
70: 38. Adakah sangat ingin tiap-tiap seseorang di antara mereka bahwa hendak masuk ke dalam surga yang penuh nikmat.
70: 39. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya telah Kami ciptakan mereka daripada apa yang mereka maklum sendiri.
70: 40. Maka bersumpahlah Aku, Demi Tuhan sekalian Timur dan sekalian Barat, sesungguhnya Kami adalah Maha Kuasa.
70: 41. Atas mengganti mereka dengan kaum yang lebih baik dari mereka, dan tidaklah Kami dapat didahului.
70: 42. Maka biarkanlah mereka tenggelam dan bermain-main, sehingga mereka akan bertemu dengan hari yang telah dijanjikan itu.
70: 43. Pada hari mereka akan keluar dari dalam kubur dengan cepat-cepat seakan-akan mereka kepada berhala-berhala berduyun-duyun.
70: 44. Dalam keadaan menunduk pemandangan mereka, diliputi kehinaan; Itulah dia hari yang pernah mereka diancam dengan dia.
***
“Apalah gerangan sebabnya orang kafir itu kepihak engkau bergegas-gegas.” (Ayat 36).
Menurut Zamakhsyarī dalam “al-Kasysyāf” arti muhthi‘īn, artinya bergegas atau bersegera datang. Apabila Nabi Muḥammad datang, kaum kafir musyrik itu lekas datang berkumpul hendak mendengarkan. Mendengarnya itu bukan karena hendak beriman, melainkan karena hendak mencari butir-butir perkataan beliau mana yang akan mereka debat, mana yang akan mereka cemoohkan dan mereka perkatakan kelak dengan mencari bantahan.
Tetapi terjemahan dari Ibnu Katsīr lain lagi. Beliau mengartikan muhthi‘īn ialah bila Nabi datang, mereka berserak pergi, tidak mau mendengarkan.
“Dari kanan dan dari kiri mereka berkelompok-kelompok.” (Ayat 37). Ayat ini sebagai sambungan dari ayat yang sebelumnya. Jika menurut tafsir yang umum, bila datang Nabi s.a.w. kaum kafir itu pun datang bergegas hendak mendengarkan ; bukan karena hendak iman dan percaya, melainkan karena hendak memilih kata-kata yang akan mereka salah artikan. Sehabis mereka dengar, merekapun meninggalkan tempat itu sambil berkelompok-kelompok mencemoohkan atau menyalah artikan perkataan-perkataan itu. Kalau menurut tafsiran Ibnu Katsīr, mereka berserak meninggalkan majlis Nabi, lalu berkelompok mempergunjingkan beliau. Namun maksud isi dari kedua tafsir, yang berkumpul bergegas-gegas mendengar Nabi atau berserak-serak segera setelah Nabi datang, maksudnya sama saja, yaitu untuk menyatakan tidak percaya.
“Adakah sangat ingin tiap-tiap seseorang di antara mereka bahwa hendak masuk ke dalam surga yang penuh nikmat.” (Ayat 38).
Timbul ayat berisi pertanyaan seperti ini ialah karena orang-orang yang bergunjing dan mencemooh itu biasanya merasa diri masing-masing di pihak yang benar. Sebab mereka tetap mempertahankan pelajaran yang diterima dari nenek moyang, tidak merobah-robah adat istiadat. Menyembah berhala nenek moyang, kitapun menyembah berhala pula. Yang salah ialah Muḥammad, sebab dialah yang datang hendak merobah-robah pusaka yang diterima turun-temurun. Oleh sebab mereka merasa di pihak yang benar, merekapun merasa pula bahwa merekalah yang patut masuk syurga. Di sinilah datang berupa pertanyaan: …. apakah orang-orang semacam ini yang akan berhak masuk ke dalam syurga yang penuh ni‘mat? Padahal pekerjaan mereka siang malam hanya membantah?
“Sekali-kali tidak!” (Pangkat ayat 39). Kallā! Sekali-kali tidak! Yaitu bantahan Allah atas persangkaan mereka bahwa mereka berhak masuk ke dalam syurga. Tuhanpun membantah sikap mereka yang jika Nabi datang, lalu berkerumum mendengar buat mencari kelemahan lalu berkelompok untuk mencari dalih pembantah kata-kata Nabi itu. Bukan orang-orang semacam itu yang akan masuk syurga”. Yang paling pokok ialah bahwa mereka tidak percaya akan adanya Hari Akhirat, atau Hari Pembalasan. Bagaimana akan masuk syurga orang yang tidak percaya akan Hari Kemudian itu, padahal syurga akan ada pada Hari Kemudian?: “…..sesungguhnya telah Kami ciptakan mereka daripada apa yang mereka maklum sendiri.” (Ujung ayat 39). Semua mereka tentu maklum daripada apa mereka terjadi (tercipta), yaitu dari berkumpulnya dua tetes mani, mani ibu dan mani bapa.
“Maka bersumpahlah Aku, Demi Tuhan sekalian Timur dan sekalian Barat” (Pangkal ayat 40). Sebagaimana kebiasaan seluruh ahli tafsir kalimat Lā Uqsimu yang arti ḥarfiyyahnya “Tidak aku bersumpuh, diartikan ialah bahwa Tuhan bersumpah, atau Nabi disuruh bersumpah; Demi Tuhan dari sekalian Timur; sebab Timur itu bukan satu, bahkan sebanyak daerah, sebanyak negeri sebanyak itu pulalah Timur, sebab orang memandang dan menetapkan Timur ialah di daerah tempat dia tinggal. Demikian juga sekalian Barat; Sebab Barat bukan satu, melainkan sebanyak penjuru tempat orang berdiri. Dari mana terbit Matahari dari situlah Timur, dari mana terbenamnya di sanalah Barat. “sesungguhnya Kami adalah Maha Kuasa.” (Ujung ayat 40). Maka Kuasa berbuat, menentukan, menetapkan, merobah, menambah menurut sekehendak Kami dan tidak ada Kekuasaan lain yang dapat mencegah kami dalam Maha Kekuasaan Kami; dan Maha Kuasa juga: “Atas mengganti mereka dengan kaum yang lebih baik dari mereka.” (Pangkal ayat 41) Ini adalah satu ancaman Tuhan kepada kaum Quraisy di waktu itu dan apa yang diancamkan Tuhan itu berlaku sepenuhnya. Pemuka-pemuka Quraisy yang selalu menantang Nabi itu, di antaranya Abū Jahl, al-Walīd ibnu Mughīrah, Abū Lahab paman Nabi sendiri dan lain-lain, telah hancur perlawanan mereka ketika peperangan Badr. Abū Jahl dan al-Walīd dan lain-lain binasa dalam perang itu dan Abū Jahl mati kena serangan jantung setelah mendengar hal yang tidak diduganya samasekali, yaitu kekalahan Quraisy dalam peperangan Badr itu: “Dan tidaklah Kami dapat didahului” (Ujung ayat 41). Artinya tidak ada satu kekuasaan lainpun yang dapat mencegah kalau kehendak Kami akan berlaku. Kalau Kami hendak membinasakan, tidaklah ada kekuasaan lain yang dapat mendahului Kami buat mempertahankan apa yang Kami hendak binasakan itu.
“Maka biarkanlah mereka tenggelam dan bermain-main” (Pangkal ayat 42). Yaitu mereka tenggelam di dalam keangkuhannya, lalu lalai dan bermain-main dengan congkak dan sombong, tidak memperhatikan perkembangan apa yang telah terjadi sekelilingnya. “Sehingga mereka akan bertemu dengan hari yang telah dijanjikan itu.” (Ujung ayat 42).
Terjadilah Nabi Muḥammad dan orang-orang yang beriman berhijrah ke Madīnah. Lalu terjadilah kemudiannya peperangan Badr yang bersejarah itu. Kaum Muslimin hanya 300 dan kaum kafir musyrik Quraisy lebih 1000 orang. Dengan congkak mereka pergi ke medan perang dan mereka yakin bahwa mereka akan menang, namun yang bertemu ialah kalah! Bertemulah apa yang dijanjikan pada ayat sebelumnya. Yaitu mereka berganti dengan orang-orang yang lebih baik dari mereka, baik Muhājirīn ataupun Anshār.
Dan kelak akan terjadi yang lebih hebat dari itu;
“Pada hari mereka akan keluar dari dalam kubur dengan cepat-cepat” (Pangkal ayat 43). Itulah serunai sangkakala kiamat yang akan memanggil mereka kelak keluar dari alam kuburnya. Mereka akan segera bangkit dan cepat bergerak, karena panggilan itu tidak boleh dilalaikan: “seakan-akan mereka kepada berhala-berhala berduyun-duyun.” (Ujunga ayat 43).
Jika kita renungkan ayat ini dengan seksama, nampaklah perbandingannya dengan ayat 36 di atas tadi. Yaitu mereka berduyun-duyun datang dengan cepat-cepat tergesa-gesa mendekati Muḥammad s.a.w. buat mencari butir katanya yang akan dibantah dan ditolak atau digunjingkan. Maka di hari kiamat bukanlah mereka datang berduyun kepada Muḥammad, melainkan akan berduyun datang memenuhi panggilan karena akan ditanyai satu demi satu tentang kesalahan mereka. Di dunia mereka datang dengan khusyu‘ memuja dan menyembah berhala, di akhirat mereka berduyun lagi buat menerima kemurkaan Allah.
“Dalam keadaan menunduk pemandangan mereka, diliputi kehinaan.” (Pangkal ayat 44). Menunduk ke bumi, muka tidak dapat diangkat, rasa salah menyebabkan muka tertekun (tertunduk – karena sangat asyik dan sibuk (bekerja dan sebagainya); memusatkan segenap pikiran dan tenaga pada….), terasa hina diri merana jauh dari Tuhan, karena tidak ada pendirian hidup dan ‘ibadat kepada Allah yang akan dapat dijadikan tameng diri menghadapi pemeriksaan. “Itulah dia hari yang pernah mereka diancam dengan dia.” (Ujung ayat 44). Tetapi ancaman itu tidak mereka perdulikan. Oleh sebab itu maka kehinaan dan muka tunduk yang mereka rasakan hari ini, adalah hal yang wajar.
Na‘ūdzu billāhi min dzālik; Janganlah kiranya kita termasuk golongan itu; Āmīn!