Maka segala perbudakan yang timbul dari sebab peperangan karena agama itu, sehingga ada perempuan jadi tawanan lalu jadi budak, dipakai sebagai istri oleh tuannya, tetapi tidak diangkat resmi sebagai seorang istri, menurut suasana di zaman purba itu dijelaskan di ujung ayat: “maka sesungguhnya mereka itu tidaklah tercela.” (Ujung ayat 30).
Atau tidaklah disalahkan, atau tidaklah dianggap berdosa.
Orang-orang yang merasa dirinya menjadi bangsa yang berkesopanan tinggi di zaman sekarang mencela ayat-ayat tentang kebolehan menyetubuhi budak atau hamba sahaya perempuan ini, lalu anak yang lahir dari persetubuhan itu diakui anak yang sah bagi ayahnya dan mendapat kedudukan yang sama dengan saudara-saudaranya yang lain, yang dilahirkan dari istri yang dikawini. Padahal sudah kita saksikan dua kali perang dunia yang besar dan jijiknya perbuatan serdadu-serdadu yang menang jika masuk ke dalam suatu negeri, yang dinamai Daerah Pendudukan. Ingatlah masuknya tentara Jepang ke Cina, masuknya tentara Amerika ke Vietnam. Beribu-ribu anak di luar nikah telah lahir, karena per-“kawinan” tipuan atau pergundikan. Akhirnya anak-anak itu menjadi “Anak rumah pemeliharaan” dengan tidak ada orang tua yang mengakuinya. Oleh sebab itu tidaklah salah peraturan Islam jika suatu negeri dita‘lukkan, penduduk negeri itu kalah, orang laki-lakinya banyak binasa di medan perang, sedang istri-istri mereka atau gadis-gadis mereka tinggal. Apakah mereka akan dibiarkan jadi perempuan lacur, atau diberikan jadi hak bagi yang menawan, lalu memeliharanya dan berbuat seperti kepada istrinya sendiri. Dapat anak dari dia, anak itu mendapat hak sama dengan anak dari perempuan yang merdeka.
Khalīfah Bani ‘Abbās, yaitu al-Hādī dan Hārūn ar-Rasyīd adalah anak gundik, ibu mereka bernama Khaizurān. Al-Ma’mūn yang sangat terkenal, ibunya adalah gundik bernama Murajil. Al-Mu‘tashim yang menggantikan al-Ma’mūn ibunya gundik bernama Maridah. Al-Watsīq Billāhi Hārūn ibunya gundik bernama Qarathis, dari perempuan Rūm. Al-Mutawakkil ‘Alallāhi ibunya gundik bernama Syuja‘. Al-Muntashir anak gundik bernama Ḥabsyiyyah. Al-Musta‘īn Billāhi anak gundik namanya Mukhāriq. Al-Mu‘tazz anak gundik bangsa Romawi bernama Qabīḥah (si jelek) karena sangat cantiknya, sehingga tuannya Khalīf al-Mutawakkil sangat tergila-gila kepadanya. Al-Muhtadī anak gundik namanya Wurdah (kembang mekar). Al-Mu‘tamid ‘Alallāhi anak gundik namanya Fatyān, orang Rūm. Al-Mu‘tadhīd Billāhi anak gundik bernama Shawāb. Al-Muktafī Billāhi anak gundik bangsa Turki namanya Jijak. Begitupun Khalīfah-khalīfah Bani ‘Abbās yang lain, anak gundik atau anak budak langsung; Al-Muqtadir, Al-Qāhir, Ar-Rādhī, Al-Muttaqī, Al-Mustakfī, Al-Muthī‘, Ath-Thā’ik, Al-Qādir, Al-Qā’im, Al-Muqta’ī, Al-Mustazhhir, Al-Mustarsyid, Ar-Rasyīd, Al-Muqtafī, Al-Mustanjid, Al-Mustadhī‘, An-Nāshir lid-Dīn-illāhi, Azh-Zhāhir, Al-Mustanshir, Al-Musta‘shim (Khalīfah penghabisan yang mati dibunuh Houlako Khan dari bangsa Tartar).
Cuma satu orang Khalīfah yang bukan anak gundik atau anak budak dibeli. Yaitu al-Amīn anak Hārūn ar-Rasyīd. Sebab ibunya ialah Putri Zubaidah, saudara sepupu dengan Hārūn ar-Rasyīd sendiri.
Oleh sebab itu berlakulah kesamarataan kedudukan dalam Islam, karena keturunan diambil dari ayah, sebagaimana disebutkan oleh Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib dalam salah satu si‘irnya:
وَ إِنَّمَا أُمَّهَاتُ النَّاسِ أَوْعِيَةٌ
مُسْتَوْدَعَاتٌ فَلِلْأَبْنَاءِ آبَاءُ.
“Tidak lain ibu-ibu manusia itu ialah tempat kandungan; dan simpanan, dan anak-anak dibangsakan kepada ayahnya.”
“Tetapi barang siapa yang mencari juga di belakang itu” (Pangkal ayat 31). Mencari lagi jalan lain untuk melepaskan syahwat faraj atau kelaminnya, di luar dari istri yang sah beserta budak perempuan yang dipunyai sendiri itu: “maka orang-orang begitu adalah orang-orang yang melanggar.” (Ujung ayat 31). Melanggar batas itu banyak dilakukan orang kalau orang itu tidak terkendalikan oleh Agama. Sampai kepada saat sekarang ini, masih banyak terdapat di mana-mana perniagaan budak “putih”. Bukan budak “hitam” sebagai dahulu itu lagi. Banyak gadis-gadis remaja di Eropa ditipu oleh orang-orang jahat yang sama sekali kehilangan budi dan moral, untuk dijual pengisi rumah-rumah pelacuran di seluruh dunia ini.
Di Indonesia sendiri nyaris mengalir kejahatan memperniagakan perempuan untuk pengisi “bordeel” (rumah pelacuran). Pengisi steambath, nite club. Yaitu apa yang dinamai hostes, perempuan-perempuan muda yang katanya untuk menyambut tetamu dengan segala hormat, tetapi untuk dipergunakan bagi pemuasan nafsu manusia-manusia yang sudah begitu jatuh budi pekertinya, tidak terkendalikan lagi. Kadang-kadang gadis-gadis yang masih suci, yang tidak menyangka samasekali bahwa dia akan terbenam ke dalam jurang pelacuran yang membuat hancur seluruh hidupnya itu. Mereka jatuh karena ditiup, kadang-kadang karena diminumkan obat untuk membangkitkan syahwatnya buat setubuh. Kadang-kadang mereka dirusakkan dengan memakai alat-alat membuat mabuk dan lupa diri, sebagai narkotik, mariyuana, morphin, dan lain-lain, sampai peremupuan itu hancur sehancurnya dan terlempar keluar garis masyarakat, tidak sanggup buat pulang lagi ke rumah ibu bapanya, dan susah buat kawin secara baik-baik. Dalam pada itu kaki-tangan “cukong-cukong” masih dikirim ke desa-desa buat mencari gadis yang baru.
“Dan orang-orang yang terhadap kepada amānat dan janji, mereka pelihara.” (Ayat 32). Inilah sambungan dari sifat-sifat utama orang yang sembahyang, dan tetap dalam sembahyangnya. Mereka tetap sembahyang dan sebagai akibat dari sembahyang yang tetap itu ialah mereka memegang teguh amānat dan janji. Mereka pelihara, mereka juga, jangan sampai amānat dikhianati, jangan sampai janji dimungkiri. Karena kalau amānat dan janji telah tidak terpelihara lagi, alamat penyakit munafiq telah menyerang diri, yang sukar mengobatnya.
Amānāt sama rumpun katanya dengan aman, iman dan amin. Pokok arti ialah kepercayaan. Apabila seorang ayah meninggal dunia dan dia ada meninggalkan anak-anak kecil yang telah jadi yatim karena kematiannya itu, maka anak-anak yatim itu adalah amānat di atas pundak keluarga yang tinggal. Amānat ini wajib dipelihara.
Apabila seorang teman berangkat ke luar negeri, dan sebelum dia berangkat dititipkannya barang-barang berharga kepada salah seorang yang dipercayainya, dan dia berpesan, bahwa kalau dia meninggal dunia dalam perjalanan itu, hendaklah barang berharga itu diserahkannya kepada waris yang berhak menerima. Maka jadi amānatlah di pundak yang menerima titipan itu buat menyampaikan barang berharga itu kepada waris si mati dengan secukupnya.
Seorang ayah mengawinkan anak perempuannya dengan menantu laki-lakinya. Ījāb yang diucapkan dengan mulutnya ketika menyerahkan anaknya itu adalah amānat; sambutan si menantu yang bernama qabūl adalah penerimaan atas amānat. Dan Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَاتِ اللهِ. (رواه البخاري و مسلم).
“Peliharalah perempuan baik-baik. Karena kamu mengambil dia adalah sebagai amānat dari Allah, dan telah halal kamu menggaulinya dengan kalimat Allah.” (Dirawikan oleh Bukhārī dan Muslim.)
Maka kesetiaan dan keteguhan hati seorang suami memimpin istrinya adalah amānat dari ayah istrinya dan dari Allah.
‘Ahad (عهد -ms), artinya janji. Janjipun seiring dengan amānat. Berjanji akan mengerjakan sesuatu, atau menyanggupi akan berbuat sesuatu, hendaklah dipenuhi. Jangan mengikat suatu janji yang tidak akan sanggup memenuhinya. Karena hubungan di antara manusia dengan manusia di dalam ‘alam ini hanya bertali dengan amānat dan janji itu. Mungkir akan janji atau mengabaikan amānat, sama artinya dengan merusak binasakan perikemanusiaan. Bahkan Ilmu Ekonomi yang tertinggi direkatkan dan dilekatkan adalah atas amānat dan janji. Politik dan diplomasi adalah janji! Semua relasi (hubungan) antara manusia adalah amānat dan janji. Apa yang dipegang dari manusia kalau bukan janji yang keluar dari mulutnya diucapkan oleh lidahnya?
Sembahyang tunggak-tungging, tidak ada artinya kalau amānat dan janji tidak dipelihara baik-baik.
“Dan orang-orang yang dengan kesaksian adalah mereka jujur.” (Ayat 33). Terjadi kesulitan di antara manusia sesama manusia. Kadang-kadang timbul masalah yang terpaksa dibawa ke muka Pengadilan. Hakim memerlukan seorang saksi, maka orang yang diminta kesaksiannya karena dia mengetahui duduk perkara, hendaklah memberikan keterangan dengan jujur, sehingga jalan pemeriksaan perkara tidak sulit dan keputusan mudah diambil oleh hakim. Kesaksian palsu, atau kesaksian yang mengandung dusta, atau menyembunyikan hal yang sebenarnya, bernama “Syahādat-uz-Zūr”, artinya kesaksian dusta. Kesaksian dusta termasuk salah satu di antara tujuh dosa besar, (sab‘-il-mūbiqāt).
“Dan orang-orang yang terhadap sembahyang, mereka pelihara baik-baik.” (Ayat 34). Di ayat 23 Tuhan telah menyebutkan sifat utama orang beriman, yaitu sembahyang yang tetap. Di ayat ini diulang sekali lagi, yaitu bahwa sembahyangnya itu terpelihara baik-baik.
Ada orang yang tetap sembahyang. Asal waktu telah masuk dia segera sembahyang. Tetapi belum tentu sembahyangnya itu dipeliharanya. Sembahyang yang terpelihara ialah yang dikerjakan dengan khusyu‘ dan tertib. Dengan thuma’ninah (tenang tentram). Lengkap rukun dan syaratnya. Kokoh ruku‘ dan sujudnya. Bukan seperti burung layang-layang, yang jelas benar bahwa dia ingin selesai lekas, seakan-akan menghadap Tuhan itu dianggapnya mengikat dirinya dan menghalangi pekerjaannya yang lain.
Sejak dari mulai mendengar adzan, hati sudah disediakan buat menyembah Allah. Pekerjaan yang lain tinggalkan dahulu, sebab panggilan untuk menghadap Tuhan telah datang. Setelah itu diambillah wudhu’, dibersihkan sekalian anggota wudhu’ yang telah ditentukan di dalam al-Qur’ān. Setelah kedengaran iqāmat, segera tampil ke muka jadi ma’mum di belakang imam. Bersiap mengerjakan perintah dengan teratur, dengan komando. Apabila telah dimulai takbīr: “Allāhu Akbar”, yang berarti Allah-lah Yang Maha Besar, menjadi kecillah segala urusan dan tidaklah berarti diri sendiri di hadapan Kebesaran Tuhan, dan naiklah ingatan menembus awan-gumawan, menembus hijab, menempuh kasyaf, hilangkan ghairullāh (yang selain Allah), yang teringat hanya satu; ALLAH!
“Orang-orang itu di dalam syurga-syurga kelak akan dimuliakan.” (Ayat 35).
Inilah janji yang benar dari Tuhan. Yaitu bahwa sekalian mereka itu yang telah melengkapi segala syarat tadi, syarat dengan Allah dan syarat dengan sesama insan, Tuhan telah berjanji akan memberi mereka kemuliaan di dalam syurga.
Ayat serupa ini bertemu di permulaan Surat ke-23, Surat “al-Mu’minūn” (Darihal orang-orang yang beriman). Di surat tersebut bertemulah kemenangan yang akan dicapai Kaum Yang Beriman sejak dari ayat 1 sampai ayat 11, dan di Surat ini, Surat ke-70 al-Ma‘ārij (Tangga-tangga tempat naik), dari ayat 19 sampai ayat 35. Di ujung janji ini ayat 35, Allah menjanjikan bahwa orang-orang itu akan dimuliakan di dalam syurga-syurga yang telah disediakan. Sedang di dalam Surat al-Mu’minūn ayat 10 dan 11 dikatakan bahwa mereka akan menerima waris. Waris itu ialah syurga Firdaus; di sanalah mereka akan ditempatkan.
Di pangkal Surat al-Mu’minūn, yaitu ayat 1, Tuhan memberikan kepastian bahwa orang yang beriman itu telah mendapat kemenangan jika syarat-syarat ini mereka penuhi. Keutamaan dan kemenangan itu adalah pada dua masa. Pertama masa di dunia, yaitu hilang kegelisahan dan keluh-kesah jiwa, karena sembahyang memberikan ketenteraman dalam hati. Kebahagiaan yang kedua ialah di akhirat kelak, karena mewarisi syurga Firdaus.
Itulah cita-cita terakhir yang diharapkan oleh tiap-tiap orang yang beriman. Karena jika Tuhan telah menjanjikan akan diberi kemuliaan di dalam syurga Firdaus, tandanya akan tercapai maksud inti dari segenap perjuangan ini, yaitu keinginan hendak melihat wajah Allah di dalam syurga al-Firdaus itu.