IV
وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.
70: 29. Dan orang-orang yang kemaluannya sangat dijaganya.
70: 30. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba-sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka itu tidaklah tercela.
70: 31. Tetapi barang siapa yang mencari juga di belakang itu, maka orang-orang begitu adalah orang-orang yang melanggar.
70: 32. Dan orang-orang yang terhadap kepada amanat dan janji, mereka pelihara.
70: 33. Dan orang-orang yang dengan kesaksian adalah mereka jujur.
70: 34. Dan orang-orang yang terhadap sembahyang, mereka pelihara baik-baik.
70: 35. Orang-orang itu di dalam syurga-syurga kelak akan dimuliakan.
***
“Dan orang-orang yang kemaluannya sangat dijaganya.” (Ayat 29). Faraj kita artikan kemaluan, biasa juga diartikan kehormatan. Artinya yang lebih tepat ialah alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan. Dalam ayat ini disebut bahwa salah satu ciri tanda orang yang beriman ialah yang menjaga dan tidak mempergunakan alat kelaminnya dengan salah atau tidak menjaga dan memeliharanya. Sudah jadi salah satu syarat menjaga hidup manusia di atas dunia ialah apabila dia mengatur persetubuhan dengan pernikahan. Jangan dihambur-hamburkannya saja mani kemana-mana, dengan tidak menurut peraturan. Sebab itu dilarang dengan tegas melakukan persetubuhan di luar nikah; itulah yang dinamai zina. Dan dilarang juga melakukan persetubuhan sejenis, yaitu samburit atau dalam bahasa sekarang homesexual. “Kecuali terhadap istri-istri mereka.” (Pangkal ayat 30). Persetubuhan dengan istri, yang telah dinikahi secara sah menurut agama. Yang demikian tidak lagi bernama menyia-nyiakan. “dan hamba-sahaya yang mereka miliki” Yaitu budak-budak perempuan yang didapat lantaran tertawan di waktu perang. Ilmu fiqih menjelaskan pula bahwasanya tawanan yang boleh disetubuhi itu ialah yang ditawan dalam peperangan karena agama, bukan sembarang tawanan saja. Dalam bahasa Melayu Kuno, hamba sahaya yang dipakai sebagai istri itu dinamai “gundik” atau “selir”. Mereka tidak dinikahi, melainkan langsung disetubuhi sebab dia adalah sama saja dengan barang kepunyaan dari tuan yang empunya dia. Tetapi Agama Islam mengakui bahwa anak yang didapat dari selir itu adalah anak yang sah, yang sama kedudukannya dengan saudara-saudara yang didapat dari istri. Menurut sejarah, raja-raja Bani ‘Abbās sebahagian besar adalah anak dari hubungan dengan selir atau gundik itu. Di zaman pemerintahkan Sayyidinā ‘Umar beliau membuat peraturan bahwa gundik-gundik yang telah melahirkan anak, dinamai “Umm-ul-Walad” (ibu anak-anak). Mereka, apabila telah melahirkan anak tidak boleh dijual lagi.
Nabi kita Muḥammad s.a.w. membuat suatu contoh. Yaitu istri beliau yang bernama Shafiyyah bintu Ḥuyay adalah perempuan tawanan. Dia adalah anak perempuan dari Ḥuyay bin Akhthab, salah seorang pemuka Yahudi yang sangat memusuhi Nabi dan meninggal dalam peperangan dengan Nabi dan anak perempuannya tertawan. Oleh Nabi s.a.w. Shafiyyah itu tidak dijadikan gundik (selir), melainkan dimerdekakan dari perbudakan, dibebaskan dari tawanan, lalu beliau pinang Shafiyyah kepada dirinya sendiri, karena ayahnya tidak ada lagi. Mahar (mas-kawin) ialah kemerdekaan yang diberikan Nabi itu.
Perbudakan ini ada sejak zaman purbakala. Setengah dari kecurangan kaum Orientalist untuk memburukkan Agama Islam ialah karena – kata mereka – Islam mengakui adanya perbudakan. Padahal perbudakan itu ada pada tiap-tiap bangsa sebelum Islam. Dengan adanya peperangan-peperangan, maka orang-orang yang ditawan menjadilah budak, laki-laki jadi budak pekerja, perempuan jadi budak di rumah tangga. Kalau cantik boleh saja tuannya memakainya. Tidak ada publieke Opinie yang melarang. Islamlah yang membuat peraturan bahwa anak dari hubungan dengan budak perempuan, adalah anak yang sah dari tuan yang menyetubuhinya. Kemudian datang pula peraturan Sayyidinā ‘Umar, bahwa budak perempuan yang telah menghasilkan anak tidak boleh dijual lagi. Dia tetap menjadi dayang-dayang terhormat dalam rumah tangga.
Islam pun memandang bahwa perbudakan itu tidak baik. Tetapi selama ada peperangan dan ada tawan menawan, adalah “konyol” kalau Islam menghapuskan perbudakan, sedang kalau pihak dia ditawan orang lalu dijadikan budak, dia tidak dapat melarang.
Tetapi ada beberapa perbuatan mulia dianjurkan dengan memerdekakan budak. “Fakku raqabatin” memerdekakan budak adalah satu ‘amal mulia.
Sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang mendapat kehormatan mula-mula adalah seorang budak, kemudian dimerdekakan ialah Sayyidinā Bilāl bin Rabāḥ, Mu’adzdzin Rasūl. Dia dianiaya dan dijemur di bawah cahaya Matahari yang sangat terik oleh penghulunya karena menyatakan beriman kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Sedang dia dijemur hampir mati, Sayyidinā Abū Bakar lewat di tempat itu. Lalu dibelinya beliau. Sesudah dibelinya dimerdekakannya.
Kita mengetahui bahwa Sejarah Dunia penuh dengan perbudakan. Bangsa Yunani mengakui adanya perbudakan. Bahkan Plato pernah menyatakan syukurnya, sebab dia dilahirkan sebagai bangsa Yunani dan berguru kepada Plato dan dia bukan budak.
“Republik’ Plato tentang filsafat pemerintahan, demikian juga “Politik” Aristoleles yang begitu masyhur, hanya berlaku buat bangsa Yunani yang merdeka, bukan untuk budak-budak, tegasnya tidak termasuk di dalamnya budak-budak.
Beratus bahkan beribu tahun perikemanusiaan menghadapi perbudakan. Amerika sebagai Negara Baru, tempat pengungsian (emigran dan pilgrim) orang Inggeris di Abad Ketujuh Belas, barulah dapat dibuka besar-besaran setelah memakai budak-budak. Orang-orang kulit putih menjarahi negeri-negeri dan kampung-kampung orang Afrika yang masih biadab, membunuhi mana yang melawan, menawan mana yang tinggal, lalu diikat dan dirantai dan dibawa ke kapal, dijual ke Amerika.
Kita mengenal Perang Saudara yang sangat dahsyat di antara Bangsa Amerika Serikat sebelah Utara dengan sebelah Selatan. Karena Utara hendak menghapuskan perbudakan dan Selatan mempertahankannya. Selatan akhirnya kalah, tetapi sampai kini, orang-orang Negro itu masih dipandang bangsa Kelas II di Amerika oleh yang berkulit putih. Masih ada sampai sekarang restaurant-restaurant, hotel-hotel, bahkan kakus umum yang tidak boleh dimasuki oleh Kulit hitam.
Padahal bangsa Afrika yang seluruhnya disebut NEGRO itu telah merdeka! Wakil-wakil mereka telah duduk dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sayyid Rasyīd Ridhā, ‘Ulamā’ Islam yang terkenal pernah mengeluarkan fatwa enam puluh tahun yang lalu bahwasanya budak-budak yang sah menurut peraturan Agama Islam ialah budak yang berasal dari tawanan perang dan perang itu hendaklah perang karena Agama, sebagai perang-perang Jihad yang berlaku di zaman Nabi s.a.w. dan Khalīfah-khalīfah yang dahulu. Sebab itu maka budak yang berasal dari tawanan perang yang bukan perang karena agama, tidaklah sah diperbudak. Itu adalah merampas kemerdekaan orang merdeka.
Demikian juga tidaklah sah perbudakan negeri-negeri yang dijarah, penduduknya ditawan lalu dijual ke pasaran budak, sebagaimana banyak dilakukan oleh Kompeni Belanda di Kepulauan kita ini di zaman dahulu, sehingga di antara budak-budak itu ialah Surapati yang kemudian dapat mendirikan sebuah kekuasaan di Pasuruan.
Ketika Sayyid Rasyīd Ridhā mengeluarkan fatwanya itu banyaklah orang-orang besar di Istanbul yang murka dan mencari ‘Ulamā’-‘ulamā’ yang suka membatalkan fatwa Sayyid Rasyīd Ridhā itu. Maka meskipun fatwa telah keluar, perbudakan semacam itu belum juga hilang. Terutama masih terdapat sisa-sisanya di Tanah ‘Arab. Sampai kepada tahun 1927, penulis tafsir ini masih mendapati “Pasar Budak” di salah satu sudut kota Makkah. Pasar terbuka, laksana pasar penjualan sapi saja! Umumnya yang diperjual-belikan itu ialah orang-orang Afrika.
Pada tahun 1957 Duta Besar ‘Arab Saudi di Indonesia selalu diladeni oleh seorang anak muda yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dengan usaha Duta Besar tersebut saya pada bulan Februari 1958 jadi tetamu raja Sa‘ūd di Riyādh. Seketika saya bermalam di Hotel Alkandarah di Jeddah, saya bertemu kembali anak-muda pengiring Duta Besar itu di Hotel tersebut, sebab Duta Besar sedang cuti di negerinya. Ketika itulah si Sa‘īd, demikian nama pemuda itu, lama duduk di hadapan saya, seketika tuanya sedang tidak ada. Dia menyatakan terus-terang bahwa dia adalah “raqīq”, artinya budak dari Yang Mulia Duta Besar dan sejak masih kecil tinggal dengan beliau.
Nampaknya sebagai pemuda yang hidup di zaman modern, Abad Kedua-puluh, Sa‘īd telah insaf bahwa kedudukan sebagai dia itu tidak layak lagi di zaman sekarang.
“Namamu Sa‘īd, tetapi engkau tidak merasa bahagia”, kataku kepadanya.
Memang, ya ‘Ammī, namaku Sa‘īd tetapi aku tidak berbahagia.”
Setelah Raja Faishal, asy-Syahīd fī Sabīlillāh naik takhta pada tahun 1964 beliau adakanlah peraturan yang sangat radikal. Mulai tahun itu dimaklumkan bahwa sekalian budak di Saudi ‘Arabi tidak ada lagi. Untuk itu Baginda meminta fatwa kepada ‘Ulamā’-‘ulamā’, supaya keputusan Baginda kokoh dari segi agama. ‘Ulamā’-‘ulamā’ memutusan bahwa budak-budak yang sah menurut agama ialah yang didapat dalam tawanan perang karena agama. Itupun dianjurkan oleh Agama supaya dimerdekakan. Apatah lagi sekarang. Budak sudah mesti dihapuskan karena sebabnya tidak ada lagi. ‘Ulamā’-‘ulamā’ Wahhabi telah menyatakan pendapat yang sama dengan Sayyid Rasyīd Ridhā.
Untuk jangan sampai merugikan orang-orang yang amat berat bercerai dengan budaknya, Baginda Faishal mengganti kerugian harga budak itu, menurut patutnya, yang diputuskan oleh satu Panitia. Penebus budak-budak itu dengan zakat atau dengan shadaqah tathawwu‘. Di akhir tahun 1964 habislah buduk-budak itu dalam Negara Saudi ‘Arabi. Propaganda Kaum Yahudi atau Negara Israel ke dunia bahwa mereka masih perlu menduduki Palestina, bahkan menaklukkan Jazirat ‘Arab untuk menghapuskan budak-budak dengan sendirinya sirna. Demikian juga propaganda Kaum Komunis yang masuk ke tanah ‘Arab dengan perantaraan Israel dengan sendirinya habis pula.
Budak-budak yang telah jadi orang merdeka itu diberi modal menurut kesanggupannya untuk hidup. Atau menjadi khadam yang digaji di rumah tuannya yang lama, yang muda diterima masuk Sekolah, diterima masuk Militer.
Sebagaimana telah kita ketahui tadi, yang terbanyak budak-budak yang telah merdeka itu ialah orang-orang Afrika Hitam. Di zaman dahulu orang Afrika Hitam itu di Makkah disebut orang Takarani. Sekarang seluruh Negeri Afrika, sebagai Ghana, Gunea, Nigeria, Nigeria Kongo, Volta Hulu, Pantai Gading, Mali dan lain-lain telah jadi merdeka. Jika orang-orang dari negeri itu naik haji, perasaan mereka tidak tertekan lagi melihat orang sewarna dengan mereka jadi budak, melainkan warga-negara Saudi yang bebas merdeka. Bahkan perasaan mereka sangat tersinggung jika mereka pergi menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York; mereka masuk ke dalam Sidang sebagai Duta-duta dari Negeri Merdeka, tetapi apabila mereka masuk ke dalam restaurant-restaurant yang melarang kulit berwarna (Coloured), sedang yang dimaksud dengan coloured itu hanya yang hitam, perasaan mereka sangat tersinggung.
Peraturan yang dibuat oleh Raja Faishal di negaranya sendiri itu jadi perhatian dan mendapat sambutan pula di negeri-negeri ‘Arab yang lain. Perbudakan betul-betul habis dari daerah-daerah dan negara-negara ‘Arab itu sekarang.