III
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ.
70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh-kesah.
70: 20. Apabila disentuh akan dia oleh suatu kesusahan diapun gelisah.
70: 21. Dan apabila disentuh akan dia oleh kebajikan diapun mendinding diri.
70: 22. Kecuali orang-orang yang sembahyang.
70: 23. Yang mereka itu atas sembahyang itu tetap mengerjakan.
70: 24. Dan orang-orang yang pada harta-bendanya ada hak yang tertentu.
70: 25. Untuk orang yang meminta dan yang tidak punya apa-apa.
70: 26. Dan orang-orang yang membenarkan Hari Pembalasan.
70: 27. Dan orang-orang yang dari ‘adzab Tuhan, mereka merasa ngeri.
70: 28. Sesungguhnya dari ‘adzab Tuhan tidaklah mereka akan aman.
***
Pada ayat-ayat 19 sampai 23 ini diterangkanlah bagaimana Allah menciptakan tabiat-tabiat yang buruk pada manusia, yang mereka hendaklah berusaha merobah kejadian itu dengan melatih diri sendiri, sehingga kemanusiaannya naik meninggi, bukan dia jadi manusia yang jatuh martabat.
Tuhan bersabda (berfirman): “Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh-kesah.” (Ayat 19). Keluh-kesah tidak mempunyai ketenangan hati, selalu cemas, selalu ketakutan dan selalu merasa kekurangan saja. Berbagai macam sakit jiwa dapat pula mengiringi keluh-kesah itu. “Apabila disentuh akan dia oleh suatu kesusahan diapun gelisah.” (Ayat 20). Bila ditimpa susah, dia tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia menjadi gelisah, menyesali nasib atau menyalahkan orang lain. Maunya hanya “tahu beres” saja, tidak mau terganggu sedikit juapun. Pada ayat ke-10 dari Surat ke-29, al-‘Ankabūt diterangkan juga perangai orang yang demikian. Yaitu apabila mereka bertemu penderitaan pada jalan Allah, dianggapnyalah fitnah manusia sebagai ‘adzab Allah juga. Pendeknya, orang seperti ini tidak pernah mau menyelidiki di mana kekurangan dan kelemahan dirinya, tidak mau tahu bahwa hidup di dunia itu mesti bertemu kesusahan dan kesenangan. Tidak ada yang senang dan mudah saja. “Dan apabila disentuh akan dia oleh kebajikan diapun mendinding diri.” (Ayat 21). Mendinding diri, tidak mau dihubungi oleh orang lain, dia mencari 1000 macam akal untuk mengelakkan kalau ada orang yang akan datang meminta pertolongan. Ada-ada saja jawabnya untuk menyembunyikan kemampuannya. Dia bakhil, tidak mau menolong orang. Maka lupalah dia akan kesusahan yang pernah menimpa dirinya. Bertambah dia mampu, bertambahlah bakhilnya. Dan diapun tidak keberatan mendinding diri itu dengan macam-macam kebodohan. Perangai semacam ini sangatlah buruknya.
“Kecuali orang-orang yang sembahyang.” (Ayat 22). Tetapi diberi pula syarat pada ayat yang selanjutnya; orang sembahyang yang macam apa? “Yang mereka itu atas sembahyang itu tetap mengerjakan.” (Ayat 23). Ayat 22 dan 23 ini menyatakan bahwa hanya orang yang sembahyang saja yang dapat menyembuhkan dirinya daripada keluh-kesah dan gelisah itu. Yang selalu kusut mukanya ketika ditimpa susah, mendinding diri seketika mendapat kesenangan atau keuntungan. Orang sembahyang dapat bebas dari penyakit yang berbahaya itu. Sebab dengan sembahyang yang sekurang-kurangnya lima waktu dikerjakan siang dan malam, ditambah lagi dengan sembahyang-sembahyang nawāfil (sunnat) yang lain, jiwanya tidak akan merasakan keluh-kesah lagi. Sebab dia telah berangsur mendekat kepada Tuhan. Dengan sembahyang insaflah dia bahwasanya orang hidup di dunia tidaklah akan sunyi daripada susah dan senang, rugi dan beruntung. Maka di waktu mendapat kesusahan tidaklah dia akan gelisah, melainkan bersabar menderitanya. Dengan sebab sabar dia dapat mengendalikan diri. Apabila seseorang dapat mengendalikan diri, akalnya tidak pernah tertutup. Allah akan memberi petunjuk dan hidayat kepadanya, sehingga pintu yang tertutup menjadi terbuka. Dan kalau kemudian keuntungan didapat, kesenanganpun tiba, segera dia bersyukur kepada Tuhan. Syukur itu bukan saja ucapan dengan mulut, bahkan juga diiringi oleh perbuatan. Syukur, yaitu dengan mengingat makhluk Allah yang lain yang dalam kesusahan pula dan belum tentu lain hari akan mendapat percobaan seperti itu pula.
Tetapi di dalam ayat dua beriring ini dijelaskan bahwa orang sembahyanglah yang sanggup membebaskan diri dari penyakit resah-gelisah itu. Yaitu orang yang tetap sembahyangnya. Sebab sembahyang itu bukanlah semata-mata rukun syarat tertentu, yang dimulai dengan takbīr disudahi dengan salām itu saja. Di luar sembahyang seperti itu diapun tetap sembahyang, artinya tetap ada hubungan jiwanya dengan Tuhan. Tetap ingat akan Tuhan. Sebab ada juga orang-orang yang mengerjakan sembahyang, padahal dalam melakukan sembahyang itulah dia lupa akan Tuhannya. Sebab sembahyangnya itu hanya semacam “kebiasaan” yang telah kehilangan khusyu‘ dan kehilangan hikmat.
Dengan sebab itu melakukan sembahyang, diapun ingat akan kewajibannya sebagai seorang yang berserah diri kepada Tuhan. Tentang itu datang sambungan sabda Tuhan:
“Dan orang-orang yang pada harta-bendanya ada hak yang tertentu.” (Ayat 24).
Sesudah dia mengerjakan sembahyang jelaskan bahwa Imannya kepada Tuhan telah bertambah kokoh dan meluas. Dia ingat akan kewajibannya kepada sama hamba Allah. Sebab Islam itu sendiri mendidik demikian. Terutama sembahyang itu sendiri, bukanlah semata-mata mengokohkan Iman kepada Allah, bahkan juga Iman akan apa yang diperintahkan Allah. Di antara yang diperintahkan Allah sesudah perintah sembahyang ialah menyediakan sebahagian daripada harta untuk membantu orang-orang yang patut dibantu; bernama zakat. Baik zakat kekayaan, ataupun zakat pertanian, atau zakat peternakan. Maka orang-orang yang beriman itu telah menentukan hak-hak yang tertentu untuk yang musti menerima tadi. Rasa bakhil dengan sendirinya hilang! Harta itu ialah: “Untuk orang yang meminta dan yang tidak punya apa-apa.” (Ayat 25). Maksud yang meminta di sini bukanlah orang peminta-minta yang mengganggu penglihatan mata itu, orang-orang penganggur yang telah membiasakan hidupnya hanya dari meminta. Yang meminta di sini ialah, baik petugas-petugas pemungut zakat, atau orang-orang yang sudah sangat terdesak, karena misalnya dia berhutang. Tidak ada tempat dia mengadu lagi kecuali kepada yang lebih mampu, mohon dibayarkan hutangnya. Atau penuntut-penuntut ilmu yang kekurangan biaya, yang termasuk dalam golongan “Ibn-us-Sabīl”, atau sebagai banyak terjadi di zaman dahulu, yaitu orang yang akan dimerdekakan dari perbudakan asal dia sanggup membayar sekian, lalu orang yang diperbudak itu minta tolong dari zakat.
Orang yang maḥrūm, kita artikan orang yang tidak punya apa-apa. Misalnya orang yang berniaga, lalu rugi, bahkan kadang-kadang habis licin tandas hartanya karena rugi atau karena hutangnya, yang di dalam agama dinamai muflis.
“Dan orang-orang yang membenarkan Hari Pembalasan.” (Ayat 26). Yaitu orang-orang yang percaya sungguh dia bahwasanya di belakang hidup kita yang sekarang ini, ada lagi hidup sesudah mati, untuk menerima ganjaran daripada amal yang dikerjakan pada masa hidup yang pertama ini. Baik mendapat balasan baik, buruk mendapat pembalasan buruk. Bahkan kepercayaan kepada Hari Pembalasan itu, yang boleh juga disebut menurut tulisan asalnya “Hari Agama”, karena agama kita di dunia ini, di waktu itulah kelak akan menentukan nasib kita di akhirat. Karena kepercayaan kepada Hari itu adalah kontrol yang menentukan nilai perbuatan dan amal kita di dunia ini.
“Dan orang-orang yang dari ‘adzab Tuhan, mereka merasa ngeri.” (Ayat 27). Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. dan Nabi-nabi yang sebelumnya telah menjelaskan bagaimana ngeri dan seramnya ‘adzab Tuhan kalau terjadi di hari Pembalasan itu kelak, diapun ngeri memikirkannya, diapun takut akan berbuat apa yang dilarang oleh Tuhan dan diapun taat mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Tuhan; Sebab: “Sesungguhnya dari ‘adzab Tuhan tidaklah mereka akan aman.” (Ayat 28). Itulah sebab mereka amat ngeri memikirkannya. Maka untuk mengelakkan diri daripada ‘adzab di akhirat itu kelak, misalnya panas hangatnya api neraka, sampai mengelupas kulit kepala, tidaklah dapat kalau di akhirat itu sendiri hendak dielakkan. Melainkan elakkanlah sementara hidup di dunia ini. Jauhilah dia sementara masih hidup, supaya di Hari Pembalasan jangan bertemu dengan ‘adzab ngeri yang diancamkan Tuhan itu.