II
يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ. كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْ مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.
70: 8. Pada hari itu adalah langit laksana luluhan perak.
70: 9. Dan adalah gunung-gunung laksana bulu beterbangan,
70: 10. Dan tidaklah menanyai seorang teman karib akan temannya,
70: 11. Mereka lihat melihatkan; inginlah seorang yang berdosa kalau kiranya dia dapat ditebus dari ‘adzab siksaan pada hari itu dengan anak-anaknya.
70: 12. Dan teman perempuannya dan saudara laki-lakinya,
70: 13. Dan kelompok kekeluargaannya yang melindunginya.
70: 14. Dan dengan orang-orang yang di muka bumi ini sekaliannya, kemudian semua menyelamatkannya.
70: 15. Sekali-kali tidak! Karena sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak,
70: 16. Yang mengelupaskan kulit kepala,
70: 17. Yang memanggil barang siapa yang membelakang dan berpaling.
70: 18. Yang mengumpul, lalu menyimpan.
***
Pada ayat-ayat ini digambarkan lagi kedahsyatan hari kiamat. “Pada hari itu adalah langit laksana luluhan perak.” (Ayat 8). Di sini digambarkan keadaan langit bila kiamat datang; suatu perumpamaan yang dahsyat sekali. Misalnya jika di waktu itu manusia menengadahkan wajahnya ke langit, dia akan melihat suatu penglihatan yang mengerikan, penglihatan yang sama sekali sebelum belum pernah terjadi. Meleleh langit itu, karena susunannya sudah berobah sama sekali. Diumpamakan dengan luluhan perak. Gambarkanlah bagaimana sebatang perak beku dibakar; dari sangat panasnya dia meleleh, mengalir: “Dan adalah gunung-gunung laksana bulu beterbangan.” (Ayat 9). Kalau pada cakrawala segala sesuatu telah berobah, sehingga langit laksana perak yang hancur luluh, gunung-gunungpun telah berobah keadaannya menjadi hancur lebur, berkepingan, beterbangan, jadi abu. Mungkin dari sangat kerasnya angin berhembus, mungkin dari sebab gempa-gempa bumi yang dahsyat. Karena sudah dapat difikirkan, bahwa “knop” seluruh ‘alam itu adalah dalam satu “Tangan”. Diputar satu knop, bergoncanglah semuanya, yang satu bertali dengan yang lain, diperhubungkan oleh tali Qudrat dan dilancarkan dengan komando Iradat.
“Dan tidaklah menanyai seorang teman karib akan temannya.” (Ayat 10). Kalau sudah semacam itu keadaan yang dihadapi, sudah pasti tidak ada sahabat yang ingat akan sahabatnya lagi, jangankan mengurus kesulitannya, menanyakanpun tidak ada kesempatan lagi. Sebab tabiat manusia yang asli, atau naluri, bagaimana juapun bahaya yang mengancam, manusia masi saja berusaha hendak mengelakkan diri dari maut. “Mereka lihat melihatkan” (Pangkal ayat 11). Hanya lihat-melihat dari jauh, yang seorang tidak dapat menolong yang lain. Padahal di saat yang seperti demikianlah yang perlu rasanya akan pertolongan; “Inilah seorang yang berdosa kalau sekiranya dia dapat ditebus dari ‘adzab pada hari itu dengan anak-anaknya.” (Ujung ayat 11).
Sahabat karib tidak dapat menolong; hanya tinggal anak lagi yang diharap. Sebab anak adalah turunan sendiri, darah-daging sendiri. Karena selama hidup di dunia anaklah yang dipandang penyambung keturunan, penerus jalan sejarah: “Dan teman perempuannya” (Pangkal ayat 12). Yaitu istri sendiri, yang telah hidup bersama, mendirikan rumah-tangga bahagia, menurunkan keturunan. Bukankah istri yang setia itu jika suaminya sakit, dia yang membela? Jika susah dia yang membujuk? Bukankah istri, teman hidup tempat menumpahkan rasa cinta dan sayang? Bukankah dia yang patut di saat seperti ini mendampingi?; “Dan saudara laki-lakinya” (Ujung ayat 12). Yang dari kecil sama diasuh oleh ibu dan bapa dalam rumah yang satu, di bawah naungan satu atap?
“Dan kelompok kekeluargaannya yang melindunginya.” (Ayat 13). Kalimat Fashīlat saya terjemahkan dengan kelompok kekeluargaan. Sebagai Nabi kita Muḥammad s.a.w. adalah dari qabīlah Quraisy, dan qabīlah Quraisy itu bercabang dan beranting, di antara rantingnya itu ialah Bani Hāsyim. Nabi kita Muḥammad s.a.w. adalah dari Fashīlat Bani Hāsyim. Menurut adat yang tidak lekang dipanas, tidak lapuk dihujan bagi bangsa ‘Arab, jika anggota fashīlat ditimpa marabahaya makan seluruh anggota fashīlat merasakan bahaya itu. Abū Thālib membela Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau dibenci oleh kaum Quraisy ialah karena beliau adalah anggota fashīlat. Sampai seluruh Bani Hāsyim dan Bani Muththalib dibeikot dan diblokade oleh kaum Quraisy yang lain dua tahun lamanya, meskipun sebahagian mereka belum menyatakan diri masuk Islam, karena mereka satu fashīlat dengan Nabi Muḥammad.
Di Minangkabau ada pepatah: “Jauh mencari suku, dekat mencari hindu”. (Catatan: hindu = indu (orang yang seketurunan dengan kita – seinduk -SH.) Kelompok kekeluargaan suku itupun dibagi sejak dari sepersukuan, sebuah perut, nan sehesta (hasta), yang sejengkal dan yang sebuah jari. Maka yang sekelompok itu adalah “sehina semalu, sedancing bagai besi, seciap bagi ayam”. Ayat 13 yang sedang kita tafsirkan ini membayangkan kebiasaan yang telah lama itu. Yaitu jika anggota kelompok kekeluargaan ditimpa malapetaka, semua anggota kelompok, anggota fashīlat ingin membela. Setelah tiba masa menghadapi kehebatan hari kiamat masih saja ada orang yang mengharapkan pembelaan dari kelompok kekeluargaan tersebut, moga-moga kekeluargaan bertindak melindungi.
Bukan semata-mata kelompok saja, bahkan seisi bumipun rasanya amat diharapkan untuk datang melindungi;
“Dan dengan orang-orang yang di muka bumi ini sekaliannya,” (Pangkal ayat 14). Terpencillah diri rasanya seorang diri ketika itu, anak tak dapat menolong, istripun tidak, saudara kandungpun tidak, suku dan hindu, kelompok perbelahan suku tidak, semuapun tidak. Lalu menolehlah muka kepada orang lain, manusia yang begitu banyak. Wahai manusia, mengapa tidak ada yang memperhatikan nasibku ini. Hanya bersipandang dari jauh, tetapi tidak ada yang bertindak. Tolonglah aku!; “kemudian semua menyelamatkannya.” (Ujung ayat 14). Artinya sangat diharapkan pertolongan manusia yang banyak itu, agar aku selamat dan terlepas dari kesulitan, kesempitan dan ketenggelaman ini.
Jawabannyapun datang: “Sekali-kali tidak!” (Pangkal ayat 15). Artinya, bahwasanya segala pengharapan orang yang dalam kesengsaraan karena ditekan oleh perasaan berdosa itu tidaklah dapat ditolong melepaskannya oleh orang lain; “Karena sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak.” (Ujung ayat 15). Semua orang takut kepada api itu, dan semua manusia menghadapi soalnya sendiri-sendiri dan kesulitan sendiri.
Tak ada orang yang berani mendekat-dekat ke tempat yang mengerikan itu “Yang mengelupaskan kulit kepala.” (Ayat 16). Gambarkanlah! Siapa yang akan sampai ke sana? Niscaya orang yang berdosa! Api itu menyala terus. Namunnya api neraka, panasnya adalah berlipat-ganda dengan ganda yang tidak dapat dibandingkan dengan api dunia sekarang ini.
“Yang memanggil barang siapa yang membelakang dan berpaling.” (Ayat 17).
“Yang mengumpul, lalu menyimpan.” (Ayat 18).
Sesudah ayat 15 menerangkan bagaimana pula ngerinya neraka itu kelak, yang selalu bergejolak dan menggelegak, sehingga digambarkan pula bahwa kulit kepala ini akan mengelupas laksana kepala kambing dibakar (ayat 16), terasalah ngerinya yang dihadapi dan terasalah seram, ngeri, kejam. Malah ada orang yang tidak mengerti ajaran dan rahasia agama menuduh Allah ta‘ālā kejam dengan menyediakan ‘adzab demikian.
Tetapi ayat ke-17 dan 18 menerangkan siapa orang yang akan dimasukkan ke dalam ‘adzab neraka yang sekejam sengeri itu. Di ayat 17 diterangkan dengan tegas sekali, yaitu orang yang jika dipanggil kepada kebenaran dia membelakang, lalu punggungnya yang diberikannya. Dia berpaling, tidak mau menerima kebenaran. Ayat 17 menjelaskan bahwa neraka memanggil dia, musti datang! Kalau begitu kelakuannya di kala hidup di dunia, ke manapun dia lari di akhirat, dia musti kembali ke tepi neraka jua! Sebab neraka itu sendiri yang memanggilnya.
Ayat 18 menerangkan lagi orang yang akan mendapat ‘adzab siksaan itu, yaitu orang kerjanya siang malam hanya mengumpul, yaitu mengumpul harta, lalu menyimpan. Tidak mau mengeluarkan lagi. Dia bakhil, tidak mau menolong orang yang susah.
Oleh sebab itu jika terdengar kejam, seram, ngeri ‘adzab neraka Jahannam itu, Tuhan telah memberikan jalan supaya jangan manusia masuk ke dalam tempat yang ngeri dan kejam itu. Untuk menjauhinya tidaklah di neraka atau tidaklah di akhirat itu kelak, melainkan tatkala masih di dunia ini juga. Caranya adalah sederhana saja; Jika datang seruan kebenaran, yang dibawa oleh rasul-rasul Tuhan, disampaikan di dalam wahyu-wahyu, janganlah membelakang dan janganlah berpaling. Melainkan dengarkan baik-baik dan laksanakan. Kerjakan yang diperintahkan, hentikan yang dilarang.
Dan janganlah hidup itu kerja siang malam hanya mengumpul harta, membilang-bilang uang, emas dan perak, lalu menyimpan tidak keluar lagi. Kekayaan hanya untuk diri, tidak mempergunakan rezeki yang diberikan Allah buat menolong fakir dan miskin. Tidak mengulurkan tangan kepada sesama manusia untuk bersilaturrahmi. Ingatlah bahwa harta yang dikumpul itu tidak akan ada faedahnya jika tidak dinafkahkan kepada jalan yang baik.
Kalau ini telah diperhatikan dan dijalankan, bahaya neraka itu dapat dielakkan.
Oleh sebab itu maka orang-orang yang menuduh bahwa ancaman Tuhan dengan mereka di akhirat dikatakan kejam ialah orang yang tidak ada kesediaan hatinya menuruti jalan mulia yang digariskan Allah. Maunya biarkan saja dia berbuat sesuka hati di dunia ini tanpa ada ancaman akhirat.