Surah al-Lail 92 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-LAYL

“WAKTU MALAM”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

 

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

  1. Demi malam tatkala menutupi,

Sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah lautan tanpa-penciptaan yang tak terduga kedalaman dan luasnya. Sebelum sang bayi meninggalkan rahim maka yang ada hanyalah kegelapan. Kebodohan adalah kegelapan yang menjadi selubung keterpisahan dan keputusasaan. Andaikan kita berjalan dari awal penciptaan, kita akan menemukan bahwa untuk setiap malam ada siang, dan siang hari akan bersinar terang. Bagi pencari pengetahuan, temaram keterjagaannya akhirnya akan menjadi hari yang bersinar terang.

وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى

  1. Dan demi siang tatkala membuka diri,

Andaikan kita mulai dengan mengenali kegelapan, kebodohan dan kesengsaraan kita secara umum, andaikan kita menghadapinya dan memahami realitasnya, dan andaikan kita berada di Jalan yang benar, maka kita harus mengetahui bagaimana kebodohan itu terjadi. Dengan mengetahuinya kita akan terbebas dari belenggu malam; siang hari akan menjadi terang, dan akhirnya akan membuahkan pengetahuan yang pasti.

وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى

  1. Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

Hal-hal yang berlawanan—laki-laki dan perempuan, siang dan malam, hidup dan mati—diciptakan dalam bentuk yang saling bersesuaian, dan ini semata-mata agar kita tahu bahwa ternyata akar seseorang terletak pada lawannya dan bahwa seseorang tidak bisa ada tanpa ada seorang lainnya. Laki-laki tidak bisa ada tanpa perempuan, juga perempuan tidak bisa ada tanpa laki-laki. Mereka adalah dua lawan dari sebuah realitas tunggal.

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى

  1. Sesungguhnya, usaha kamu adalah [untuk] berbagai [tujuan].

Sa‘i berarti ‘berusaha, berjuang, berupaya keras’. Kita semua sedang berusaha, setiap orang berusaha sesuai dengan niat, orientasi, dan dzawq (selera)-nya. Salah seorang wali Allah pernah berkata, ‘Upaya (atau perjuangan dalam arti pencarian) aql adalah mencari keajaiban.’ Akal berupaya melihat atau menyaksikan berbagai keajaiban, dan keajaiban bisa diartikan sebagai keberlimpahan Allah dalam penciptaan yang tidak secara jelas atau secara benar ditafsirkan oleh kita pada saat keajaiban tersebut nampak. Hal ini berkenaan dengan berbagai peristiwa atau fenomena yang apabila dilihat dengan kacamata intelek akan nampak alamiah; tapi bagi orang yang inteleknya tidak sepenuhnya tersadarkan maka mungkin semua itu nampak luar biasa.

Wali tersebut kemudian berkata lagi, ‘Upaya hati adalah mengusahakan penyaksian langsung, dan bagi roh (jiwa) maka penyaksian tersebut berarti mengalami kedekatan,’ (artinya menyaksikan segala sesuatu dengan pandangan hakikat); dan upaya yang berkenaan dengan rahasia-rahasia yang paling dalam merupakan upaya untuk lenyap dalam cahaya Hakikat sehingga mereka berada dalam cahaya Sifat-sifat Allah’.

Upaya atau perjuangan yang dilakukan oleh manusia adalah sedemikian rupa sehingga aspirasi setiap orang berbeda; ada yang melakukannya melalui maḥabbah (cinta [timbal-balik]), ada yang melalui irādah (keinginan, hasrat), ada lainnya yang melalui syawq (kerinduan). Bentuknya berbeda-beda sesuai dengan orientasi individu.

Sa‘i juga berarti ‘bersegera dengan maksud tertentu, berlari’, dan seperti disebutkan sebelumnya, adalah nama yang diberikan kepada kegiatan berlari antara Shafā dan Marwah di Makkah yang dilakukan sebagai bagian dari prosesi haji. Manusia berangkat dari satu ujung ke ujung lainnya seolah-olah sedang bersegera menuju suatu tujuan yang pasti, di mana sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an: “Setiap orang akan melihat Wajah Tuhannya.”

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى

  1. Adapun orang yang memberi dan bertakwa,

Ayat ini menunjuk kepada orang yang menyerahkan dirinya (a‘thā, menawarkan, menyajikan), yang telah memberikan sesuatu yang menurut anggapannya merupakan miliknya yang terbaik. Ia adalah orang yang secara total berserah diri disertai pengakuan bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa, tidak menguasai apa-apa, dan bahwa tujuan dia dalam eksistensi ini semata-mata untuk mengenal kerahiman Penciptanya. Jika ia melepaskan jiwa rendahnya, maka ia menghindari pelanggaran dan, dengan cara demikian, ia menghindari penyiksaan diri.

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى

  1. Dan meyakini yang baik,

Shaddaqa berarti ‘mempercayai, meyakini’, dan dari kata ini muncul makna ‘memberikan derma’. Keyakinan kita menegaskan bahwa Allah adalah Sang Maha Pemberi. Bentuk pertama kata shaddaqa adalah shadaqa (tulus hati, jujur), dan merupakan akar dari shidq, yang berarti ‘kejujuran’ dan ‘ketulusan hati’. Imām Ja‘far disebut ash-Shādiq karena ia terkenal akan kejujurannya. Dengan memiliki sifat shidq berarti seseorang bersikap jujur terhadap Penciptanya, yakni mengakui bahwa semua yang ada ini hanyalah pemberian semata-mata. Dia adalah satu-satunya Pemberi, sementara kita sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan mengakui bahwa kita tidak memiliki apa-apa dalam harta ataupun kekuasaan, maka kita menegaskan hal yang benar. Seandainya kita percaya terhadap hal yang baik, terhadap keunggulan, maka kita mempertegas kebenaran tertinggi, yakni, bahwa Allah tidak menginginkan apa pun dari ciptaan-Nya selain ḥusn (kebaikan) dan rahmat untuk setiap orang. Kita menegaskan kebenaran mutlak tersebut secara batiniah, lalu kita menegaskannya dari sudut pandang syariat, yakni dengan cara mendermakan apa yang telah diberikan kepada kita dari ḥusn yang nampak, berkah dan nikmat Allah. Dengan menunjukkan pemberian Allah kepada kita secara lahiriah, maka secara batiniah kita menegaskan bahwa kita berasal dari Allah, oleh Allah, dan ke hadirat Allah kita kembali.

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى

  1. Kami akan memudahkan jalannya menuju kemudahan.

Barang siapa meyakini janji Allah ini dan mengikuti jalan ini maka ia akan dipimpin menuju jalan kemudahan dan pada saat akhir nanti dia akan dimudahkan. Allahlah yang akan memudahkan perjalanan dan kedatangannya.

وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى

  1. Adapun bagi orang yang kikir dan berpikir dirinya tidak tergantung dalam harta,

Bukhl berarti ‘sifat hemat, kekikiran’, dari bakhila, ‘bersikap kikir’. Sikap kikir akan menghentikan aliran kedermawanan Allah yang masuk melalui hati dan keluar melalui tangan. Orang bākhil adalah orang yang mencoba menghentikan kehendak Allah, dan hal ini nampak dari perbuatannya yang berusaha menghentikan tujuan penciptaan. Istaghnā berasal dari ghaniya, yang berarti ‘bebas dari keinginan, kaya, tidak ada kebutuhan’. Tegasnya di sini berarti ‘Orang yang mengira dirinya sanggup mencukupi keperluannya sendiri atau tidak bergantung’. Karena itu ia terputus; ia mengira bahwa dirinya kaya berkat karya dan hartanya yang cukup sehingga menganggap dirinya sebagai makhluk superior.

وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى

  1. Dan ia mendustakan apa yang baik,

Barang siapa menganggap dirinya tidak bergantung pada kerahmanan Allah maka ia telah mengingkari realitas bahwa seluruh tujuan penciptaan, yang nampak maupun yang tidak nampak, bergantung pada kepercayaan terhadap hal yang baik. Jika seseorang tidak mampu melakukan apa saja yang ḥasan (baik), maka setidaknya hendaklah ia memelihara sikap dan hubungan yang menyenangkan. Seandainya perbuatan dia tidak memberikan manfaat, maka paling tidak biarlah dalam hatinya saja sehingga ia tidak merugikan yang lain.

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

  1. Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.

Jalan akan menjadi sulit bagi orang yang menolak hal yang baik. ‘Usr adalah lawan dari kemudahan, artinya ‘kesulitan, penderitaan, kemalangan, kesukaran’. Maka orang yang menolak kebaikan tidak akan mendapatkan apa pun selain kesempitan di sepanjang jalannya.

وَ مَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى

  1. Dan hartanya tidak akan menolong dia tatkala ia binasa.

Apa gunanya harta lahir atau batin yang telah ia kumpulkan jika ia kembali kepada Allah dalam keadaan kacau? Aradda berarti ‘menyebabkan jatuhnya, menghancurkan, merusak, atau membunuh’. Jika orang seperti itu sudah sedang terbakar dalam apinya sendiri, dalam kebodohan malamnya, maka apa gunanya segala harta yang telah dia tumpuk apabila ujung-ujungnya masuk neraka (jahannam)?

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى

  1. Sesungguhnya tanggung jawab Kamilah untuk memberikan petunjuk,

Allah berfirman, “Kami bertanggung jawab untuk menunjukkan jalan”, menunjukkan makna dari hidāyah (petunjuk). Ini berarti bahwa jalan hakikat, tujuan eksistensi, akan menunjukkan kepada kita jalan keluar dari kegelapan yang nyata. Terserah kepada realitas untuk menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak terpisah, dan bahwa kita merupakan bagian penting dari penciptaan dan kesalingberhubungannya.

وَ إِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَ الْأُولَى

  1. Dan sesungguhnya akhirat dan [kehidupan] yang pertama itu adalah kepunyaan Kami!

Segala kebaikan dan keberkahan dari kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, semua berkah penciptaan dalam segala bentuknya, semua yang datang kemudian dan semua yang ada sekarang, dicakup, dimiliki dan dikuasai oleh Raja Tunggal Sejati. Tujuan dari semua keberkahan ini adalah untuk memedomani kita dalam menempuh jalan hidāyah yang sempit, hidāyah yang datang berkat ketakwaan, yakni kesadaran yang tidak pernah putus bahwa kita dikelilingi oleh bahaya.

فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى

  1. Maka Aku memperingatkan kamu tentang api yang menyala,

لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى

  1. Tidak ada yang akan masuk ke sana kecuali orang yang paling celaka,

Orang yang syaqī (sengsara, tidak bahagia, celaka) adalah orang yang mengingkari pesan dan tujuan eksistensi. Kalau dia melakukan pengingkaran secara lahiriah maka ia akan mencapai kesudahan yang digambarkan dalam ayat ini, yakni, an-Nār al-Kubrā (api yang besar). Orang ini sudah berada dalam api kecil, dan ini merupakan persiapan untuk memasuki api besar. Bahkan akibat seperti ini pun merupakan contoh dari belas kasih Allah: Dia mempersiapkan mereka untuk menjalani kekacauan yang lebih besar melalui pengalaman mereka merasakan api yang lebih kecil di dunia ini.

الَّذِيْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى

  1. Yang mendustakan dan berpaling.

Ini berkenaan dengan orang-orang yang ingkar, yang merasa memiliki jalan sendiri, dan berimajinasi bahwa mereka tidak bergantung pada Allah.

وَ سَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى

  1. Tapi akan dijauhkan dari itu (neraka) orang yang menjaga diri dengan bertakwa.

Barang siapa bertakwa, maksudnya barang siapa menjaga diri dari perbuatan salah dengan memelihara ketakwaan, dan senantiasa ingat akan tujuan lahiriah dari eksistensinya dan ingat terhadap utang kepada Penciptanya karena ketidakterpisahan batinnya, dan berusaha keras menyucikan niatnya serta berbuat sebaik-baiknya, orang ini akan ditarik mendekati Kebenaran, mendekati Allah, dan dijauhkan dari neraka.

الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهُ يَتَزَكَّى

  1. Yang memberikan hartanya sehingga ia bisa tumbuh dalam kesucian.

Apa pun harta yang dimilikinya—tidak hanya dalam pengertian material tapi juga ilmu pengetahuan—lantas ia berikan dengan sukarela. Māl berarti ‘harta milik, properti, kekayaan, barang’, dari mawwala, yang berarti ‘memperkaya, mendanai, menjadi kaya’. la menunjukkan pendakian menuju sesuatu. Jika kita menginginkan sesuatu, maka kita mendaki ke arahnya. Ayat ini mengenai orang yang menambah kekayaannya dengan cara membagi-bagikannya karena jika ia menahannya, maka hartanya tidak akan mengalir. Hal yang sama berlaku pada ilmu pengetahuan. Jika kita menyembunyikan ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan mengizinkan pengetahuan baru mengalir ke-pada kita dari satu-satunya gudang pengetahuan, dari Allah. Semakin banyak kita memberi semakin banyak persediaan kita terisi lagi, dan semakin banyak gudang kita dipenuhi lagi.

وَ مَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزَى

  1. Dan tak seorang pun yang bersamanya mendapat kenikmatan sebagai ganjaran,

Jaza’ (imbalan, ganjaran) disebabkan oleh, dan merupakan hasil dari, perbuatan seseorang. Apa pun ni‘mah (nikmat, kesenangan, kenyamanan, kebahagiaan) yang kita miliki bukanlah dari kita. Kita tidak memiliki apa pun. Kita di sini hanya untuk melakukan penyaksian, syahādah (penyaksian keimanan), sehingga dari sini dan seterusnya kita akan selalu menyaksikan Allah, Yang Senantiasa Terang.

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

  1. Kecuali orang yang mencari Wajah Tuhannya, Yang Mahaluhur.

وَ لَسَوْفَ يَرْضَى

  1. Dan ia akan segera mendapat ridha-Nya.

Artinya, tujuan dan kepentingan kita—keseluruhan tujuan hidup kita di sini—adalah untuk melihat Wajah Tuhan. Jika kita melihat penampakan lahiriah dari ciptaan Tuhan, dan menyaksikan bagaimana Ketuhanan mewujudkan diri dan berkuasa—sehingga untuk semua penciptaan Allah telah menyediakan makanan dan perlindungan, menciptakan awal dan akhirnya, dan memberinya keseimbangan yang sempurna—maka pasti kita dilanda kerinduan, dan sebagai pencari kemudian kita rindu melihat Wajah Allah, rindu akan penampakan lahiriah dari sang Realitas. Dikatakan di lain tempat dalam al-Qur’an: ‘Ke mana pun kamu menghadap, di sana Wajah Allah.’

Jika ini merupakan arah yang sedang kita tuju, maka dengan mencapai cahaya pandangan dan kebangunan batin kita akan mendapat kesenangan, dan kesenangan akan dialami di sini dan juga di dunia akan datang. Kita tidak akan mendapat apa-apa selain ganjaran atas segala perbuatan kita semata-mata yang berasal dari niat kita yang bersih. Kita pun akan keluar dari gelapnya kehampaan dan akhirnya akan mencapai cahaya pengetahuan, dengan menghadapkan wajah kita kepada Wajah Allah, Yang Mahamulia, Dia Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *