Surah al-Lail 92 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Lail 92 ~ Tafsir Ibni Katsir

SŪRAT-UL-LAIL
(Malam)

Makkiyyah, 21 Ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-A‘lā

 

Dalam hadis yang terdahulu telah dijelaskan bahwa Rasūlullāh s.a.w. dalam tegurannya terhadap Mu‘ādz ibnu Jabal pernah bersabda:

فَهَلَّا صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا، وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى.

Maka mengapa engkau dalam shalatmu tidak membaca Sabbiḥisma rabbikal-a‘lā (al-A‘lā), Wasy-syamsi wa dhuḥāhā (sūrat-usy-Syams) dan Wal-laili idzā yaghsyā (sūrat-ul-Lail)?

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-Lail, ayat: 1-11.

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى، وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى، إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى، فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى، وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى، وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى، وَ مَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى

092:1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
092:2. dan siang apabila terang benderang,
092:3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
092:4. sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
092:5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa.
092:6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
092:7. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
092:8. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
092:9. serta mendustakan pahala yang terbaik,
092:10. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
092:11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazīd ibnu Hārūn, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, dari al-Mughīrah, dari Ibrāhīm, dari ‘Alqamah, bahwa ia datang ke negeri Syam, lalu masuk masjid Dimasyq (Damaskus) dan mengerjakan shalat dua rakaat di dalamnya, lalu mengucapkan doa berikut: “Ya Allah, berilah aku rezeki teman duduk yang saleh.” Lalu duduklah ia bergabung ke dalam majelis Abū Dardā’, maka Abū Dardā’ bertanya kepadanya: “Dari manakah engkau berasal?” ‘Alqamah menjawab: “Dari Kufah.” Abū Dardā’ bertanya, bahwa bagaimanakah engkau mendengar bacaan Ibnu Ummi ‘Abdin (maksudnya ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd) terhadap firman Allah s.w.t.:

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى، وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الأُنْثَى

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan (al-Lail: 1-3)

Maka ‘Alqamah membacakannya dengan bacaan berikut:

وَ الذَّكَرِ وَ الأُنْثَى

dan (demi) laki-laki dan perempuan (al-Lail: 3)

Tanpa memakai wa mā khalaqa, sehingga bacaannya menjadi wadz-dzakari wal-untsā. Maka Abū Dardā’ menjawab, bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar bacaan itu dari Rasūlullāh s.a.w., tetapi mereka masih tetap meragukan bacaan itu. kemudian Abū Dardā’ berkata: “Bukankah di kalangan kalian terdapat orang yang mempunyai jamaah yang sangat besar dan pemegang rahasia yang tiada seorang pun mengetahuinya selain dia, dan yang dilindungi dari godaan setan melalui lisan Nabi Muḥammad s.a.w.?”

Imām Bukhārī meriwayatkan hadis sehubungan tafsir ayat ini dan juga Imām Muslim melalui jalur al-A‘masy, dari Ibrāhīm yang mengatakan bahwa murid-murid ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd datang kepada Abū Dardā’, mereka mencarinya dan akhirnya menemukannya. Maka Abū Dardā’ bertanya kepada mereka: “Siapakah di antara kalian yang pandai membaca al-Qur’ān menurut qiraat ‘Abdullāh?” Mereka menjawab: “Kami semuanya.” Abū Dardā’ bertanya: “Siapakah di antara kalian yang paling hafal?” Mereka menunjuk ke arah ‘Alqamah. Maka Abū Dardā’ bertanya, bahwa bagaimanakah engkau dengar dia membaca firman-Nya:

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), (al-Lail: 1)

Maka ‘Alqamah menjawab, bahwa terusannya (sesudah ayat berikutnya) ialah:

وَ الذَّكَرِ وَ الأُنْثَى

dan (demi) laki-laki dan perempuan (al-Lail: 3)

Abū Dardā’ pun berkata: “Demi Allah, aku pernah mendengar bacaan itu dari Rasūlullāh s.a.w., dan beliau tidak menghendaki aku membacanya dengan bacaannya:

وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الأُنْثَى

dan penciptaan laki-laki dan perempuan (al-Lail: 3)

oleh karena itu demi Allah, aku tidak mau menuruti kemauan mereka. “Demikian teks hadis menurut Imām Bukhārī. Dan demikianlah ayat ini dibaca oleh Ibnu Mas‘ūd dan Abū Dardā’; dan Abū Dardā’ sendiri telah me-rafa‘-kannya, yakni telah mendengarnya langsung dari Rasūlullāh s.a.w.

Adapun menurut pendapat jumhur ulama, maka mereka membacanya sebagaimana yang termaktub di dalam mushḥaf ‘utsmānī, yaitu mushḥaf induk yang telah disebarkan ke berbagai negeri Islam di masa itu, yaitu:

وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الأُنْثَى

dan penciptaan laki-laki dan perempuan (al-Lail: 3)

Allah s.w.t. bersumpah melalui firman-Nya:

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), (al-Lail: 1)

Yakni apabila malam hari menyelimuti semua makhluk dengan kegelapannya.

وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى

dan siang apabila terang benderang (al-Lail: 2)

Yaitu terang benderang berkat cahayanya.

وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الأُنْثَى

dan penciptaan laki-laki dan perempuan (al-Lail: 3)

Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

وَ خَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا

dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan (an-Naba’: 8)

Dan firman-Nya:

وَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (akan kebesaran Allah). (adz-Dzāriyāt: 49)

Mengingat sumpah yang dikemukakan dengan menyebut nama berbagai hal yang berlawanan, maka subjek sumpahnya pun demikian pula. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman-Nya:

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى

Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. (al-Lail: 4).

Maksudnya, amal perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hambaNya berlawanan pula dan beraneka ragam; maka ada yang berbuat baik dan ada yang berbuat buruk. Dalam firman berikutnya disebutkan:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (al-Lail: 5).

Yakni mengeluarkan apa yang diperintahkan untuk dikeluarkan dan ia bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya.

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى

dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (al-Lail: 6)

Yaitu percaya adanya balasan amal perbuatan, menurut Qatādah. Dan Khashif mengatakan percaya dengan adanya pahala. Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, ‘Ikrimah, Abū Shāliḥ, dan Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى

dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (al-Lail: 6)

Yakni percaya dengan adanya penggantian. Abū ‘Abd-ur-Raḥmān as-Sulamī dan adh-Dhaḥḥāk telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى

dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (al-Lail: 6)

Yaitu “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah”, karena kalimah yang terbaik adalah kalimat ini. Dan menurut riwayat lain dari ‘Ikrimah disebutkan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى

dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (al-Lail: 6)

Yakni apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya berupa berbagai macam nikmat. Dan menurut riwayat lain dari Zaid ibnu Aslam, disebutkan sehubungan dengan firman-Nya:

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى

dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (al-Lail: 6)

Yaitu shalat, zakat dan puasa; di lain waktu Zaid ibnu Aslam mengatakan dan sedekah (zakat) fitrah.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Zar‘ah, telah menceritakan kepada kami Shafwān ibnu Shāliḥ ad-Dimasyqī, telah menceritakan kepada kami al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muḥammad, telah menceritakan kepadaku seseorang yang mendengar Abul-‘Aliyyah ar-Rabbānī menceritakan hadis berikut dari Ubay ibnu Ka‘b yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang makna al-Ḥusnā ini, maka beliau s.a.w. menjawab:

الْحُسْنَى: الْجَنَّةُ

Al-Ḥusnā ialah surga.

Firman Allah s.w.t.:

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى

maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (al-Lail: 7).

Menurut Ibnu ‘Abbās, makna yang dimaksud ialah kebaikan. Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah surga. Sebagian ulama Salaf mengatakan, termasuk pahala kebaikan ialah mengerjakan kebaikan lagi sesudahnya, dan termasuk balasan keburukan ialah mengerjakan keburukan lagi sesudahnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ

dan adapun orang-orang yang bakhil. (al-Lail: 8).

Maksudnya kikir dengan apa yang ada pada sisi (milik)nya.

وَ اسْتَغْنَى

dan merasa dirinya cukup. (al-Lail: 8).

‘Ikrimah telah mengatakan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa makna ayat ialah kikir dengan hartanya dan merasa dirinya telah cukup, tidak memerlukan Allah s.w.t. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim.

وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى

dan mendustakan pahala yang terbaik. (al-Lail: 9)

Yakni adanya balasan pahala di negeri akhirat.

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (al-Lail: 10).

Yaitu untuk menuju ke jalan keburukan, sebagaimana pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَ نُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَ أَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَ نَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur’ān) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (al-An‘ām: 110).

Dan ayat-ayat lain yang semakna cukup banyak yang semuanya menunjukkan bahwa Allah s.w.t. membalas orang yang berniat untuk mengerjakan kebaikan dengan memberinya kekuatan untuk mengerjakannya, dan barang siapa yang berniat akan melakukan keburukan, Allah akan menghinakannya; dan semuanya itu berdasarkan takdir yang telah ditetapkan. Juga hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian ini banyak, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diceritakan oleh Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Alī ibnu ‘Iyāsy, telah menceritakan kepadaku al-‘Aththāf ibnu Khālid, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari penduduk Bashrah, dari Thalḥah ibnu ‘Abdullāh ibnu ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Abū Bakar ash-Shiddīq, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya bercerita bahwa ayahnya pernah mendengar Abū Bakar r.a. bercerita bahwa ia bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, apakah kita beramal berdasarkan ketetapan yang telah diputuskan ataukah berdasarkan suatu urusan yang baru dimulai?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

بَلْ عَلَى أَمْرٍ قَدْ فُرِغَ مِنْهُ

Tidak demikian, sebenarnya kita beramal berdasarkan apa yang telah dirampungkan keputusan (takdir)-nya.

Abū Bakar bertanya: “Lalu untuk apakah beramal itu, wahai Rasūlullāh?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

Setiap orang dimudahkan untuk melakukan apa (bakat) yang dia diciptakan untuknya.

Riwayat ‘Alī ibnu Abī Thālib r.a.

Imam Bukhari mengatakan telah menceritakan kepada kami Abū Na‘īm, telah menceritakan kepada kami Sufyān, dari al-A‘masy, dari Sa‘īd ibnu ‘Ubaidah, dari Abū ‘Abd-ir-Raḥmān as-Sulamī, dari ‘Alī ibnu Abī Thālib r.a. yang mengatakan, bahwa ketika kami sedang bersama Rasūlullāh s.a.w. di Baqī‘-ul-Gharqad saat mengebumikan jenazah, maka beliau s.a.w. bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ

Tiada seorang pun dari kalian melainkan telah ditetapkan kedudukannya di surga dan kedudukannya di neraka.

Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasūlullāh, apakah itu berarti kita bertawakal saja? Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

اِعْمَلُوْا أَفَكُلُّ عَامِلٍ مُيَسَّرٌ لِعَمَلِهِ الَّذِيْ خُلِقَ لَهُ

Berbuatlah, maka tiap-tiap orang itu dimudahkan untuk mengerjakan apa yang dia diciptakan untuknya.

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membaca firman-Nya:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى، وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (al-Lail: 5-7)

Sampai dengan firman-Nya:

لِلْعُسْرَى

(jalan) yang sukar). (al-Lail: 10).

Hal yang sama telah diriwayatkan melalui jalur Syu‘bah dan Wakī‘, dari al-A‘masy dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imām Bukhārī meriwayatkannya dari ‘Utsmān ibnu Syaibah, dari Jarīr, dari Manshūr, dari Sa‘īd ibnu ‘Ubaidah, dari Abū ‘Abd-ur-Raḥmān, dari ‘Alī ibnu Abī Thālib r.a. yang telah mengatakan bahwa ketika kami sedang mengebumikan jenazah di Baqi‘-ul-Gharqad, maka datanglah Rasūlullāh s.a.w., lalu beliau duduk dan kami pun duduk pula di sekitarnya, sedangkan di tangan beliau terdapat sebuah tongkat kecil, lalu ia mengetukkan tongkatnya dan bersabda: “Tiada seorang pun dari kami atau tiada suatu diri pun yang bernyawa, melainkan telah dipastikan kedudukannya dari surga dan nerakanya, atau terkecuali telah tercatat apakah dia orang yang celaka ataukah orang yang berbahagia.”

Maka ada seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasūlullāh, bolehkah kita menyerahkan diri kita kepada apa yang telah ditetapkan dan kita meninggalkan amal (berusaha)? Mengingat siapa di antara kita yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, dia pasti akan menjadi golongan orang-orang yang berbahagia. Dan siapa pun dari kita yang telah ditakdirkan menjadi orang-orang yang celaka, maka pastilah dia termasuk orang-orang yang celaka?” Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَ أَمَّا أَهْلُ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُوْنَ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاءِ

Adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, maka dimudahkan bagi mereka untuk mengamalkan perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang celaka, maka dimudahkan bagi mereka melakukan perbuatan orang-orang yang celaka.

Kemudian beliau s.a.w. membaca firman-Nya:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى، وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى، وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى.

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (al-Lail: 5-10).

Jamaah lainnya telah mengetengahkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Sa‘īd ibnu ‘Ubaidah dengan sanad yang sama.

Riwayat ‘Abdullāh ibnu ‘Umar r.a.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Raḥmān, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, dari ‘Āshim ibnu ‘Ubaidillāh yang mengatakan bahwa ia telah mendengar Sālim ibnu ‘Abdullāh menceritakan hadis berikut dari Ibnu ‘Umar menceritakan bahwa ‘Umar pernah bertanya kepada Rasūlullāh: “Wahai Rasūlullāh, bagaimanakah menurut engkau tentang apa yang telah dirampungkan ketetapannya ataukah sebagai suatu hal yang permulaan atau baru dibuat?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

فِيْمَا قَدْ فَرَغَ مِنْهُ، فَاعْمَلْ يَا بْنَ الْخَطَّابِ. فَإِنَّ كُلًّا مُيَسَّرٌ، أَمَّا مَنْ كَانَ أَهْلَ السَّعَادَةِ فَإِنَّهُ يَعْمَلُ لِلسَّعَادَةِ وَ أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَإِنَّهُ يَعْمَلُ لِلشَّقَاءِ

Kita beramal menurut ketetapan yang telah dirampungkan, maka beramallah engkau, hai Ibnul Khaththab, karena sesungguhnya tiap orang itu dimudahkan. Adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, maka sesungguhnya dia akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang celaka, maka dia akan mengerjakan perbuatan orang-orang celaka.

Imām Tirmidzī meriwayatkan hadis ini di dalam Bab “Takdir” dari Bandār, dari Ibnu Mahdī dengan sanad yang sama, dan Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak ḥasan berarti shaḥīḥ.

Hadis lain melalui riwayat Jābir.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yūnus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku ‘Amr ibn-ul-Ḥārits, dari Abuz-Zubair, dari Jābir ibnu ‘Abdullāh yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya: “Wahai Rasūlullāh, apakah kita beramal berdasarkan keputusan yang telah dirampungkan ketetapannya, ataukah berdasarkan suatu urusan yang baru?” Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Berdasarkan keputusan yang telah dirampungkan ketetapannya.” Surāqah bertanya: “Kalau begitu, apa gunanya kita beramal?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

كُلُّ عَامِلٍ مُيَسَّرٌ لِعَمَلِهِ

Tiap orang yang beramal dimudahkan untuk mengerjakan amalnya.

Imām Muslim meriwayatkan dari Abuth-Thāhir, dari Ubay ibnu Wahb dengan sanad yang sama.

Hadis lain.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada Yūnus, telah menceritakan kepada kami Sufyān, dari ‘Amr ibnu Dīnār, dari Thalq ibnu Ḥabīb, dari Basyīr ibnu Ka‘b al-‘Adawī yang menceritakan bahwa pernah ada dua orang pemuda bertanya kepada Nabi s.a.w. keduanya mengatakan: “Wahai Rasūlullāh, apakah kita beramal menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh qalam takdir di zaman azali, ataukah berdasarkan urusan yang baru?” Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak demikian, sebenarnya kita beramal berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh qalam takdir yang telah kering dan menunggu pelaksanaannya.” Keduanya bertanya: “Lalu kalau demikian apa gunanya kita beramal?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

اِعْمَلُوْا فَكُلُّ عَامِلٍ مُيَسَّرٌ لِعَمَلِهِ الَّذِيْ خُلِقَ لَهُ

Beramallah kalian, maka tiap orang yang beramal akan dimudahkan kepada amalnya yang dia telah diciptakan untuknya.

Maka keduanya berkata: “Kalau begitu, kami akan beramal dengan sungguh-sungguh.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *