Surah al-Lail 92 ~ Tafsir al-Azhar (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Lail 92 ~ Tafsir al-Azhar

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى. وَ إِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَ الْأُولَى. فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى. لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى. الَّذِيْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى.

092:12. Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,
092:13. dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia.
092:14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.
092:15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
092:16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

 

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menunjukkan jalan.” (ayat 12). Ayat ini adalah penguat dari yang telah diterangkan sebelumnya. Artinya tiadalah patut manusia itu berjalan menuju kesukaran. Bakhil dan merasa cukup sendiri lalu mengurung diri dan tiap datang seruan kebaikan didustakan. Sebab Tuhan telah memberikan tuntunan-Nya. Tuhan telah mengutus Rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada kurangnya lagi. Dan di dalam diri sendiri sudah disediakan Allah alat penimbang, yaitu akal.

Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.” (ayat 13). Tuhan menjelaskan hal ini, supaya manusia jangan lupa bahwa manusia tidaklah mempunyai kekuasaan berbuat sesuka hati dalam dunia fanā’ ini. Manusia mesti patuh, karena akhirat dan dunia itu Allah Yang Maha Menguasainya. Lebih baiklah tunduk daripada berkeras kepala.

Maka Aku ancam kamu dengan api yang bernyala-nyala.” (ayat 4). “Yang tidak akan terpanggang padanya, kecuali orang yang paling celaka.” (ayat 15). Lalu dijelaskan pada ayat berikutnya siapakah orang yang paling celaka itu, yaitu: “Yang mendustakan dan membelakang.” (ayat 16).

Bersualah dalam ayat ini dua perangai yang menyebabkan orang jadi paling celaka. (1) mendustakan, (2) membelakang. Arti mendustakan ialah dia tidak mau menerima ajakan kebenaran itu. Dipandangnya semua omong kosong belaka. Kemudian itu dia membelakang, punggungnya yang diberikannya, karena sombongnya. Hanya dipandangnya hina saja Rasūlullāh yang menyampaikan petunjuk-petunjuk Tuhan. Ini yang diungkap pada pepatah Melayu: “Bersutan di mata, beraja di hati.” Seakan-akan dia merasa dirinya lebih tinggi dan Rasul-rasul itu hina belaka. Dan sabda-sabda Tuhan itu omong kosong, dan mereka benar sendiri! Sebab itu sudah sepantasnyalah api neraka yang bernyala-nyala tempat mereka.

وَ سَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهُ يَتَزَكَّى. وَ مَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزَى. إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى. وَ لَسَوْفَ يَرْضَى

092:17. Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
092:18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
092:19. padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
092:20. tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
092:21. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.

 

Dan akan dijauhkan dia.” (pangkal ayat 17). Artinya akan dijauhkanlah api neraka yang bernyala-nyala itu: “Daripada orang yang paling bertakwa.” (ujung ayat 17). Api itu tidak akan didekatkan, melainkan akan dijauhkan dari orang-orang bertakwa, yaitu yang selalu berbakti kepada Allah. Yaitu tidak putus hubungannya dengan Tuhan dan terpelihara. Karena hidupnya telah disediakannya menempuh jalan yang benar. “Yang memberikan hartanya karena ingin membersihkan.” (ayat 18). Bukti yang utama dari bakti ialah suka memberikan harta, suka mengeluarkannya. Jangan bakhil, jangan kedekut dan kikir. Diri sendiri dibersihkan daripada penyakit kotor pada jiwa: yaitu penyakit bakhil. Dan harta itu sendiri pun dibersihkan dengan jalan mengeluarkan bahagian yang patut diterima oleh fakir dan miskin. Meskipun di Makkah belum turun peraturan beberapa zakat meski dibayar, berapa yang satu nishab dalam edaran satu tahun (ḥaul), namun sejak dari masa Makkah itu pendidikan jiwa kepada bederma telah dilatih. “Padahal tidak ada padanya budi seseorang yang hendak dibalas.” (ayat 19).

Artinya seketika dia mengeluarkan sebahagian dari harta-bendanya untuk pembantu orang lain, benar-benar timbul dari hati yang suci. Bukanlah dia mau mengeluarkan harta karena dahulu orang yang sekarang diberinya itu pernah berjasa kepadanya. Dan kalau tidak karena membalas jasa, tidaklah hartanya akan dikeluarkannya. Dan jangan pula memberi karena mengharap lain hari orang itu akan membalas jasa pula. Hendaklah karena Allah semata-mata. Inilah orang yang dikatakan paling bertakwa. “Melainkan hanya karena mengharapkan wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi.” (ayat 20). Orang yang mengeluarkan hartabenda untuk mensucikan batin, tidak mengharap balasan manusia, hanya mengharapkan Ridhā Allah, itulah orang yang akan dijauhkan daripada api neraka yang bernyala-nyala itu.

Dan akan Ridhālah Dia.” (ayat 21). Dengan ayat penutup ini Tuhan telah menegaskan bahwa amal orang itu diterima Tuhan, Tuhan Ridhā.

Sebagaimana telah kita ketahui dalam beberapa ayat di dalam al-Qur’ān, Ridhā Tuhan adalah puncak nikmat yang akan dicapai oleh hamba Allah di dalam syurga kelak. Bahkan tidaklah ada artinya syurga itu kalau tidak disertai Ridhā Tuhan. Dan ridhā Tuhan itu adalah balasan yang sudah sepantasnya bagi seorang hamba Allah yang telah menyediakan dirinya menyambut dan mengerjakan perintah-perintah Tuhan yang telah dipimpinkan oleh Rasul-rasul.

Ibnu Jarīr menafsirkan ayat: “Dan akan Ridhālah Dia.” Artinya: “Allah akan ridhā kepada orang yang telah memberikan hartanya ini untuk menunaikan hak Allah ‘azza wa jalla. Sebab dia telah menzakatkan, telah membersihkan harta dan hatinya, maka dia akan menerima ganjarannya di akhirat kelak, sebagai ganti barang yang dikeluarkannya di dunia itu setelah dia bertemu dengan Tuhan kelak. Maka di dalam ayat ini tersimpanlah sebuah janji yang mulia, bahwa si hamba itu akan mendapat sekalian yang diinginkannya dengan sempurna dan indahnya.”

Menurut Ibnu Katsīr dalam tafsirnya, bukan seorang dua ahli tafsir mengatakan bahwa ayat yang jadi pimpinan umum bagi seluruh orang yang beriman ini telah bertemu pada diri sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang amat utama, yaitu Abū Bakar Shiddīq. Bahkan ada juga orang mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan menuju Abū Bakar adalah sama pendapat seluruh ahli tafsir. Dia membenarkan dan menerima seruan Rasūl dengan jujur, dengan tidak ada sisa keraguan barang sedikit pun sejak semula dia memeluk Islam. Dia seorang yang takwa kepada Allah dan seorang yang sangat pemurah. Hartabendanya dikeluarkannya untuk menyatakan taat kepada Allah dan untuk membela junjungannya Nabi kita Muḥammad s.a.w.. Tidak diperhitungkannya berapa dinarnya habis, berapa dirhamnya keluar untuk mengharapkan wajah Allah. Dan perbuatannya itu sekali-kali bukan karena membalas jasa orang kepadanya, melainkan dialah yang berjasa kepada orang. Seluruh kepala-kepala kabilah merasakan bekas baik budinya. Sehingga ‘Urwah bin Mas‘ūd kepala kabilah Tsaqīf dalam Perdamaian Hudaibiyah mengakui terus-terang bahwa hatinya sudi memeluk Islam, tetapi jangan hendaknya karena segan kepada Abū Bakar, karena dia merasa berhutang budi kepada Abū Bakar. Dan dialah yang membeli Bilāl yang telah disiksa oleh pengulunya Umaiyah bin Khalaf ketika Bilāl dijemur di atas pasir panas. Dan setelah dibelinya langsung dimerdekakaknnya. Padahal di saat itu kaum Muslimīn masih sangat sengsara karena aniayaan orang Quraisy. Dia yang menemani Nabi s.a.w. seketika hijrah ke Madinah. Dan sebelum itu dia pula yang terlebih dahulu menyatakan saya percaya seketika Nabi mengatakan bahwa tadi malam beliau Isrā’ dan Mi‘rāj. Sehingga Nabi s.a.w. pernah mengatakan:

إِنَّ مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَىَّ فِيْ صُحْبِتِهِ وَ مَالِهِ أَبَا بَكْرٍ، وَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلًا لَأَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ، إِلَّا خُلَّةَ الْإِسْلَامِ

Sesungguhnya manusia yang paling menyenangkan kepadaku karena bersahabat dengan dia beserta hartanya ialah Abū Bakar. Kalau ada dalam kalangan ummatku orang yang akan kujadikan khalīl (teman sangat karib), Abū Bakarlah yang akan aku ambil kecuali pertemanan Islam. (Riwayat Bukhārī dan Muslim)

Sungguhpun ahli-ahli tafsir telah menyatakan bahwa ayat-ayat ini menyatakan keperibadian Abū Bakar, namun dia bukanlah berarti tertutup untuk yang lain; menegakkan semangat dermawan, takwa kepada Allah dan menyukai kebaikan. Dan melatih diri supaya terjauh daripada perangai bakhil dan merasa diri cukup dan mendustakan kebaikan. Moga-moga kita semua pun dapat menurutinya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *