Surat ke-92, 21 Ayat
Diturunkan di Makkah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى. وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى. وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى. إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى.
092:1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
092:2. dan siang apabila terang benderang,
092:3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
092:4. sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
“Demi malam, apabila dia kelam.” (ayat 1). Untuk menarik perhatian lagi bagaimana pentingnya malam bagi kehidupan manusia, untuk istirahat, untuk zikir dan tafakkur; “Demi siang, apabila dia terang.” (ayat 2). Apabila malam telah habis, fajar mulai menyingsing, kemudian diiringi oleh terbitnya matahari, maka hari pun sianglah. Dalam pergantian siang dan malam itulah manusia hidup, sebagaimana yang telah diterangkan juga pada Surat-surat yang lain. Lebih jelas lagi pembahagian itu dalam Sūrat 78, An-Naba’.
“Demi yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan.” (ayat 3). Atau yang pada mulanya sekali telah menciptakan Ādam dan Hawā. Daripada kedua laki-laki dan perempuan itulah berkembang manusia di permukaan jagat ini, menjadi bangsa-bangsa, suku bangsa dan perkauman.
“Sesungguhnya usaha kamu itu bermacam-macam.” (ayat 4). Berkembang-biaklah laki-laki dan perempuan di muka bumi ini, hidup dalam pergantian di antara siang dan malam. Di waktu siang mereka berjalan, berusaha dan bekerja mengambil manfaat yang telah disediakan Allah. Usaha itu bermacam-macam menurut pembawaan, bakat dan menurut yang dipusakai dari lingkungan orang tua atau iklim tempat tinggal. Ada yang menjadi petani, saudagar, menjadi pelaksana pemerintahan dalam suatu masyarakat yang teratur dan ada pula yang menjadi penjaga keamanan Negara. Bermacam-macam, bersilang siur mata usaha manusia. Semuanya penting, yang satu berkehendak kepada yang lain. Maka tidaklah ada pekerjaan atau usaha yang hina, bahkan semuanya mulia dan baik, asal dilaksanakan menurut garis-garis yang telah ditentukan Tuhan, yaitu mengambil yang manfaat dan menjauhi yang mudharat.
Ketahuilah bahwa segala usaha manusia adalah mempunyai dua tujuan, yaitu keduanya sama pentingnya, dan kait-berkait di antara satu dengan yang lain. Usaha yang kita hadapi niscaya berdasar khidmat kepada sesama manusia. Asal khidmat kepada sesama manusia itu kita sadari, niscaya sesama manusia pun menghargai usaha kita itu. Sebab itu tidaklah ada satu macam usaha yang hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Dan tidak pula ada usaha yang hanya untuk kepentingan orang lain dan diri sendiri hanya mengerjakan saja dengan tidak mendapat faedah.
Diambil satu misal, yaitu seorang pengarang. Asal karangannya itu disengaja untuk kemuslihatan orang banyak, buku itu akan dihargai bahkan dibeli orang. Maka si pengarang akan mendapat untung dari penjualan itu. Bertambah naik dan bagus mutu karangannya, bertambah naik pula penghargaan masyarakat, dan si pengarang pun bertambah dapat untung pula. Sebab itu maka keuntungan masyarakat dan peribadi tidaklah dapat dipisahkan. Sebab hati dan perasaan menyukai yang baik, menjauhi yang buruk, samalah di antara peribadi dengan masyarakat; sebab keduanya sama-sama diciptakan Tuhan daripada laki-laki dan perempuan.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى. وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى. وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى. وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى. وَ مَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى.
092:5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa.
092:6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
092:7. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
092:8. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
092:9. serta mendustakan pahala yang terbaik,
092:10. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
092:11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
Di ayat 10 diterangkan bahwa usaha manusia di dalam hidup bermacam-macam, tidak sama. Tetapi meskipun usaha tidak sama, namun yang menjadi pokok utama ialah sikap hidup itu sendiri:
“Adapun orang yang memberi dan bertakwa.” (ayat 5). “Dan mengakui akan adanya kebaikan.” (ayat 6). “Maka akan Kami mudahkan dia ke jalan yang mudah.” (ayat 7).
Apa saja mata usahamu, entah saudagar atau tukang rumput. Jadi Menteri atau jadi supir Menteri, jadi nelayan naik pecalang mengharung lautan atau jadi nahkoda kapal berlayar menghadang gelombang di samudera luas, jadi petani atau jadi buruh, semuanya itu adalah lumrah, karena usaha memang bermacam-macam. Maka di dalam usaha yang bermacam-macam itu, Tuhan Allah memberikan pedoman untuk keselamatan dirimu. Di dalam ketiga ayat ini bertemu tiga syarat yang harus kamu penuhi: (1) Suka memberi kepada sesama manusia, suka berderma, menolong orang yang susah. Itu adalah alamat hati terbuka. (2) Hendaklah takwa selalu kepada Tuhan, pelihara hubungan dengan Tuhan pada malam dan pada siang, (3) Mengakui adanya nilai-nilai yang baik dalam dunia ini, yang terpuji oleh sesama manusia. Kalau ketiganya ini telah dipegang teguh, pemurah, takwa dan menjunjung tinggi kebaikan, diberilah jaminan atau janji oleh Tuhan: “Maka akan Kami mudahkan dia ke jalan yang mudah.” (ayat 7).
Artinya akan dilapangkan Allah dada menghadapi perjalanan hidup itu; teguh pertalian jiwa dengan sesama manusia dan teguh pula pertalian jiwa dengan Allah. Dan ilham atau petunjuk akan selalu diberikan oleh Tuhan, sehingga segala langkah maju di dalam hidup itu tidak ada yang sukar. Artinya meskipun ada kesukaran terbelintang di hadapan, akan ada-ada saja petunjuk Tuhan untuk mengatasi kesukaran itu.
Melihat kepada jalan yang digariskan Allah dengan ketiga ayat ini, kita diberi peringatan bahwa kekayaan batin sejati ialah shilatur-raḥmi dengan masyarakat, takwa kepada Allah dan cinta akan kebaikan. Bukanlah kekayaan itu rumah gedung bagus, kendaraan indah mengkilap, pangkat tinggi membumbung, disegani orang ke mana pergi. Itu belum tentu kekayaan, kalau ketiga kekayaan batin tadi tidak ada. Dan ini dijelaskan pada ayat-ayat yang selanjutnya:
“Dan adapun barang siapa yang bakhil dan merasa segala cukup.” (ayat 8).
“Dan mendustakan adanya kebaikan.” (ayat 9). Di sini terdapat pula tiga hal yang akan membawa celaka: (1) Bakhil, yaitu tidak mau mengeluarkan harta-benda untuk menolong orang yang patut ditolong. Tidak mau mempergunakan harta untuk berbuat amal jariah. Sebab hidupnya telah dipukau oleh harta itu sendiri. Orang mengumpul harta ialah untuk dikuasainya. Tetapi si bakhil mengumpulkan harta untuk dikuasai oleh harta itu sendiri, sehingga hatinya jadi tertutup, tidak mengenal kasih sayang, tidak mengenal shilatur-raḥmi. (2) Merasa segala cukup kita pakai menjadi arti dari kalimat istaghnā. Yaitu orang-orang yang mengurung diri karena takut kena! Kadang-kadang dia kurang senang menerima pertolongan orang, karena takut kalau-kalau nanti terpaksa membalas budi dengan menolong pula. Sebagai kelanjutan dari keruntuhan jiwa dengan penyakit itu, ialah datangnya penyakit ketiga, yaitu (3) Mendustakan adanya kebaikan. Dia tidak mempercayai bahwa di dunia ini ada nilai-nilai kebaikan. Kebaikan hubungan sesama manusia dan kebaikan hubungan dengan Allah, dan kebaikan yang ditemui di dunia ini diharapkan akan ditemui pula di akhirat.
Di ayat 6 dan ayat 9 bertemu perkataan al-Ḥusnā yang kita artikan kebaikan. Menurut tafsir al-Qasyanī mengakui betapa pentingnya al-Ḥusnā atau kebaikan itu ialah “melakukan dalam kenyataan apa yang telah dirasakan dalam hati.” Artinya bahwa semua orang memang merasakan dalam hati bahwa berbuat baik memang baik. Tetapi tidaklah semua orang sanggup mengerjakannya. Walaupun orang yang bakhil itu sendiri mengakui dalam hatinya bahwa berbuat baik adalah satu budi yang luhur, namun dia tidak mau membuatnya dalam kenyataan, karena sudah jadi “penyakit” dalam jiwanya. Sebab itu maka perbuatannya ialah mendustakan! “Maka akan Kami mudahkan dia ke jalan yang sukar.” (ayat 10). Artinya, setiap dicoba melangkah, hanyalah kesukaran jua yang bertemu, yaitu kesukaran kenaikan jiwa.
يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Dijadikan Tuhan dadanya sangat sempit, seperti orang yang mencoba hendak naik ke langit.”
Syaikh Muḥammad ‘Abduh menulis arti mudahnya ialah menuju kesukaran; tiap melangkah bukan membawa naik, melainkan membawa jatuh, tertutup jalan kemanusiaan dan jatuh derajat rendah kebinatangan, sampai bergelimang dengan dosa-dosa: “Dan tidaklah hartanya akan dapat menolong dia, jika dia terjerumus.” (ayat 11). Hendak bangkit kembali dari dalam gelimangan dosa, atau kejahatan meruah karena bakhil itu, tidaklah dapat ditebus dengan harta yang selama ini disimpan itu. Karena sudah terlambat. Fikir dahulu pendapatan sesal kemudian tak ada lagi gunanya.