بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
1. Sesunggubnya Kami telah memberikan engkau mata air surga yang berlimpah.
Kawtsar berasal dari akar katsara, yang berarti ‘melebihi dalam jumlah, banyak’, dan juga ‘bertambah, berlipat atau berkembang’. Secara tradisional dijelaskan bahwa al-Kawtsar adalah sebuah mata air di surga, mata air yang dialiri oleh sungai-sungai cinta antara Allah dan cahaya Muḥammad, mata air yang dapat kita minum kalau kita melangkah ke sana.
Ibaratnya, al-Kawtsar adalah keadaan di mana tidak bisa lagi ditambah lebih dari itu. Pada keadaan itu kita akan merasakan nikmat yang tak terpisahkan dari mengetahui Wujud Yang Mahatunggal. Kita akan benar-benar terliputi oleh pengetahuan itu dan tak ada yang lebih mulia dari itu di alam eksistensi ini. Al-Kawtsar juga mengandung arti samudera rahmat yang tak bertepi, dan tentu saja tidak ada yang melampaui hal yang tak terukur. Kemuliaan yang terakhir ini adalah al-Kawtsar.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ
2. Maka salatlah untuk Tuhan dan Pemeliharamu, dan berkorbanlah.
Wa anḥar (dan berkorbanlah) tidak bisa dipahami pada nilai permukaan saja. Definisi yang biasanya diberikan untuk anḥar—penyembelihan atau pengorbanan— berasal dari kata naḥara, yang berarti ‘memotong tenggorokan, menyembelih’.
Yawm-un-Naḥr adalah Hari Kurban (10 Zulhijjah), dan pada hari itu kita melakukan pengorbanan dengan memotong tenggorokan hewan korban pada urat merih, melepaskan rohnya sebagai penghargaan kepada Tuhan Pemilik Roh dan Tuhan Alam Roh. Kalau kita melihatnya sekaitan dengan perbuatan ini, nahr bisa juga berarti mengorbankan cinta kita untuk memperoleh nama baik atau mengorbankan keinginan untuk mendapat penghargaan, pendek kata, mengorbankan apa pun yang sangat berharga bagi kita tapi berhubungan dengan nafs.
Naḥr juga lebih berkaitan dengan aspek lahir dan batin dari doa dalam salat, dan sifat halus dari salat yang berasal dari pengorbanan ini, ketimbang pengorbanan nyata itu sendiri.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
3. Sesungguhnya musuhmu adalah orang yang akan terputus dari keturunan.
Ayat ini berkenaan dengan individu yang, menurut tradisi kita, diketahui telah memfitnah Nabi s.a.w. dengan mengatakan bahwa beliau tidak mempunyai ahli waris atau anak laki-laki. Dikemukakan kepada Nabi bahwa anak laki-laki yang diakui musuh ini sebagai anak beliau, sebenarnya tidak dibapaki oleh beliau.
Maksudnya di sini adalah bahwa barang siapa meninggalkan Cahaya Ilahiah berarti memutuskan diri dari cahaya itu. Orang yang menyangkal kebenaran bahwa tidak ada cara untuk hidup dan bertahan selain melalui ketundukkan kepada Sang Maha Pemelihara Yang Tunggal maka ia terputus dari sungai itu, dari mata air yang menopang kehidupan. Untuk alasan itulah maka kita berdoa, ‘Semoga Allah mengumpulkan kita di telaga al-Kawtsar’. Telaga al-Kawtsar dapat dirasakan di sini dan saat ini, karena ia sebenarnya adalah keadaan yang ditinggikan dan suci yang hidup di dalam hati. Telaga itu diterangi oleh cahaya dari manusia yang paling diberkahi, Sayyidina Muḥammad, melalui kecintaan yang kuat kepadanya dan melalui upaya keras dan tulus untuk meniru sunnahnya.