Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 3.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.
108:1. Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu ni‘mat yang banyak.
108:2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
108:3. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
Surah ini khusus mengenai Rasūlullāh s.a.w. seperti halnya surah adh-Dhuḥā dan surah Alam Nasyraḥ. Dalam surah ini, Allah hendak menghilangkan kesusahan hati Rasūlullāh dan menjanjikan kebaikan untuk beliau, mengancam musuh-musuh beliau dengan keterputusan, dan mengarahkan beliau untuk menempuh jalan kesyukuran.
Oleh karena itu, surah ini menggambarkan salah satu bentuk kehidupan dakwah dan kehidupan juru dakwah pada masa-masa awal di Makkah. Suatu lukisan tentang tipu-daya dan gangguan terhadap Nabi s.a.w. dan dakwah yang beliau lakukan. Lukisan bagaimana Allah memberikan perlindungan secara langsung kepada hamba-Nya dan golongan minoritas yang beriman kepada-Nya. Juga lukisan bagaimana Allah memantapkan dan menenteramkan hati beliau, memberikan janji yang indah kepada beliau, dan menakut-nakuti serta mengancam musuh-musuh beliau.
Surah ini juga menggambarkan hakikat petunjuk, kebaikan, keimanan, kesesatan, keburukan, dan kekafiran. Kelompok yang pertama banyak, melimpah, dan berkembang; sedang yang kedua sedikit, hina, dan terputus, meskipun orang-orang yang lalai menganggap tidak seperti ini dan tidak seperti itu.
Diceritakan bahwa orang-orang Quraisy yang bodoh-bodoh itu selalu melakukan tipu-daya, kejahatan, penghinaan, dan pelecehan terhadap Rasūlullāh s.a.w. dan dakwah beliau. Tujuannya adalah untuk menjauhkan masyarakat agar tidak mau mendengarkan kebenaran yang beliau bawa dari sisi Allah. Mereka itu antara lain al-‘Āsh bin Wā’il, ‘Uqbah bin Abī Mu‘īth, Abū Lahab, dan Abū Jahal. Mereka memaki Nabi s.a.w. sebagai orang yang terputus keturunannya, karena anak-anak beliau yang laki-laki meninggal dunia. Salah seorang dari mereka berkata: “Biarkan sajalah Muḥammad itu, nanti dia akan mati dengan tidak meninggalkan keturunan dan urusannya akan berakhir!”
Jenis tipu-daya yang hina dan rendah ini beliau jumpai di lingkungan ‘Arab yang terus dikumandangkan dan mendapat sambutan anak-anak. Hal yang menyakitkan ini selalu dilakukan musuh-musuh dan penentang-penentang Rasūlullāh s.a.w. untuk menggoyang dakwah beliau. Hal ini sangat menyakitkan dan menyusahkan hati beliau.
Karena itulah, lantas diturunkan surah ini untuk mengusap hati beliau dengan kasih-sayang dan keteduhan. Juga untuk menetapkan hakikat kebaikan yang kekal dan akan terus berkembang yang telah dipilih Tuhan untuknya, dan hakikat keterputusan yang ditetapkan bagi musuh-musuh beliau.
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ.
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu ni‘mat yang banyak” (al-Kautsar: 1).
Al-Kautsar adalah kata bentukan dari kata katsrah, yang berarti “banyak” dan mutlak “tak terbatas”. Lafal ini mengisyaratkan kepada ma‘na sesuatu yang merupakan kebalikan dari apa yang dikatakan oleh orang-orang bodoh itu. “Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu ni‘mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” Apabila seseorang hendak menelusuri ni‘mat yang banyak diberikan Allah kepada Nabi-Nya ini niscaya dia akan menemukannya kalau ia mau memperhatikan dan merenungkannya.
Ia akan menjumpai ni‘mat itu pada nubuwwah “kenabian” dalam berhubungan dengan kebenaran dan wujud yang besar, ya‘ni wujud yang tidak ada wujud selainnya dan tidak ada sesuatu selainnya di dalam hakikat. Nah, apakah kiranya yang hilang dari orang yang bertemu dengan Allah?
Ni‘mat itu akan ia jumpai pada al-Qur’ān yang diturunkan kepada Rasūlullāh. Satu surah saja dari al-Qur’ān sudah merupakan ni‘mat yang sangat banyak dan tak terhingga. Juga merupakan sumber yang terus melimpah tanpa habis-habisnya.
Ia akan menjumpai ni‘mat itu di alam tertinggi yang memberi shalawat kepada beliau. Juga di kalangan manusia di bumi yang memberi shalawat kepada beliau, baik di bumi maupun di langit. Ni‘mat yang banyak itu pun akan dijumpainya pada sunnah Allah yang membentang selama dunia berputar dan di seluruh penjuru dunia, pada berjuta-juta orang yang mengikuti beliau, menyebut nama beliau, mencintai biografi beliau, dan mengenang beliau hingga hari kiamat.
Selain itu, ia juga akan menjumpai ni‘mat yang besar itu pada kebaikan yang banyak dan melimpah kepada manusia dan kemanusiaan pada semua generasi. Hal ini disebabkan oleh beliau dan melalui jalan beliau, baik pada orang-orang yang mengetahui kebaikan ini lantas beriman kepada beliau maupun pada orang-orang yang tidak mengetahuinya tetapi mendapatkan limpahannya.
Ia pun akan menjumpainya pada simbol-simbol lahiriah yang beraneka macam, yang seakan dapat dicoba menghitungnya karena menganggapnya sedikit dan kecil.
Sesungguhnya, ni‘mat itu sangat banyak, melimpah-ruah tiada berkesudahan, tiada terhitung bagi orang yang mengerti, dan tiada terbatas wujudnya. Karena itu, nash ini membiarkannya tanpa batas, meliputi segala kebaikan yang banyak dan terus berkembang.
Terdapat beberapa riwayat dari jalan yang banyak yang mengatakan bahwa al-Kautsar adalah sebuah sungai di surga yang diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w. Tetapi, Ibnu ‘Abbās memberikan jawaban bahwa sungai ini hanyalah sebagian dari keni‘matan yang banyak yang diberikan kepada Rasūlullāh. Maka, keni‘matan itu sangat banyak. Hal ini lebih cocok dalam konteks dan kondisi tersebut.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ.
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2).
Setelah diberi penegasan tentang ni‘mat yang besar dan melimpah-ruah, yang jauh berbeda dengan apa yang dipersepsikan dan dikatakan oleh para penipu dan pemakar itu, maka Rasūlullāh s.a.w. diarahkan untuk mensyukuri ni‘mat sebagai hak yang pertama. Ya‘ni, hak keikhlasan dan memurnikan ‘ibādah hanya tertuju kepada Allah dengan menunaikan shalat dan menyembelih korban dengan ikhlas karena-Nya “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”, tanpa menghiraukan kemusyrikan orang-orang musyrik dan tanpa menyertai mereka di dalam per‘ibādatan atau di dalam menyebut nama selain Allah atas korban-korban mereka.
Pengulangan isyārat untuk menyebut nama Allah saja di dalam berkorban dan diharamkannya sembelihan untuk selain-Nya, serta diharamkannya sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama ini untuk membersihkan seluruh kehidupan dari penyakit-penyakit syirik dan bekas-bekasnya, bukan cuma membersihkan pandangan dan hati nurani saja. Maka Islam adalah agama kesatuan dengan seluruh ma‘na tauhid yang tulus, murni, dan jelas.
Karena itu, ia memberantas segala bentuk kemusyrikan dengan segala simbolnya dan di semua tempatnya. Ia memberantasnya dengan keras dan cermat, baik yang ada dalam hati maupun yang tampak dalam per‘ibādatan, ataupun yang merayap dalam tradisi kehidupan. Karena, kehidupan itu merupakan kesatuan antara yang lahir dan yang batin. Islam memperhatikannya secara total, tidak memilah-milahnya. Ia membersihkannya dari noda-noda syirik secara keseluruhan dan mengarahkan kehidupan ini untuk ber‘ibādah kepada Allah dengan tulus, jelas, dan indah. Hal ini sebagaimana kita lihat dalam masalah penyembelihan korban serta syiar ‘ibādah dan tradisi kehidupan lainnya.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.
“Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (al-Kautsar: 3).
Ayat pertama menetapkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bukanlah orang yang terputus dari ni‘mat Allah. Bahkan, beliau adalah orang yang mendapatkan ni‘mat yang sangat banyak. Dalam ayat ini, dikembalikanlah tipu-daya para pembuat tipu-daya itu kepada diri mereka sendiri. Allah s.w.t. menegaskan bahwa yang terputus itu bukan Nabi Muḥammad, melainkan mereka yang membenci dan memusuhi beliau.
Benarlah firman Allah, ancaman-Nya itu terbukti pada mereka. Sebutan dan nama baik mereka sudah terputus dan terlipat zaman, sedangkan nama Nabi Muḥammad makin berkibar dan menjulang. Sekarang, kita juga menyaksikan bukti dari firman Allah yang mulia ini, dalam bentuk yang jelas dan dengan gaung yang luas yang tidak pernah disaksikan oleh orang-orang yang mendengarnya tempo dulu.
Iman, kebenaran, dan kebaikan tidak mungkin terputus dan terpupus. Ia akan terus mengembangkan cabangnya dan memperdalam akarnya. Sedangkan kekufuran, kebatilan, dan keburukan itulah yang terputus, meskipun secara lahir tampak mengepakkan sayapnya, berkembang, dan berkuasa.
Sesungguhnya, tolok ukur Allah bukanlah tolok ukur manusia. Akan tetapi, manusia tertipu dan terpedaya, lalu mereka mengira bahwa tolok ukur merekalah yang menetapkan hakikat semua urusan. Di depan kita terdapat contoh yang logis dan kekal. Maka, di manakah orang-orang yang dahulu mengata-ngatai Nabi Muḥammad s.a.w. dengan perkataan mereka yang hina? Di manakah mereka yang hendak mendapatkan simpati di dalam hati masyarakat, dan beranggapan pada waktu itu bahwa mereka telah menghabisi dan memutuskan jalan hidup yang diajarkan beliau? Di mana mereka sekarang? Di mana sebutan dan reputasi mereka? Di mana bekas-bekas mereka? Dibandingkan dengan ni‘mat yang sangat banyak yang diberikan Allah kepada Rasūlullāh s.a.w., di manakah letak keni‘matan yang diberikan kepada meraka yang mengatakan bahwa beliau itu orang yang terputus dari ni‘mat Allah?
Dakwah kepada agama Allah, kebenaran, dan kebaikan tidak mungkin akan terputus dan pelakunya pun tidak akan terputus. Bagaimana mungkin akan terputus, sedangkan ia berhubungan dengan Allah Yang Hidup kekal azali dan abadi? Yang akan terputus hanyalah kekufuran, kebatilan, dan keburukan. Demikian pula dengan ahlinya, meskipun sementara waktu kelihatannya kesempatan mereka panjang dan akar-akarnya berkembang.
Maha Benar Allah Yang Maha Agung, dan berdustalah para penipu daya dan para pembuat makar.