Hati Senang

Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Sayyid Quthb (6/7)

Tafsir Sayyid Quthb - Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb   Penerbit: Gema Insani

Sampai di sini wahyu menceritakan perkataan bangsa jinn dengan lafal-lafal mereka secara langsung mengenai diri mereka. Kemudian beralih dari susunan ini dengan meringkas perkataan mereka yang dilakukan oleh Allah terhadap orang-orang yang istiqāmah di atas jalan menuju kepada-Nya. Perkataan itu hanya disebutkan kandungannya saja, bukan dengan lafalnya.

وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

Jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. Barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam ‘adzāb yang amat berat.” (al-Jinn: 16-17).

Allah mengatakan bahwa ini adalah perkataan bangsa jinn tentang kita, yang sisinya bahwa manusia itu apabila tetap berjalan lurus (istiqāmah) di jalan Allah, atau kalau orang-orang yang menyimpang dari kebenaran itu mau berjalan lurus di atas jalan Allah, maka Kami beri minum mereka dengan air yang banyak, yang menyegarkan mereka, sehingga melimpahlah rezeki dan kemakmuran atas mereka: “Untuk Kami beri cobaan kepada mereka.” Kami uji mereka, apakah mau bersyukur ataukah kufur.

Peralihan dari menceritakan perkataan bangsa jinn kepada penyebutan kandungan perkataan mereka dalam hal ini, menambah ketegasan petunjuknya untuk menisbatkan informasi tentang hal ini beserta janji itu kepada Allah s.w.t. Peralihan semacam ini banyak terdapat di dalam uslub al-Qur’ān, untuk menghidupkan ma‘na, menguatkannya, dan menambah kesadaran terhadapnya.

Peralihan ini mengandung sejumlah hakikat yang masuk di dalam pembentukan ‘aqīdah mu’min, dan menggambarkan kepadanya tentang jalannya berbagai urusan dan hubungan antara istiqāmahnya bangsa-bangsa atau masyarakat di atas satu jalan hidup yang menyampaikannya kepada Allah, dengan diberikanya kemakmuran dan sebab-sebabnya. Sebab yang pertama adalah diberikannya air yang segar secara cukup dan memadai. Karena kehidupan itu selalu berjalan dengan adanya air di semua lapangan. Kemakmuran senantiasa mengikuti keberadaan air yang penuh berkah ini hingga pada zaman sudah bertebarannya perindustrian sekarang. Memang pertanian bukan satu-satunya sumber rezeki dan kemakmuran, tetapi air merupakan unsur kemakmuran yang paling penting.

Hubungan sikap istiqāmah di jalan Islam dengan kemakmuran dan kemantapan di muka bumi ini merupakan realitas yang nyata. Dahulu bangsa ‘Arab yang berada di tengah-tengah padang pasir itu hidup dalam kekeringan dan kesempitan. Sehingga, setelah mereka bersikap istiqāmah di atas jalan Allah, maka dibukakanlah bagi mereka tanah yang penuh air, dan memancarlah di sana rezeki yang banyak. Kemudian mereka menyimpang dari jalan itu, lalu kebaikan-kebaikan mereka ditarik kembali. Mereka senantiasa berada dalam kesulitan dan kesempitan sehingga mereka kembali ke jalan Islam, kemudian Allah merealisasikan janji-Nya kepada mereka.

Apabila di sana terdapat bangsa-bangsa yang tidak istiqāmah di jalan Allah, kemudian mereka mendapatkan rezeki dan kekayaan maka mereka di‘adzāb dengan berbagai bencana lain pada manusianya, keamanannya, atau pada nilai dan harkat manusianya, yang melucuti ma‘na kemakmuran dari kekayaan dan harta-benda yang melimpah itu. Sehingga, berubahlah kehidupan di kalangan mereka menjadi kutukan yang sial atas kemanusiaan, kemuliaan, keamanan, dan ketenangan manusia (sebagaimana sudah dijelaskan dalam menafsirkan surah Nūḥ).

Hakikat kedua yang bersumber dari nash ayat ini adalah bahwa kemakmuran dan kesenangan itu adalah ujian dan cobaan dari Allah kepada hamba-hambaNya: “Kami uji kamu dengan keburukan (kesusahan) dan kebaikan (kesenangan) sebagai cobaan.” Bersabar atas kelapangan (kesenangan) dan melaksanakan kewajiban bersyukur atasnya serta berbuat kebajikan pada saat itu lebih berat dan lebih jarang terjadi daripada bersabar terhadap kesulitan. Berbeda dengan apa yang tampak pada pandangan yang tergesa-gesa. Maka, banyaklah orang yang sabar dan tabah terhadap kemelaratan, karena hatinya terkonsentrasi, sadar, dan teguh, selalu ingat kepada Allah, berlindung kepada Allah, dan memohon pertolongan kepada-Nya. Ketika sandaran-sandaran dalam kesulitan itu gugur, maka yang tersisa hanya tirainya. Sedangkan, kemakmuran dapat menjadikan orang lupa dan lalai, mengendorkan anggota badan, membius unsur-unsur perlawanan dalam jiwa, dan memberikan kesempatan untuk terpedaya oleh kesenangan dan terninabobokan oleh syaithān.

Ujian dengan keni‘matan itu senantiasa membutuhkan kesadaran yang terus-menerus untuk menjaganya dari fitnah. Ni‘mat harta dan rezeki sering menimbulkan fitnah yang berupa kesombongan dan tidak mau bersyukur, yang diiringi dengan isrāf “berlebih-lebihan” atau bākhil, yang keduanya merupakan bencana bagi jiwa dan kehidupan. Ni‘mat kekuatan sering menimbulkan fitnah yang berupa kesombongan dan keengganan bersyukur yang disertai dengan kezhāliman dan melampaui batas, dan menggunakan kekuatan untuk menindas kebenaran dan menindas orang lain, serta merusak sesuatu yang diperintahkan Allah untuk dihormati. Ni‘mat ketampanan dan kecantikan sering menimbulkan fitnah yang berupa kesombongan dan keangkuhan, dan menjerumuskan yang bersangkutan ke lembah dosa dan penyelewengan. Adapun ni‘mat kecerdasan sering menimbulkan fitnah yang berupa keterpedayaan dan menganggap remeh teerhadap orang lain, nilai-nilai, dan norma-norma. Hampir tidak ada kalimat yang sunyi dari fitnah, kecuali orang yang selalu ingat kepada Allah, lalu Allah melindunginya.

Hakikat ketiga, bahwa berpaling dari mengingat Allah, yang kadang-kadang terjadi karena terfitnah oleh kelapangan hidup, dapat menyebabkan yang bersangkutan terkena ‘adzāb Allah. Nash ini menyebutkan sifat ‘adzāb tersebut: “Niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam ‘adzāb yang amat berat.” Ayat ini mengisyaratkan adanya masyaqqat “kemelaratan” sejak yang bersangkutan naik ke tempat tinggi, maka ia menemui penderitaan setiap kali naik. Al-Qur’ān secara bertahap melambangkan kesulitan atau penderitaan itu dengan tindakan mendaki. Maka, pada satu tempat disebutkan:

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan, barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (al-An‘ām: 125).

Pada tempat lain disebutkan:

Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan.” (al-Muddatstsir: 17).

Ini adalah hakikat bersifat jasmani yang sudah dikenal. Adanya perlawanan kata di sini begitu jelas, antara fitnah karena kesenangan dan ‘adzāb yang berat ketika pembalasan!

 

Ayat ketiga dalam konteks ini mungkin menceritakan perkataan bangsa jinn, dan mungkin firman Allah secara orisinil:

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.

Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah” (al-Jinn: 18).

Ayat ini dalam kedua halnya (baik menceritakan perkataan jinn maupun firman Allah secara orisinil) menunjukkan bahwa sujud atau tempat-tempat sujud ya‘ni masjid-masjid adalah hanya kepada atau kepunyaan Allah. Maka, di sana haruslah ditegakkan tauḥīd yang murni, hilanglah semua bayang-bayang bagi seseorang, semua nilai, dan semua anggapan. Udaranya harus bersih dan ‘ubūdiyyah haruslah dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Sedangkan, menyeru kepada selain Allah itu mungkin dengan melakukan ‘ibādah kepada selain-Nya. Kadang-kadang dengan berlindung kepada selain Allah, dan kadang-kadang dengan menggantungkan hati kepada selain-Nya.

Apabila ayat ini dari perkataan jinn, maka ia merupakan penegasan terhadap perkataan mereka pada surah al-Jinn ayat 2: “Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami” di tempat khusus, yaitu tempat ‘ibādah dan sujūd. Jika ayat ini dari firman Allah Sendiri, maka ia merupakan pengarahan yang sesuai dengan perkataan golongan jinn dan pentauḥīdan mereka terhadap Allah, yang disebutkan pada tempatnya menurut uslub al-Qur’ān.

Demikian pula dengan ayat berikut:

وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.

Tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ‘ibādah), hampir saja jinn-jinn itu desak-mendesak mengerumuninya.” (al-Jinn: 19).

Ya‘ni, mereka berdesak-desakan mengerumuni Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau melakukan shalat dan berdoa kepada Tuhannya. Shalat itu pada asalnya berarti doa.

Apabila kalimat di atas dari perkataan jinn, maka ia menceritakan penuturan jinn tentang kaum musyrikīn ‘Arab yang berkumpul secara berkelompok-kelompok di sekitar Rasūlullāh s.a.w. ketika sedang mengerjakan shalat atau membaca al-Qur’ān sebagaimana disebutkan dalam surah al-Ma‘ārij ayat 36 dan 37: “Mengapakah orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu, dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok?” Mereka mendengarkan dengan merasa tercengang, tetapi tidak mau menerimanya. Atau, mereka berkumpul untuk mengganggu beliau, kemudian Allah melindungi beliau dari gangguan sebagaimana yang terjadi berulang kali. Perkataan jinn kepada kaumnya ini menunjukkan keheranan mereka terhadap kelakukan kaum musyrikīn itu!

Namun, apabila perkataan ini firman Allah Sendiri, maka ia menceritakan keadaan sekelompok jinn tersebut ketika mereka mendengarkan al-Qur’ān yang mengagumkan lalu mereka tertarik dan tercengang, dan bersesak-desakan mengerumuni Rasūlullāh s.a.w. Sebagian mereka menempel pada sebagian yang lain, sebagaimana bulu yang kempal dan tersusun rapi.

Barangkali kemungkinan yang kedua inilah yang lebih dekat kepada kebenaran, berdasarkan petunjuk ayat, karena relevan dengan ketakjubkan, ketercengangan, kegoncangan perasaan, dan ketakutan yang tampak pada semua perkataan kelompok jinn itu. Wallāhu a‘lam.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.