Setelah itu, kelompok jinn tersebut memberikan penjelasan tentang keadaan dan sikap mereka terhadap petunjuk yang diberikan Allah. Kita memahami dari perkatan jinn tersebut bahwa mereka memiliki tabi‘at yang bercampur-aduk sebagaimana tabiat manusia di dalam kesiapannya merespons petunjuk dan kesesatan. Kelompok jinn ini menceritakan kepada kita tentang ‘aqīdah mereka terhadap Tuhan yang mereka imani, dan tentang keyakinan mereka mengenai akibat yang akan diterima oleh orang yang mengikuti petunjuk dan orang yang tersesat.
وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللهَ فِي الْأَرْضِ وَ لَنْ نُّعْجِزَهُ هَرَبًا. وَ أَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَ لَا رَهَقًا. وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.
“Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shāliḥ dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. Sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada)-Nya dengan lari. Sesungguhnya, kami tatkala mendengar petunjuk (al-Qur’ān), kami beriman kepadanya. Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan. Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.” (al-Jinn: 11-15).
Pengakuan dari golongan jinn bahwa di antara mereka ada yang shāliḥ dan ada yang tidak shāliḥ, ada yang Muslim dan ada yang menyimpang dari kebenaran, menunjukkan kompleksnya tabiat jinn dan berpotensinya mereka terhadap kebaikan dan keburukan seperti manusia – kecuali yang semata-mata berpotensi terhadap keburukan seperti Iblīs dan kelompoknya. Pengakuan jinn di atas perupakan pengakuan yang sangat penting untuk meluruskan pandangan umum kita terhadap makhlūq ini. Karena kebanyakan kita – hingga kalangan ilmuwan dan kaum terpelajarnya – beranggapan bahwa bangsa jinn itu hanya mencerminkan keburukan, tabiat mereka hanya untuk itu, dan hanya manusia saja di antara makhlūq-makhlūq Allah yang memiliki tabiat yang kompleks.
Pandangan ini timbul dari ketetapan terdahulu di dalam pandangan kita mengenai hakikat-hakikat alam wujūd sebagaimana sudah kami kemukakan. Sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk merevisinya dengan menyesuaikannya menurut ketetapan al-Qur’ān yang benar.
Kelompok jinn ini berkata: “Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shāliḥ dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya.” Mereka menyifai keadaan mereka secara umum: “Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” Maksudnya, setiap orang dari kami (bangsa jinn) memiliki jalan sendiri yang terlepas dan terpisah dari jalan kelompok lain.
Kemudian kelompok tersebut menjelaskan ‘aqīdah mereka secara khusus sesudah mereka beriman:
“Sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (dari)-Nya dengan lari.” (al-Jinn: 12).
Maka, mereka mengakui kekuasaan Allah atas mereka di bumi, dan mengakui ketidakmampuan mereka untuk berlari dan melepaskan diri dari kekuasaan dan genggaman-Nya. Jadi, mereka tidak dapat melepaskan diri dari kekuasaan Allah di bumi ini, dan tidak dapat melepaskan diri dari-Nya dengan berlari dari kekuasaan-Nya itu. Mereka adalah hamba yang lemah di hadapan Tuhan, dan makhlūq yang lemah di hadapan al-Khāliq. Mereka merasakan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa.
Nah, bangsa jinn yang demikian keadaannya itulah yang dimintai perlindungan oleh beberapa orang dari manusia. Merekalah yang dimintai pertolongan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka itulah yang oleh orang-orang musyrik dianggap memiliki hubungan nasab dengan Allah s.w.t. Padahal, mereka mengakui kelemahan dirinya dan mengakui kemahakuasaan, kekuatan, dan keperkasaan Allah. Karena itu, mereka meluruskan, bukan hanya untuk kaumnya saja melainkan untuk orang-orang musyrik juga. Ya‘ni, hakikat kekuatan yang satu dan berkuasa atas alam ini dengan apa saja yang ada di dalamnya.
Kemudian mereka menerangkan keadaan mereka ketika mereka mendengarkan petunjuk. Hal ini sudah mereka jelaskan sebelumnya, tetapi di sini mereka ulangi lagi sesuai dengan pembicaraan tentang bermacam-macam sikap golongan jinn terhadap keimanan:
“Sesungguhnya, kami tatkala mendengar petunjuk (al-Qur’ān), kami beriman kepadanya.” (al-Jinn: 13).
Hal ini sebagaimana seharusnya bagi setiap orang yang mendengar petunjuk, sewaktu mereka mendengar al-Qur’ān. Akan tetapi, mereka menyebutnya petunjuk sebagaimana hakikat dan konklusinya.
Kemudian mereka menetapkan kepercayaan mereka terhadap Tuhan, yaitu kepercayaan orang yang beriman kepada Tuhan Yang Melindunginya:
“Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.” (al-Jinn: 13).
Inilah kepercayaan orang yang mantap hatinya terhadap keadilan dan kekuasaan Allah, kemudian kepada tabiat iman dan hakikatnya. Karena Allah itu Maha Adil dan tidak akan mengurangi hak orang yang beriman, serta tidak akan menambah beban di atas kemampuan yang bersangkutan. Apalagi Dia Maha Kuasa, maka Dia akan melindungi hamba-Nya dari pengurangan terhadap haknya secara mutlak dan akan melindunginya dari tugas-tugas dan beban yang melampaui kemampuannya. Nah, siapakah gerangan yang dapat mengurangi hak-hak orang yang beriman atau menambah beban di atas kemampuannya, sedangkan ia berada di dalam perlindungan dan pemeliharaan Allah?
Memang, kadang-kadang terdapat kendala terhadap orang mu’min untuk mendapatkan kekayaan dunia ini, tetapi itu bukanlah pengurangan hak. Dan, kadang-kadang dia mendapat gangguan dari pihak yang kuat di bumi, tetapi ini bukanlah penambahan beban yang melampaui kemampuannya. Karena, Tuhan memberinya kekuatan sehingga ia mampu menanggungnya. Dengan demikian, ia malah mendapat manfaat dan menjadi besar. Selain itu, hubungannya dengan Tuhannya menjadikan ia menganggap ringan semua kesulitan itu sehingga perhatiannya terfokus untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.
Kalau begitu, orang yang beriman jiwanya merasa aman dari pengurangan pahalanya dan dari beban tugas di luar kemampuannya: “Maka, ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.” Rasa aman ini akan melahirkan ketenteraman dan kegembiraan selama hidupnya. Akibatnya, ia tidak hidup dalam goncangan dan ketakutan (stres). Sehingga, apabila ditimpa kesulitan, ia tidak berkeluh-kesah dan bersedih hati, serta tidak akan menutup jendela-jendela jiwanya. Karena, ia akan menganggap kesulitan itu hanya sebagai ujian yang perlu ia sikapi dengan sabar. Dengan demikian, ia akan mendapat pahala, dan ia mengharapkan Allah akan menghilangkan penderitaannya, yang dengan pengharapannya ini ia akan mendapat pahala pula. Maka, dalam kedua keadaan ini, ia tidak takut dikurangi pahalanya dan tidak takut ditambah bebannya. Ia juga tidak menderita kerugian dan tidak mendapatkan dosa.
Benarlah apa yang digambarkan oleh golongan jinn yang beriman itu tentang hakikat yang terang-benderang ini.
Kemudian mereka menetapkan pandangan mereka terhadap hakikat petunjuk dan kesesatan beserta pembalasan terhadap petunjuk dan kesesatan itu:
وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.
“Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.” (al-Jinn: 14-15).
Al-Qāsithūn adalah orang-orang yang durhaka dan menjauhi keadilan dan kebaikan. Oleh golongan jinn yang beriman, mereka dimasukkan sebagai kelompok yang berlawanan dengan golongan Muslim. Dalam pernyataan ini, terdapat isyārat yang halus dan mendalam petunjuknya, yang berarti bahwa orang Muslim itu adil dan suka melakukan perbaikan. Kebalikannya adalah al-qāsith, ya‘ni orang yang durhaka dan suka berbuat kerusakan.
“Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.”
Penggunaan lafal (تَحَرَّوْا) “memilih” ini memberi petunjuk bahwa mencari petunjuk kepada Islam itu ma‘nanya yang halus adalah mencari jalan yang benar, dan mencari petunjuk – sebagai kebalikan dari penyimpangan dan kesesatan – berarti mencari kebenaran. Juga berarti memilihnya berdasarkan pengetahuan dan dengan kesengajaan hati setelah tampak jelas dan terang, bukan ngawur, sembrono, dan ikut-ikutan tanpa pengertian. Kalimat ini berarti bahwa mereka secara praktis sampai kepada kebenaran pada waktu mereka memilih Islam. Ini adalah ma‘na yang halus dan indah.
“Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.” (al-Jinn: 15).
Ayat ini menetapkan urusan mereka, dan pada akhirnya mereka menjadi kayu bakar neraka Jahannam, yang bergejolak karenanya dan bertambah nyalanya, sebagaimana api bergejolak dengan kayu bakar.
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa jinn (yang masuk neraka) juga disiksa dengan api (neraka), dan mafhūmnya bahwa mereka (yang beriman dan ber‘amal shāliḥ) juga merasakan keni‘matan yang berupa surga.
Demikianlah petunjuk nash al-Qur’ān, dan inilah yang menjadi sandaran pandangan kita. Setelah ini, tidak boleh seseorang berkata tentang tabiat bangsa jinn, sifat neraka, dan sifat surga berdasarkan alasan selain al-Qur’ān. Karena apa yang difirmankan Allah benar, tanpa diperdebatkan lagi.
Apa yang berlaku bagi bangsa jinn seperti mereka jelaskan itu, berlaku pula bagi manusia. Hal itu sudah disampaikan kepada mereka oleh wahyu melalui lisan Nabi mereka.