Kelompok jinn itu masih melanjutkan ceritanya tentang apa yang mereka temui dan ketahui tentang urusan risālah ini di seluruh penjuru alam, serta mengenai keadaan-keadaan langit dan bumi. Tujuannya supaya mereka dapat berlepas tangan dari segala usaha yang tidak sesuai dengan irādah Allah mengenai risālah-Nya, semua angapan tentang pengetahuan perkara ghaib, dan semua kekuasaan terhadap urusan ini:
وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا. وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا. وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.
“Sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi, sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). Sesungguhnya, kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (al-Jinn: 8-10).
Peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh al-Qur’ān dari penuturan jinn ini menujukkan bahwa sebelum risālah terakhir ini dan mungkin pada masa tenggang antara risālah terakhir dan risālah sebelumnya, ya‘ni risālah ‘Īsā a.s., mereka berusaha mengadakan hubungan dengan makhlūq tertinggi. Mereka mencuri pembicaraan di sana, di antara para malaikat tentang urusan-urusan makhlūq di bumi, yang berisi keputusan tentang ditugaskannya mereka melaksanakan kehendak dan taqdīr Allah.
Kemudian infromasi langit yang mereka curi itu mereka bisikkan kepada wali-wali mereka yaitu tukang tenung dan paranormal. Tujuannya agar mereka membuat fitnah terhadap manusia sesuai dengan program Iblīs, melalui tangan-tangan para dukun dan paranormal yang menggunakan sedikit kebenaran lalu mereka campur dengan kebāthilan yang banyak sekali. Mereka populerkan di kalangan masyarakat pada tenggang waktu di antara kedua risālah itu dan pada saat dunia kosong dari rasūl. Adapun bagaimana cara dan bentuknya, maka al-Qur’ān tidak menceritakan sedikit pun kepada kita, dan tidak ada urgensinya untuk diceritakan, karena yang penting adalah hakikat dan kandungannya.
Kelompok jinn ini mengatakan bahwa mencuri pendengaran tidak mungkin dapat dilakukan lagi. Ketika mereka berusaha melakukannya sekarang, yaitu apa yang sekarang mereka istilahkan dengan menyentuh langit, mereka dapati jalan ke sana dijaga dengan penjagaan kuat, yang siap melempari mereka dengan panah-panah api hingga akan membinasakan mereka yang menuju ke sana. Mereka menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui perkara ghaib yang ditaqdīrkan untuk manusia:
“Sesungguhnya, kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (al-Jinn: 10).
Urusan ghaib ini diserahkan kepada ‘ilmu Allah, karena tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Adapun kita tidak mengetahui apa yang ditaqdīrkan Allah untuk hamba-hambaNya di bumi ini. Apakah Dia menaqdīrkan kejelekan bagi mereka, lalu dibiarkannya mereka bergelimang dalam kesesatan; ataukah Dia menaqdīrkan jalan kebenaran – ya‘ni – petunjuk, untuk mereka sebagai kebalikan dari keburukan, ya‘ni kebaikan, dan berakibat kebaikan pula.
Apabila acuan (ya‘ni bangsa jinn yang menjadi sumber acuan) para dukun yang mengaku mendapat pengetahuan perkara ghaib itu sendiri menetapkan bahwa mereka tidak mengetahui sama sekali perkara ghaib itu, maka patahlah semua perkataan, bathallah segala anggapan, selesailah urusan perdukunan dan ramalan ghaib, dan murnilah urusan ghaib itu hanya urusan Allah. Tidak seorang pun berani mengklaim bahwa dia mengetahui dan dapat menginformasikannya. Al-Qur’ān menyatakan bebasnya pikiran manusia dari semua kesalahan dan semua anggapan dalam persoalan ini. Juga menyatakan lurus dan bebasnya manusia sejak saat itu dari khurafat-khurafat dan mitos-mitos.
Adapun di mana adanya penjagaan itu, siapakah dia, dan bagaimana dia melempari syaithān-syaithān dengan panah-panah api, tidak dibicarakan sedikit pun oleh al-Qur’ān atau atsar kepada kita. Jika tidak memiliki sumber selain keduanya itu yang dapat kita timba darinya sedikit informasi tentang perkara ghaib ini. Seandainya Allah melihat bahwa dalam penjelasan secara rinci tentang masalah yang ada kebaikannya bagi kita, niscaya sudah Dia jelaskan. Apabila Allah tidak menjelaskannya kepada kita, maka upaya kita dalam masalah ini tentu akan sia-sia, dan tidak akan membuahkan apa pun bagi kehidupan dan pengetahuan kita.
Tidak ada jalan bagi kita untuk berpaling atau berdebat seputar masalah panah-panah api itu. Ia berjalan sesuai dengan ungang-undang alam, baik sebelum diutusnya rasūl maupun sesudahnya. Juga sesuai dengan undang-undang yang para pakar astronomi berusaha menafsirkannya dengan teori-teori yang mungkin salah dan mungkin benar, hingga terhadap benar tidaknya teori ini, karena masalah ini tidak temasuk dalam tema pembahasan kita. Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa syaithān-syaithān itu dilempari dengan panah-panah api secara mutlak. Panah-panah api boleh saja melesat sebagai pelempar syaithān atau bukan pelempar syaithān, sesuai dengan kehendak Allah yang berlaku pada sunnah-sunnahNya.
Pandangan orang-orang yang memandang semua ini hanya semata-mata lukisan dan gambaran tentang pemeliharaan Allah terhadap al-Qur’ān dari segala macam kebāthilan dan tidak boleh ditafsirkan menurut lahirnya, disebabkan mereka datang kepada al-Qur’ān sedang di benaknya terdapat gambaran-gambaran yang sudah mereka tetapkan lebih dahulu, yang mereka ambil dari sumber-sumber selain al-Qur’ān. Kemudian mereka berusaha menafsirkan al-Qur’ān sesuai dengan gambaran-gambaran yang sudah ada di dalam benak mereka. Karena itu, mereka berpendapat bahwa malaikat itu sebagai simbol kekuatan kebaikan dan ketaatan, dan syaithān sebagai simbol kekuatan kejahatan dan kemaksiatan, serta bintang-bintang sebagai simbol pemeliharaan dan penjagaan. Karena di dalam ketetapan-ketetapan mereka yang suda ada – sebelum mereka berhadapan dengan al-Qur’ān – menyatakan bahwa apa yang disebut malaikat, syaithān, atau jinn itu tidak mungkin ada wujūd fisiknya seperti yang digambarkan. Ia juga tidak mungkin memiliki gerakan-gerakan yang terasakan dan pengaruh-pengaruh yang nyata.
Dari manakah mereka mendapatkan semua ini? Dari manakah mereka mendapatkan ketetapan-ketetapan yang mereka pergunakan untuk menghukumi nash-nash al-Qur’ān dan al-Hadits seperti itu?
Cara yang paling ideal dalam memahami al-Qur’ān dan menafsirkannya, serta dalam menggambarkan Islam dan membangunnya, ialah hendaknya seseorang melepaskan dari benaknya semua pandangannya yang terdahulu. Hendaklah ia menghadapi al-Qur’ān tanpa menggunakan ketetapan-ketetapan pemikiran, pandangan, atau perasaan yang mendahuluinya. Ia hendaknya juga membangun seluruh ketetapannya itu sebagaimana al-Qur’ān dan al-Hadits menggambarkan hakikat alam wujūd ini. Dengan demikian al-Qur’ān dan al-Hadits tidak dihukumi menurut selain al-Qur’ān, tidak usah meniadakan sesuatu yang ditetapkan al-Qur’ān, dan tidak usah mena’wīl-na’wīlkannya. Juga tidak menetapkan sesuatu yang ditiadakan atau ditolak oleh al-Qur’ān. Sedangkan, apa yang tidak ditetapkan atau ditiadakan oleh al-Qur’ān, maka bolehlah ia melontarkan pendapatnya sesuai dengan pendapat akal dan pengalamannya.
Sudah tentu kami katakan hal ini kepada orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an. Sedangkan, di samping itu mereka mena’wīlkan nash-nashnya untuk disesuaikan dengan ketetapan-ketetapan dan gambaran-gambaran yang telah ada dalam benak dan pikiran mereka, mengenai sesuatu tentang hakikat-hakikat alam wujūd. (111).
Adapun orang-orang yang tidak beriman kepada al-Qur’ān, dan dengan serampangan menolak gambaran-gambaran ini hanya karena ‘ilmu pengetahuan belum mencapainya, maka mereka itu benar-benar menggelikan. Karena ‘ilmu pengetahuan itu sendiri tidak mengetahui rahasia-rahasia alam wujud yang tampak jelas di hadapan mereka, dan yang mereka pergunakan dalam percobaannya. Sedangkan, yang demikian ini tidak meniadakan apa yang tidak mereka ketahui rahasianya itu.
Apalagi banyak dari kalangan ilmuwan yang percaya kepada sesuatu yang misterius melalui jalan atau keterangan agama, atau minimal tidak mengingkari apa yang tidak mereka ketahui. Karena dengan pengalamannya, mereka mendapati diri mereka – melalui ‘ilmu pengetahuannya – berada di hadapan hal-hal misterius. Mereka mengira bahwa mereka tidak dapat mengetahuinya, lalu mereka merendahkan diri dengan sikap ilmiah dan cerdas tanpa mengaku yang bukan-bukan. Juga tidak mengaku telah melampaui segala misteri, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengaku ber‘ilmu pengetahuan dan berpikir ilmiah, tetapi mereka mengingkari hakikat agama dan hakikat hal-hal yang ghaib.
Alam di sekitar kita ini penuh dengan rahasia, rūḥ-rūḥ, dan kekuatan-kekuatan. Surah ini, sebagaimana surah-surah lainnya dari al-Qur’ān, memberikan kepada kita beberapa sisi dari hakikat yang ada dalam alam wujūd ini. Juga yang dapat membantu untuk membangun pandangan yang benar tentang alam wujūd dan segala sesuatu yang ada padanya yang berupa kekuatan-kekuatan, rūḥ-rūḥ, dan makhlūq-makhlūq hidup yang ada di sekitar kita dan berinteraksi dengan kehidupan kita dan diri kita. Pandangan inilah yang membedakan seorang Muslim dan menjadikannya berdiri di tengah-tengah di antara takhayul dan khurafat dengan pengakuan-pengakuan dan anggapan-anggapan yang berlebihan. Sebagai sumber pandangannya adalah al-Qur’ān dan as-Sunnah. Kepada keduanyalah seorang Muslim mengkonfirmasikan semua pandangan, pendapat, dan penafsiran lain.
Di sana terdapat lapangan yang dapat membantu akal manusia untuk mencari cakrawala kemisteriusan. Islam sendiri mendorongnya untuk melakukan pelacakan seperti ini. Akan tetapi, di belakang lapangan yang dapat membantunya terdapat sesuatu yang akal manusia tidak mampu mencarinya, karena memang tidak diperlukan untuk mencarinya. Apa yang tidak diperlukan bagi pengurusan bumi ini, maka tidak ada keperluan terhadapnya dan tidak ada hikmah membantu mengungkapkannya. Karena, itu bukan urusannya dan tidak termasuk di dalam batas-batas kekhususannya.
Kadar yang diperlukan baginya terhadap hal itu ialah sekadar untuk mengetahui posisi sentralnya di alam ini dibandingkan dengan apa dan siapa yang ada di sekitarnya, yang telah dijelaskan oleh Allah, karena posisinya lebih besar daripada kekuatan dan kemampuannya sendiri. Tentunya dengan kadar yang termasuk di dalam kemampuannya untuk memahaminya secara garis besar, yang di antaranya adalah makhlūq ghaib yang berupa malaikat, syaithān, roh, asal kejadian, dan tempat kembalinya nanti.
Adapun orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, berhenti pada urusan-urusan ini sesuai kadar yang disingkapkan Allah kepada mereka di dalam kitāb-kitābNya dan melalui lisan rasūl-rasūlNya. Dengan demikian, mereka memperoleh manfaat dengan merasakan keagungan Yang Maha Pencipta dan kebijaksanaan-Nya di dalam menciptakan semua ini. Juga merasakan bagaimana posisi manusia di muka bumi terhadap alam lain dan makhlūq-makhlūq ruhani.
Kemudian mereka pergunakan kemampuan pikiran mereka untuk mengungkap dan mengetahui sesuatu yang disediakan bagi akal di bumi dan sekitarnya dalam kadar yang memungkinkan bagi mereka. Selain itu, mereka juga menguras pengetahuan mereka untuk memakmurkan bumi dan melaksanakan kekhalifahannya di sini, menurut petunjuk Allah, dengan menghadapkan diri kepada-Nya, dan dalam rangka meningkatkan harkat mereka sesuai dengan yang diserukan Allah.
Sedangkan, orang-orang yang tidak mendapat petunjuk dari Allah, terbagi menjadi dua kelompok besar.
Pertama, kelompok yang menggunakan akalnya yang terbatas untuk memahami sesuatu yang tidak terbatas, seperti dzāt Allah s.w.t., dan untuk mengetahui hakikat perkara ghaib tanpa melalui kitab suci yang diturunkan Allah. Di antaranya adalah para filsuf yang berusaha menafsirkan alam wujūd ini dan hubungan-hubungannya. Akibatnya, mereka tergelincir seperti anak-anak kecil yang mendaki gunung tinggi yang tak terhingga puncaknya, atau berusaha menebak teka-teki alam sedang mereka sendiri tidak mengetahui huruf-huruf abjad!
Mereka memiliki pandangan-pandangan yang lucu, padahal mereka adalah filsuf-filsuf besar, yang benar-benar menggelikan ketika pandangan mereka dibandingkan dengan pandangan yang jelas, lurus, dan indah yang ditetapkan oleh al-Qur’ān. Mereka menggelikan karena menggelincirkan, kesombronoannya, dan kekerdilannya dibandingkan dengan keagungan alam wujūd yang mereka tafsirkan. Tidak terkecuali filsuf-filsuf Yunani yang besar, filsuf-filsuf Muslim yang bertaqlīd kepada mereka, dan filsuf-filsuf abad modern. Ya, tampak menggelikan apabila pandangan mereka dibandingkan dengan pandangan Islam terhadap alam wujūd ini. (122).
Kedua, golongan yang merasa putus-asa atau tidak dapat memperoleh manfaat dalam mengkaji masalah ini, lalu mereka beralih dengan memfokuskan diri dan usahanya dalam ‘ilmu-‘ilmu eksperimental dan ‘ilmu-‘ilmu terapan, dengan mengesampingkan lapangan persoalan misterius, yang tidak ada jalan untuk dicapai dan tidak ada petunjuk Allah ke arah sana, karena ia tidak mampu untuk memahami Allah. Golongan itu mencapai puncak keberlebihannya pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Akan tetapi, golongan tersebut pada permulaan abad ini mulai menyadari ketertipuannya yang berkedok ‘ilmu pengetahuan. Pasalnya, banyak hal yang lepas dari jangkauan tangan mereka, dan mereka mulai menyadari bahwa memang ada hal-hal ghaib yang tersembunyi, yang hampir tidak diketahui aturannya.
Islam tetap teguh di atas batu fondasi keyakinannya, yang memberikan kebaikan kepada manusia pada hal-hal ghaib dalam kadar tertentu, dan memberikan potensi akalnya untuk bekerja dalam melaksanakan kekhalifahannya di muka bumi. Juga menyediakan bagi akal mereka lapangan yang mereka dapat beraktivitas padanya secara aman, dan memberikan petunjuk bagi mereka ke jalan yang paling lurus mengenai sesuatu yang misterius dan nyata.