قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا. وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا. وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا. وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا.
“Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān), lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan”, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami. Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. Sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah. Ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun.” (al-Jinn: 1-7).
“Nafar” adalah kelompok yang terdiri antara tiga sampai sembilan, sebagaimana “rahth”. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh.
Pembukaan surah ini menunjukkan bahwa pengetahuan Nabi s.a.w. tentang mendengarnya bangsa jinn kepada beliau dan apa yang terjadi pada mereka setelah mendengarkan al-Qur’ān dari beliau itu adalah karena adanya wahyu dari Allah s.w.t. kepada beliau. Ya‘ni, pemberitahuan tentang sesuatu yang terjadi yang tidak diketahui Rasūlullāh s.a.w., tetapi Allah memberitahukannya kepada beliau. Mungkin peristiwa ini baru pertama kali terjadi. Kemudian terjadi sekali lagi atau beberapa kali lagi Nabi membacakan kepada jinn dengan sepengetahuan dan sengaja.
Hal juga dibuktikan dengan riwayat yang menceritakan bahwa Nabi s.a.w. membacakan surah ar-Raḥmān kepada bangsa Jinn. Imām Tirmidzī meriwayatkan dengan isnādnya dari Jābir r.a., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. keluar menemui sahabat-sahabat beliau, lalu beliau membacakan kepada mereka surah ar-Raḥmān hingga akhir surah, dan mereka diam. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya aku telah membacakannya kepada bangsa jinn, maka mereka lebih baik responsnya daripada kalian. Setiap kali aku sampai pada firman Allah: Fa bi ayyi ālā’i Rabbikumā tukadzdzibān “Maka, ni‘mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”, mereka berkata: “Tidak ada sesuatu pun dari ni‘mat-Mu, ya Tuhan kami, yang kami dustakan. Maka, kepunyaan-Mulah segala puji.”
Riwayat ini mendukung riwayat Ibnu Mas‘ūd r.a. tentu apa yang diceritakan surah ini adalah yang diceritakan oleh surah al-Aḥqāf:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jinn kepadamu yang mendengarkan al-Qur’ān, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur’ān) yang telah diturunkan sesudah Mūsā yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari ‘adzāb yang pedih. Orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan melepaskan diri dari ‘adzāb Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Alah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (al-Aḥqāf: 29-32).
Ayat-ayat itu, sebagaimana surah al-Jinn, memberitahukan reaksi spontan bangsa Jinn terhadap al-Qur’ān. Ya‘ni, spontanitas yang menerbangkan pegangan mereka, menggoncangkan hati mereka, menggugah perasaan mereka, dan menimbulkan dorongan dan semangat yang meluap-luap. Maka, pergilah mereka kepada kaumnya dengan semangat menggebu-gebu yang tidak dapat mereka tahan, karena ingin segera menyampaikannya kepada yang lain, dengan uslub yang memancar-mancar, penuh kehangatan dan semangat, serta penuh kesungguhan dan keseriusan. Inilah keadaan orang yang pertama kali dikejutkan oleh dorongan kuat yang menggoncang eksistensinya dan menggoyang pegangannya. Kemudian ia terdorong untuk menyampaikan apa yang dirasakannya itu ke dalam jiwa orang lain dengan penuh semangat, antusias, kesungguhan, dan keseriusan!
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan” (al-Jinn: 1).
Kesan pertama yang mereka peroleh adalah bahwa al-Qur’ān itu “menakjubkan”, luar biasa, dan menggetarkan hati. Inilah sifat al-Qur’ān pada orang yang menerimanya dengan hati yang terbuka serta perasaan yang tanggap, lembut, dan sensitif.
Menakjubkan! Memiliki kekuasaan yang hebat, memiliki daya tarik yang kuat, dan memiliki kesan-kesan yang menyentuh perasaan dan menggoyang senar-senar qalbu.
Menakjubkan! Itulah kesan yang mereka peroleh.
Semua itu menunjukkan bahwa kelompok jinn ada hakikatnya, dan bisa merasakan.
“(Yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar….” (al-Jinn: 2).
Inilah sifat kedua yang tampak dalam al-Qur’ān dan dirasakan oleh segolongan jinn itu, ketika mereka menjumpai hakikatnya di dalam hati mereka. Kata “rusyd” sendiri memiliki petunjuk yang luas jangkauannya. Ia menunjukkan kepada petunjuk, kebenaran, ketetapan, dan kelayakan. Akan tetapi, kata “rusyd” itu juga memberikan bayang-bayang lain di belakang semua ini. Yaitu, bayang-bayang kemantangan, keseimbangan, dan pengetahuan yang lurus kepada petunjuk, kebenaran, dan ketetapan. Bayang-bayang pengertian pribadi yang tajam terhadap hakikat-hakikat dan faktor-faktor ini. Maka, rusyd menciptakan keadaan di dalam jiwa dan kebenaran.
Al-Qur’ān menunjukkan kepada jalan yang benar karena ia menimbulkan keterbukaan dan sensitivitas di dalam hati, pengetahuan dan pengertian, kebersambungan dengan sumber cahaya dan petunjuk, dan kesesuaian dengan undang-undang Ilahi yang teragung, sebagaimana ia menunjukkan kepada jalan yang benar dengan manhaj-nya yang sistematis kepada kehidupan dan penerapannya. Inilah manhaj yang tidak pernah dicapai manusia sepanjang sejarahnya di bawah naungan peradaban manapun atau sistem apa pun, baik secara individu maupun kolektif, dalam urusan hati maupun sosial, akhlāq pribadi maupun pergaulan masyarakat.
“Lalu kami beriman kepadanya….”
Inilah respon otomatis dan lurus karena mendengarkan, memahami karakter, dan terkesan oleh hakikat al-Qur’ān, yang ditunjukkan oleh wahyu kepada kaum musyrikin yang mendengar al-Qur’ān tetapi tidak mengimaninya. Namun, pada waktu yang sama mereka menisbatkannya kepada jinn, lalu mereka mengatakan (bahwa Nabi Muḥammad itu) tukang tenung, penyair, atau gila hingga jinn dapat memberikan pengaruh kepadanya. Padahal jinn-jinn itu tercerahkan, tersihir, sangat terkesan, dan terpengaruh oleh al-Qur’ān, sehingga mereka tidak berkutik. Kemudian mereka mengakui kebenaran serta menyambutnya dengan penuh ketundukan dan rendah hati, seraya menyatakan ketundukannya dengan mengatakan: “Kami beriman kepadanya”, tanpa mengingkari dan menentangnya ketika al-Qur’ān menyentuh jiwa mereka, sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik.
“Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.” (al-Jinn: 2).
Inilah iman yang tulus, jelas, dan benar, tidak dinodai dengan kemusyrikan, tidak dikotori dengan kepalsuan, dan tidak dicampur dengan khurafat. Iman yang bersumber dari pengertian terhadap hakikat al-Qur’ān, hakikat yang diserukan oleh al-Qur’ān, hakikat tauhid kepada Allah tanpa ada sekutu bagi-Nya.
“Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (al-Jinn: 3).
“Al-Jadd” berarti bagian, nasib, kehormatan, kedudukan, keagungan, dan kekuasaan. Semuanya merupakan pancaran ma‘na dari lafal ini yang sesuai dengan kedudukannya. Ma‘na global lafal ini dalam ayat tersebut adalah untuk mengungkapkan perasaan tentang keluhuran, keagungan, dan kebesaran Allah s.w.t., sehingga tidak mungkin Dia beristri dan beranak, laki-laki atau wanita.
Bangsa ‘Arab dahulu beranggapan bahwa malaikat itu adalah anak-anak wanita Allah yang diperoleh dari perkawinan-Nya dengan jinn. Kemudian datanglah jinn yang mendustakan dongeng khurafat demi mensucikan Allah dan menolak pandangan perbesanan dalam dongeng yang penuh khurafat itu kalau wajar. Maka, ini adalah sanggahan yang besar terhadap anggapan yang lemah dalam pandangan kaum musyrikīn itu. Juga terhadap semua pandangan serupa itu, yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap Allah punya anak. Maha Suci Allah dari pandangan dan anggapan seperti itu, apa pun bentuknya!
“Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. Sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.” “al-Jinn: 4-5).
Itu adalah koreksi dari golongan jinn itu terhadap apa yang mereka dengar dari jinn-jinn yang kurang akal, yang mempresekutukan Allah, dan menganggap-Nya punya istri dan anak. Koreksian itu lahir setelah mereka mendapat kejelasan dari al-Qur’ān, bahwa anggapan itu sama sekali tidak benar, dan beranggapan seperti itu adalah jinn-jinn yang kurang akal dan bodoh.
Adapun alasan mereka mempercaya jinn-jinn yang kurang akal sebelumnya itu adalah karena mereka tidak membayangkan bahwa ada manusia atau jinn yang mengatakan perkataan dusta terhadap Allah. Karena itu, mereka menganggap luar biasa ada seseorang yang berani berbuat dusta terhadap Allah. Maka, ketika jinn-jinn yang kurang akal itu mengatakan kepada mereka bahwa Allah beristri dan beranak serta mempunyai sekutu, mereka membenarkannya saja, karena mereka tidak membayangkan ada orang yang berani berkata dusta terhadap Allah.
Perasaan segolongan jinn tentang mungkarnya perkataan dusta terhadap Allah inilah yang menjadikan mereka layak terhadap keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa hati mereka bersih dan lurus serta polos, hanya saja ia didatangi kesesatan karena keteperdayaan dan kebebasan. Maka, ketika hati mereka disentuh oleh kebenaran, ia pun bergoncang, sadar, merasakan, dan mengerti.
Goncangan karena sentuhan kebenaran ini pantas menyadarkan hati kebanyakan pembesar Quraisy yang tertipu, dan menyadarkan mereka terhadap kesalahan anggapan mereka bahwa Allah beristri dan beranak. Juga dapat menimbulkan rasa takut dan sadar dalam hati tersebut, mendorongnya untuk memahami hakikat sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dan membandingkannya dengan apa yang dikatakan pemuka-pemuka Quraisy itu, dan menggoyang kepercayaan (fanatisme) buta terhadap apa saja yang dikatakan oleh pembesar-pembesar yang kurang akal!
Semua itu adalah tujuan disebutkannya hakikat ini, dan perjalanan peperangan yang panjang antara al-Qur’ān dan kaum Quraisy yang durhaka dan keras kepala. Ini satu mata rantai pengobatan secara perlahan-lahan terhadap penyakit-penyakit dan pola pikir jāhiliyyah yang ada dalam hati mereka. Padahal kebanyakan pikirannya itu cemerlang dan bebas, tetapi disesatkan dan dituntun dengan mitos-mitos dan khurafat-khurafat serta disesatkan oleh pemimpin-pemimpin yang jāhil dan menyesatkan!
“Ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jinn: 6).
Ini adalah isyārat dari bangsa Jinn mengenai kebiasaan jāhiliyyah, dan masih dibiasakan sampai sekarang di berbagai kalangan, bahwa jinn itu mempunyai kekuasaan terhadap bumi dan terhadap manusia, mempunyai kekuasaan untuk memberikan manfaat dan mudharat, dan mereka berkuasa di berbagai wilayah di bumi (darat), laut, atau udara, serta kepercayaan-kepercayaan lain dari pandangan ini. Sehingga, apabila mereka bermalam di padang atau di tempat yang menakutkan, mereka memohon perlindungan kepada penghulu lembah itu, kemudian mereka bermalam dengan aman.
Memang syaithān itu dapat menguasai hati manusia, kecuali mereka yang berpegang teguh pada Allah. Adapun orang yang berlindung kepada syaithān, maka syaithān itu tidak akan memberi manfaat kepadanya. Karena, syaithān itu adalah musuh baginya, yang hanya akan menambah dosa dan kesalahan serta akan mengganggunya. Kelompok jinn (yang beriman) itu menceritakan hal itu: “Ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
Mungkin yang dimaksud dengan dosa dan kesalahan itu adalah kesesatan, kegoncangan, dan kebingungan yang menimpa hati orang-orang yang bersandar kepada musuh mereka itu, serta tidak berpegang dan berlindung kepada Allah dari syaithān, sebagaimana yang diperintahkan kepada Ādam yang bermusuhan dengan Iblīs sejak dahulu kala.
Hati manusia ketika berlindung kepada selain Allah karena ingin mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, maka yang diperolehnya tidak lain kecuali kegoncangan, kebingungan, ketidaktenangan, dan ketidaktenteraman. Ini adalah dosa dan kesalahan yang seburuk-buruknya hingga menjadikan hati tidak merasa aman dan tenang.
Sesungguhnya semua makhlūq ciptaan Allah adalah labil, tidak tetap, akan lenyap, dan tidak kekal. Maka, apabila hati seseorang bergantung padanya, niscaya ia akan selalu bergoncang, berbolak-balik, gelisah, takut, dan selalu berubah-ubah arahnya setiap kali lenyap apa yang menjadi tempat bergantung harapannya. Hanya Allah Sendiri yang kekal dan tidak akan pernah lenyap, yang hidup dan tidak akan pernah mati, yang abadi dan tidak akan pernah berubah. Karena itu, barang siapa yang menghadapkan diri kepada-Nya, berarti dia menghadapkan diri kepada sandaran kokoh yang tidak akan pernah lenyap dan tidak akan pernah berubah:
“Sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun.” (al-Jinn: 7).
Mereka berbicara kepada kaumnya tentang beberapa orang manusia yang meminta perlindungan kepada jinn. Mereka berkata: “Sesungguhnya mereka mengira, sebagaimana yang kamu kira, bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasūl pun. Akan tetapi, Dia telah mengutus seorang rasūl dengan membawa al-Qur’ān yang menunjukkan kepada jalan yang benar. Atau, mereka mengira bahwa besok tidak akan ada kebangkitan (setelah mati) dan tidak ada hisab sebagaimana anggapanmu sehingga mereka tidak ber‘amal sedikit pun untuk akhirat, dan mendustakan apa yang dijanjikan Rasūlullāh s.a.w. kepada mereka, karena mereka tidak mempercayainya.”
Kedua anggapan itu tidak sesuai dengan hakikatnya, dan anggapan semacam itu menunjukkan kejahilan dan ketidakpahaman terhadap hikmah Allah di dalam menciptakan manusia. Allah menciptakan mereka dengan dibekali potensi-potensi terhadap kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan (sebagaimana yang kita ketahui dari surah ini bahwa jinn memiliki potensi yang becampur-aduk seperti ini, kecuali yang khusus berpotensi terhadap kejelekan seperti Iblīs, dan dijauhkan dari rahmat Allah karena kedurhakaannya, dan berujung pada kejelekan tulen tanpa campuran kebaikan). Karena itu, rahmat Allah hendak membantu manusia dengan mengutus rasūl-rasūl, untuk menghimpun ke dalam jiwa mereka unsur kebaikan dan memberdayakan fitrah mereka terhadap petunjuk. Maka, tidak ada jalan untuk beranggapan bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasūl kepada mereka.
Demikianlah jika ma‘na lafal (ayat) itu mengutus para rasūl, Sedangkan, jika ma‘na ayat itu adalah membangkitkan manusia dan jinn di akhirat, maka hal itu adalah sesuatu yang sangat vital juga bagi makhlūq yang tidak cukup sempurna hisabnya dalam kehidupan dunia ini. Karena, suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah, dan berhubungan dengan pengaturan alam wujūd yang diketahui Allah dan tidak kita ketahui. Karena itulah, Allah menjadikan kebangkitan di akhirat untuk menyempurnakan hisab makhlūq, dan akhirnya mereka layak mendapat pembalasan yang sesuai dengan perjalan hidupnya yang pertama sewaktu di dunia. Maka, tidak ada jalan bagi seorang pun untuk beranggapan bahwa Allah tidak akan membangkitkan mereka dari kematian. Anggapan seperti itu bertentangan dengan i‘tiqād tentang hikmah dan kemahasempurnaan Allah s.w.t.
Kelompok jinn yang beriman itu meluruskan persangkaan kaumnya. Al-Qur’ān di dalam menampilkan cerita mereka itu meluruskan kesalahan pandangan kaum musyrikīn.