Surah ini berusaha keras meluruskan pandangan kaum musyrikīn ‘Arab dan lain-lainnya yang menganggap adanya kekuasaaan dan peranan jinn terhadap alam semesta.
Mengenai orang-orang yang menolak dengan keras keberadaan jinn secara muthlaq, maka saya tidak mengetahui atas dasar argumentasi yang pasti dan qath‘ī apa mereka mengingkari keberadaan jinn, menertawakan orang yang mempercayainya, dan menganggap mempercayai keberadaan jinn itu sebagai khurafat.
Apakah karena mereka melihat makhlūq-makhlūq yang ada di alam semesta ini lantas mereka tidak menjumpai jinn di antara mereka? Tidak ada seorang pun ‘ulamā’ yang beranggapan demikian hingga hari ini. Di bumi ini saja banyak makhlūq hidup yang baru terungkap keberadaannya hari demi hari. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa seluruh makhlūq hidup di bumi ini sudah terungkap mata rantainya atau akan terungkap dalam satu hari saja!
Apakah karena mereka mengetahui bahwa semua kekuatan yang tersembunyi di alam ini lantas mereka tidak menjumpai jinn di antara mereka? Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang mengklaim seperti itu. Karena di sana terdapat kekuatan-kekuatan tersembunyi yang terungkap setiap hari, sedangkan sebelumnya tidak diketahui. Karena itu, para ilmuwan yang mengenal dengan baik tentang kekuatan-kekuatan alam, mengumumkan hasil penemuan ilmiah mereka dengan sikap merendahkan diri bahwa mereka menemukan sesuatu yang misterius di alam ini. Mereka hampir-hampir tidak dapat memulainya lagi sesudah itu.
Atau, apakah karena mereka melihat bahwa mereka telah mempergunakan semua kekuatan, lantas mereka tidak melihat jinn di antara kekuatan-kekuatan itu? Sesungguhnya mereka baru saja membicarakan tentang listrik dengan menerangkan hakikat ilmiahnya sejak mereka berhubungan dengan pemecahan atom. Tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat melihat wujūd listrik itu. Di tempat-tempat kerja mereka pun tidak terdapat alat yang dapat mereka pergunakan untuk memisahkan listrik-listrik yang mereka bicarakan itu.
Nah, kalau demikian, mengapa mereka berani memastikan tidak adanya jinn? Pengetahuan manusia mengenai alam semesta beserta kekuatan dan penghuninya sangatlah sedikit. Sehingga, tidak memungkinkan bagi orang yang masih menghormati akalnya untuk menetapkan sesuatu (yang di luar pengetahuannya). Atau, apakah mereka mengingkari keberadaan jinn karena makhlūq yang bernama jinn itu selalu berkaitan dengan bermacam-macam khurafat dan mitos? Sesungguhnya metode yang kami tempuh dalam hal ini justru menolak khurafat-khurafat dan mitos-mitos sebagaimana yang dilakukan oleh al-Qur’ān-ul-Karīm, bukannya dengan serampangan mengingkari keberadaan makhlūq (jinn) ini secara mendasar tanpa argumentasi dan dalil yang akurat.
Makhlūq ghaib seperti ini memang hanya boleh diterima informasinya dari sumber satu-satunya yang dapat dipercaya kebenarannya, dan tidak boleh menentang sumber ini dengan pandangan-pandangan di muka yang tak berdasar. Karena apa yang dikatakan oleh sumber itu (Allah s.w.t.) adalah kata yang pasti, dalam topik seperti ini.
Surah yang ada di hadapan kita ini, ditambah dengan apa yang telah disebutkan di muka, memiliki andil yang besar di dalam membentuk tashawwur Islami tentang hakikat ulūhiyyah dan hakikat ‘ubūdiyyah. Kemudian tentang alam dan makhlūq, serta hubungan antarmakhlūq yang beraneka macam ini.
Apa yang dikatakan oleh jinn itu memberikan kesaksian tentang keesaan Allah, meniadakan istri dan anak bagi-Nya, menetapkan adanya pembalasan di akhirat, dan tidak ada seorang pun dari makhlūq Allah di bumi ini yang dapat lepas dari kekuasaan-Nya, dapat menghindar dari hadapan-Nya, dan dapat lari dari-Nya agar ia tidak terkena pembalasan yang adil. Sebagian dari hakikat-hakikat ini diulang-ulang di dalam pengarahan yang diberikan Allah kepada Rasūlullāh s.a.w. dalam surah al-Jinn ayat 20-22, yang menyatakan bahwa “sesungguhnya beliau hanya menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Tiada seorang pun yang dapat melindungi beliau dari (‘adzāb) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.”
Hal itu disebutkan setelah adanya kesaksian yang lengkap dan jelas dari bangsaa jinn tentang hakikat ini.
Kesaksian itu juga menetapkan bahwa ulūhiyyah hanya kepunyaan Allah saja, dan ‘ubūdiyyah merupakan aktivitas yang dengannya manusia dapat mencapai derajat paling tinggi, sebagaimana tercantum dalam surah ini ayat 19.
Hakikat ini diperkuat lagi dengan firman Allah dalam surah al-Jinn ayat 21 yang ditujukan kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwa “beliau tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepada mereka dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.”
Segala urusan ghaib diserahkan kepada Allah saja, dan jinn sama sekali tidak mengetahuinya. (91) Para rasūl pun tidak mengetahuinya kecuali apa yang diberitahukan Allah kepada mereka karena suatu hikmah tertentu. (102).
Surah ini telah memberitahukan kepada kita bahwa di antara hamba-hamba yang lain di alam ini terdapat hubungan-hubungan timbal-balik dan lubang-lubang, meskipun berbeda kejadiannya. Misalnya, hubungan timbal balik antara jinn dan manusia, sebagaimana diceritakan dalam surah ini dan surah-surah lain dalam al-Qur’ān. Maka, manusia itu tidak terlepas, hingga di bumi ini, dari makhlūq lain. Selain itu, antara manusia dan makhlūq-makhlūq lain juga terdapat hubungan timbal-balik dalam bentuk-bentuk lain.
Keterpisahan yang dirasakan oleh manusia dengan jenisnya ini – baik keterpisahan individual, kesukuan, maupun kebangsaan – tidak ada wujūdnya dalam tabiat alam dan dalam realita. Pandangan seperti ini lebih tepat untuk melapangkan perasaan manusia terhadap alam semesta dengan segala semangat, kekuatan, dan hal-hal tersembunyi yang meramaikannya. Kadang-kadang manusia tidak mengetahuinya, tetapi secara praktis ia berada di sekitarnya. Maka, manusia bukanlah satu-satunya penghuni bumi sebagaimana yang kadang-kadang dirasakannya.
Selanjutnya di sana terdapat kaitan antara konsitensi makhlūq di atas jalan yang lurus dengan gerakan alam beserta segala akibatnya, dan ketentuan Allah terhadap hamba-hambaNya:
“Jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. Barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam ‘adzāb yang amat berat.” (al-Jinn: 16-17).
Hakikat ini membentuk satu sisi tashawwur Islami mengenai hubungan antara manusia, alam semesta, dan taqdīr Allah.
Demikianlah surah ini memberikan isyārat kepada lapangan-lapangan yang luas dan jauh. Ia adalah surah dengan ayat tidak lebih dari dua puluh delapan ayat, yang diturunkan pada suatu peristiwa dan nuansa tertentu.
Adapun peristiwa yang disyāratkan oleh surah ini adalah peristiwa mendengarkan al-Qur’ān yang dilakukan segolongan jinn. Mengenai hal ini terdapat beberapa macam riwayat yang berbeda-beda.
Imām al-Ḥāfizh Abū Bakar al-Baihaqī meriwayatkan di dalam kitabnya Dalā’il-un-Nubuwwah bahwa telah diberitahukan kepadanya oleh Abul-Ḥasan ‘Alī bin Aḥmad bin ‘Abdān dari Aḥmad bin ‘Ubaid ash-Shaffār, dari Ismā‘īl al-Qādhī, dari Musaddad, dari Abū ‘Awānah, dari Abū Basyar, dari Sa‘īd bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbās r.a., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah membacakan al-Qur’ān kepada bangsa jinn, dan beliau tidak melihat mereka. Rasūlullāh s.a.w. pergi kepada sekelompok sahabat yang hendak pergi ke Pasar ‘Ukkāzh.
Sementara itu, telah dihalangi antara syaithān-syaithān dan berita langit. Dikirimkan kepada mereka panah-panah api. Lalu syaithān-syaithān itu kembali kepada kaumnya. Maka, kaumnya bertanya: “Mengapa kamu?” Mereka menjawab: “Telah dihalangi antara kami dan berita langit, dan dikirimkan panah-panah api kepada kami.” Mereka berkata: “Tidaklah dihalangi antara kamu dan berita langit melainkan karena ada sesuatu yang terjadi. Karena itu, pergilah ke bumi bagian timur dan bagian barat, dan lihatlah apa yang menghalangi antara kamu dan berita langit itu.” Lalu mereka pergi ke bumi bagian timur dan bagian barat untuk mencari sesuatu yang menghalangi antara mereka dan berita langit.
Pergilah rombongan yang ke Tihāmah itu menuju Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau di bawah pohon kurma hendak ke Pasar ‘Ukkāzh. Ketika itu beliau melakukan shalat shubuḥ bersama sahabat-sahabat beliau. Saat rombongan jinn itu mendengar al-Qur’ān, maka mereka dengarkan dengan sungguh-sungguh, lalu mereka berkata: “Inilah, demi Allah, yang menghalangi antara kamu dan berita langit.” Maka, ketika mereka kembali kepada kaumnya, mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan” (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.” Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya s.a.w.: “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān)” Sesungguhnya, yang diwahyukan kepada beliau itu adalah apa yang diucapkan oleh bangsa jinn itu.” (Imām Bukhārī meriwayatkan dari Musaddad hadits yang mirip dengan ini, dan Imām Muslim meriwayatkan dari Syaibān Ibnu Fārūkh dari Abū ‘Awānah dengan teks ini).
Di samping itu juga terdapat riwayat lain. Imām Muslim meriwayatkan di dalam Shaḥīḥ-nya bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Muḥammad ibn-ul-Mutsannā dari ‘Abd-ul-A‘lā, dari Dāūd Ibnu Abī Hindin, dari ‘Āmir, dia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Alqamah, apakah Ibnu Mas‘ūd hadir bersama Rasūlullāh s.a.w.: “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Mas‘ūd r.a.: “Apakah ada seseorang di antara anda yang hadir bersama Rasūlullāh s.a.w. pada malam peristiwa jinn itu?” Dia menjawab: “Tidak, tetapi kami pernah bersama Rasūlullāh s.a.w. pada suatu malam, lalu kami kehilangan beliau. Kemudian kami cari beliau di lembah-lembah dan bukit-bukit. Lalu ada yang bertanya: “Apakah beliau dibawa pergi? Apakah beliau dibunuh dengan sembunyi-sembunyi?”
Anas berkata: “Maka kami bermalam dengan penuh kesedihan. Ketika pagi hari, tiba-tiba beliau muncul, datang dari arah Ḥirā’. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasūlullāh, kami telah kehilangan engkau, lantas kami mencari-cari engkau tetapi tidak kami jumpai, kemudian beliau berkata: “Aku diundang oleh utusan jinn, maka aku pergi bersama mereka, lalu kubacakan al-Qur’ān kepada mereka.” Anas berkata: “Kemudian Rasūlullāh membawa kami pergi, lantas beliau tunjukkan kepada kami bekas-bekas mereka dan bekas-bekas api mereka.” Kemudian para sahabat bertanya kepada beliau tentang makanan bangsa jinn, lalu beliau bersabda: “Semua tulang yang disebut nama Allah atasnya yang ada di tangan kamu, lebih banyak dagingnya, dan semua kotoran hewan kamu.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Maka, janganlah kamu beristinja’ (bersuci) dengan keduanya (tulang dan kotoran hewan), karena keduanya itu adalah makanan kawan-kawan kamu itu.”
Juga terdapat riwayat dari Ibnu Mas‘ūd bahwa pada malam itu dia bersama Rasūlullāh s.a.w., tetapi isnād riwayat pertama lebih dapat dipercaya. Karena itu, kami buang riwayat ini dan yang serupa dengannya. Dari kedua riwayat yang terdapat di dalam Shaḥīḥain tampaklah bahwa Ibnu ‘Abbās berkata: “Sesungguhnya, Rasūlullāh s.a.w. tidak mengetahui kedatangan sekelompok jinn itu.” Sedangkan, Ibnu Mas‘ūd mengatakan bahwa mereka mengundang beliau. Maka al-Baihaqī mengkompromikan kedua riwayat itu bahwa peristiwa itu terjadi dua kali, bukan cuma sekali.
Ada riwayat ketiga yang diriwayatkan oleh Ibnu Isḥāq, katanya: “Setelah Abū Thālib meninggal dunia, orang-orang Quraisy menyakiti Rasūlullāh s.a.w. yang belum pernah mereka lakukan semasa hidup Abū Thālib. Maka, pergilah Rasūlullāh s.a.w. ke Thā’if untuk meminta bantuan kepada suku Tsaqīf dan meminta perlindungan dari gangguan kaumnya. Beliau berharap mereka akan menerima ajaran (agama) yang beliau terima dari Allah, lalu beliau pergi ke sana seorang diri.”
Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Yazīd bin Ziyād, dari Muḥammad bin Ka‘ab al-Qurazhī, dia berkata: “Ketika Rasūlullāh s.a.w. telah sampai ke Thā’if, beliau mendatangi sekelompok orang Tsaqīf ketika menjadi pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh penduduk Thā’if. Mereka itu adalah tiga bersaudara, yaitu Balīl bin ‘Amr bin ‘Umair, Mas’ud bin ‘Amr bin ‘Umair, dan Habib bin ‘Amr bin ‘Umair. Salah seorang dari mereka beristrikan seorang wanita Quraisy dari Bani Jamḥ.
Maka, Rasūlullāh s.a.w. duduk di dekat mereka dan mengajak mereka untuk memeluk agama Allah. Disampaikan pula kepada mereka maksud kedatangan beliau kepada mereka untuk meminta mereka menjadi pembela Islam dan bersama-sama beliau menghadapi orang-orang yang menentangnya. Lalu salah seorang dari mereka berkata kepada beliau: “Aku akan merobek-robek kain Ka‘bah jika Allah mengutusmu!” Yang lain berkata: ‘Apakah Allah tidak mendapatkan seseorang selain engkau untuk diutusnya sebagai rasūl?” Dan yang ketiga berkata: “Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya. Sesungguhnya jika engkau itu seorang rasūl dari Allah sebagaimana yang engkau katakan, maka sesungguhnya engkau lebih berbahaya daripada kalau aku menimpali perkataanmu. Dan, kalau engkau berdusta atas nama Allah, maka tidak layak aku berbicara kepadamu.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. berdiri dari sisi mereka, dan beliau merasa putus-asa terhadap kebaikan suku Tsaqīf. Maka, beliau berkata kepada mereka, menurut yang saya ingat: “Kalau kamu melakukan sesuatu yang hendak kamu lakukan, maka sembunyikanlah dariku.” Rasūlullāh s.a.w. tidak ingin informasi ini sampai kepada kaum beliau, karena dapat memicu permusuhan di antara mereka.
Mereka tidak melakukan tindakan itu sendiri. Mereka menghasut orang-orang jāhil dan budak-budak mereka untuk mencaci-maki dan meneriaki Rasūlullāh. Sehingga, orang-orang berkerumun padanya dan melindungi beliau dengan membawanya ke kebun milik ‘Utbah bin Rabī‘ah dan Syaibah bin Rabī‘ah, dan kedua orang ini sedang berada di dalam kebun itu. Kedua anak Rabī‘ah itu melihat beliau dan melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dari penduduk Thā’if itu. Maka, kembalilah orang-orang Tsaqīf yang tadi mengikuti beliau. Lalu beliau berteduh di bawah pohon anggur dan duduk di bawahnya. Maka, setelah hati Rasūlullāh s.a.w. tenang, beliau mengucapkan, seingat saya:
اللهُمَّ إِلَيْكَ أَشْكُوْا ضَعْفَ قُوَّتِيْ، وَ قِلَّةِ حِيْلَتِيْ، وَ هَوَانِيْ عَلَى النَّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، أَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَ أَنْتَ رَبِّيْ، إِلَى مَنْ تَكِلُنِيْ؟ إِلَى بَعِيْدٍ يَتَهَجَّمَنِيْ؟ أَمْ إِلَى عَدُوٍّ مَلَكَتْهُ أَمْرِيْ؟ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِيْ، وَ لكِنْ عَافِيَتُكَ هِيَ أَوْسَعُ لِيْ. أَعُوْذُ بِنُوْرِ الَّذِيْ أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتِ، وَ صَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِيْ غَضَبَكَ، أَوْ يَحِلَّ عَلَيَّ سَخَطُكَ، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ…..
“Ya Allah, kuadukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, kecilnya upayaku, dan penghinaan manusia terhadap diriku. Wahai Yang Paling Pemurah dari orang-orang yang pemurah, Engkaulah Tuhan orang-orang yang tertindas, dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah gerangan Engkau akan menyerahkan aku? Apakah kepada orang jauh yang akan menganiayaku? Ataukah kepada musuh yang Engkau beri dia kekuasaan atas urusanku? Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, maka aku tidak peduli. Akan tetapi, pengampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan dan menjadikan baiknya urusan dunia dan akhirat. Janganlah Engkau turunkan kemarahan-Mu kepadaku atau Engkau timpakan kemurkaan-Mu kepadaku. Karena Engkaulah aku mencari keridhaan hingga Engkau ridha, dan tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu.”
Ketika kedua anak Rabī‘ah itu melihat beliau dan apa yang beliau alami, maka tergeraklah rasa kasih-sayang mereka. Lalu, dipanggil budaknya yang beragama Nashrani dan bernama Addas, dan dikatakan kepadanya: “Ambillah sepotong anggur, lalu letakkan ke dalam baki, kemudian bawalah kepada orang itu dan persilakan dia memakannya.” Addas melaksanakan perintah itu. Kemudian ia taruh anggur itu di hadapan Rasūlullāh s.a.w. dan ia berkata kepada beliau: “Makanlah!” Maka ketika Rasūlullāh meletakkan tangan beliau pada buah itu, beliau mengucap basmalah lalu memakannya.
Addas memperhatikan wajah beliau, lalu berkata: “Demi Allah, perkataan itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepadanya: “Dari penduduk manakah engkau wahai Addas, dan apa agamamu?” Addas menjawab: “Nashrani, dan saya berasal dari Ninawa.” Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Dari negeri orang shalih Yūnus bin Matā?” Addas balik bertanya: “Dari mana engkau mengenal Yūnus bin Mata?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Dia itu saudaraku, seorang nabi, sedang aku juga seorang nabi.” Lalu Addas memeluk Rasūlullāh s.a.w. seraya mencium kepala, tangan, dan kaki beliau.
Muḥammad bin Ka‘ab al-Qurazhī (perawi hadits) berkata: “Kedua anak Rabī‘ah itu berkata satu sama lain: “Budakmu telah merusak nama baikmu.” Ketika Addas datang ke hadapan mereka, maka mereka berkata kepadanya: “Celakalah engkau wahai Addas, mengapa engkau mencium kepala, kedua tangan, dan kedua kaki orang itu?” Addas menjawab: “Wahai tuanku, di muka bumi ini tidak akan ada sesuatu yang lebih baik dari dia. Ia telah memberitahukan kepadaku sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh seorang nabi.” Lalu mereka berkata kepada Addas: “Celakalah engkau wahai Addas! Jangan sekali-kali engkau dipalingkannya dari agamamu, karena sesungguhnya agamamu itu lebih baik daripada agamanya.”
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. kembali dari Thā’if ke Makkah, ketika beliau sudah merasa putus-asa terhadap kebaikan suku Tsaqif. Maka, saat beliau sedang menunaikan shalat di tengah malam di bawah pohon anggur, ada serombongan jinn sebagaimana disebutkan Allah melewati beliau, dan mereka (bangsa jinn) itu – seingat saya – berjumlah tujuh jinn dari jinn penduduk Nashibin, lalu mereka mendengarkan Nabi. Kemudian setelah Nabi s.a.w. selesai shalat, mereka pergi kepada kaumnya dan memberi peringatan kepada mereka. Mereka beriman dan menyambut apa yang mereka dengar itu. Kemudian Allah menceritakan perihal mereka ini kepada Rasūlullāh s.a.w. dengan firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jinn kepadamu yang mendengarkan al-Qur’ān, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur’ān) yang telah diturunkan sesudah Mūsā yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari ‘adzāb yang pedih.” (al-Aḥqāf: 29-31).
Juga firman-Nya dalam surah al-Jinn hingga akhir kisah jinn dalam surah ini.”
Imām Ibnu Katsīr mengomentari riwayat Ibnu Isḥāq ini di dalam tafsirnya. Ia berkata: “Riwayat ini shaḥīḥ, tetapi mengenai perkataannya bahwa bangsa jinn mendengarkan pada malam itu, perlu dipikirkan. Karena, bangsa jinn sudah mendengar al-Qur’ān sejak permulaan wahyu diturunkan sebagaimana ditunjuki oleh hadits Ibnu ‘Abbās tersebut. Sedangkan, kepergian Nabi s.a.w. ke Thā’if itu adalah setelah meninggalnya paman beliau. Peristiwa itu terjadi setahun atau dua tahun sebelum hijrah, sebagaimana ditetapkan oleh Ibnu Isḥāq dan lain-lainnya. Wallāhu a‘lam.”
Kalau riwayat Ibnu Isḥāq itu shaḥīḥ, bahwa peristiwa itu terjadi setelah Rasūlullāh s.a.w. kembali dari Thā’if dengan perasaan sedih karena sambutan yang jelek dan keras kepala dari pembesar-pembesar Tsaqīf, dan setelah beliau memanjatkan doa yang penuh keprihatinan kepada Allah, maka dari sisi ini peristiwa itu betul-betul mengagumkan. Pasalnya, Allah mendatangkan sekelompok jinn kepada beliau, dan memberitahukan kepada beliau apa yang dilakukan oleh bangsa jinn itu beserta apa yang mereka katakan kepada kaumnya. Dalam perisitwa ini, terdapat beberapa petunjuk yang halus dan mengesankan.
Kapan pun terjadinya peristiwa itu dan dalam kondisi bagaimanapun, maka tidak diragukan lagi bahwa itu adalah urusan besar. Besar dalam petunjuk-petunjuk dan kandungannya, dan besar pula nilai perkataan bangsa jinn tentang al-Qur’ān dan agama Islam ini.
Maka, marilah kita telusuri semua ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh al-Qur’ān-ul-Karīm.