Rahasia tentang hal-hal ghaib terdiri dari dua kategori, yaitu rahasia yang khusus bagi Allah s.w.t. dan tidak diketahui oleh orang-orang lain, seperti waktunya Hari Kiamat, dan rahasia yang disampaikan oleh Allah s.w.t. kepada para rasūl-Nya a.s. dan para wali-Nya. Dijelaskan dalam Nahj-ul-Balāghah tentang khuthbah tersebut di atas: “Pengetahuan tentang hal ghaib hanya terletak pada pengatahuan tentang [waktu] Hari Kiamat dan apa yang disebutkan dalam ayat al-Qur’ān (31: 34): “Sesungguhnya, hanya di sisi Allah-lah terdapat pengetahuan tentang Hari Kiamat, Dia menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim-rahim. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang dia akan peroleh esok hari, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi manakah dia akan mati.”
Untuk lebih menjelaskan makna tentang ayat al-Qur’ān tersebut, Imām ‘Alī a.s. menambahkan: “Allah s.w.t. Maha Mengetahui yang ada dalam rahim, apakah seorang janin laki-laki ataukah perempuan, buruk ataukah bagus wajahnya, pemurah hati ataukah kikir, beruntung ataukah malang, seorang calon penghuni neraka ataukah penghuni surga. Ini semua merupakan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib, yang tidak diketahui siapa pun, selain Allah s.w.t. Pengetahuan demikian adalah berbeda dari yang Allah s.w.t. ajarkan kepada Muḥammad s.a.w. dan beliau menyampaikan hal yang sama padaku.” (2331).
Sebagian orang mungkin tahu mengenai turunnya hujan dan sebagainya, tapi pengetahuan yang pasti dan detail hanya milik Allah. Demikian pula, kita tidak mengetahui tentang detail Hari Kiamat, dan pengetahuan kita tentang Hari Kiamat hanyalah sebagian kecil saja. Pengetahuan yang hanya sebagian itu dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. mengenai kelahiran atau akhir kehidupan dari orang tertentu.
Dikemukakan pula bahwa rahasia tentang hal-hal yang ghaib tercatat di dua tempat. Pertama di Lauḥ-ul-Maḥfūzh, khazanah pengetahuan yang dimiliki hanya oleh Allah s.w.t. Tidak mengalami perubahan dan tidak dimiliki oleh siapa pun selain Dia. Kedua adalah Lembaran Catatan tentang Penghapusan dan Penetapan (mahwu wa itsbāt), yaitu pengetahuan tentang syarat waktu dan bukan sebab sempurna (‘illat tammah). Dari sinilah catatannya bisa berubah.
Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s.: “Allah s.w.t. memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh siapa pun dan Dia memiliki pengetahuan (lain lagi) yang disampaikan kepada para malaikat dan rasūl-Nya a.s. Pengetahuan inilah yang disampaikan kepada kita.” (2342).
Diriwayatkan dari Imām ‘Alī bin Ḥusain a.s.: “Seandainya tidak ada ayat al-Qur’ān, niscaya aku tidak akan mengetahui tentang peristiwa masa lalu dan yang akan terjadi hingga Hari Kiamat.” Seseorang bertanya: “Ayat manakah yang engkau maksud?” Beliau menjawab: “Allah s.w.t. menyatakan bahwa Dia menghapus apa pun yang Dia kehendaki dan Dia menetapkan apa pun yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya terdapat Induk Kitāb [Lauḥ-ul-Maḥfūzh].” (2353).
Allah s.w.t. Maha Mengetahui segala rahasia tentang hal yang ghaib, tapi pengetahuan itu tidak dimiliki oleh para rasul-Nya a.s. dan para wali-Nya, kecuali jika Dia menyampaikan rahasia itu kepada mereka.
Ayat al-Qur’ān dan hadits tersebut sebenarnya menyinggung orang-orang yang menganggap dirinya mengetahui rahasia Allah. Seseorang bisa saja meminta orang lain untuk membawa sepucuk surat dan memberikannya kepada orang lain. Si pembawa tidak mengetahui isi dari surat itu, tetapi dia mungkin membukanya dan membaca isi surat tersebut. Dalam hal demikian, penulis surat mungkin memberi idzin kepada pengantar surat tersebut atau tidak untuk membacanya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang tercatat dalam al-Kāfī pada bab yang berjudul: “Para Imām a.s. diajarkan apa yang mereka ingin ketahui (Inn-al-a’immata idzā syā’ū an ya‘lamu ‘ulimū).”
Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s.: “Apabila seorang Imām bermaksud untuk mengetahui sesuatu, Allah s.w.t. akan mengajarkannya.” (2364) Metode ini menyelesaikan banyak persoalan berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. Contohnya adalah ketika mereka makan makanan atau minum air beracun; padahal tidak dibolehkan bagi seseorang untuk menghancurkan kehidupannya, ketika dia mengetahui bahayanya. Dalam kasus ini dijelaskan bahwa Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. tidak dibolehkan mendapatkan pengetahuan rahasia tentang hal yang ghaib.
Mungkin mereka tidak mengetahui tentang sesuatu, atau barangkali ketidaktahuan itu merupakan ujian yang dengan melaluinya mereka akan mencapai kesempurnaan. Diriwayatkan dalam kisah Laylat-ul-Mabīt bahwa Imām ‘Alī a.s. tidur di tempat tidur Nabi s.a.w. (di malam Hijrah) sebagai pengganti beliau. Akan tetapi diriwayatkan oleh Imām a.s., dia tidak mengetahui bahwa kaum musyrik Quraisy telah berniat untuk menyerang Nabi s.a.w. di waktu fajar. Dalam kasus seperti itu Imām ‘Alī a.s. bisa saja dibunuh atau ingin menyelamatkan nyawanya. Dalam kasus itu, Imām a.s. tidak dibolehkan untuk mengetahui rahasia sehingga ujian Allah dapat terwujud. Seandainya Imām a.s. mengetahui bahaya yang mengancam nyawanya, mungkin ayat-ayat al-Qur’ān dan hadits-hadits tidak akan menyebut-nyebut tindakannya yang sangat berani itu sebagai pengorbanan untuk Nabi s.a.w.
Sejumlah hadits mengatakan bahwa orang yang bersedia mengakui pengetahuan para Imām a.s. tentang hal-hal yang ghaib akan dikenalkan pada kebenaran. Abū Bashīr dan beberapa sahabat terkemuka Imām Shādiq a.s. menghadiri sebuah majelis. Beliau menyatakan keheranan bahwa sebagian orang memiliki kesan yang salah, yaitu bahwa para Imām a.s. memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Faktanya adalah sebaliknya. Hanya Allah s.w.t. Yang Maha Mengetahui tentang hal-hal yang ghaib,
Beliau bermaksud menghukum hamba sahayanya, namun hamba sahayanya melarikan diri dan beliau tidak mengetahui di manakah hamba sahaya itu bersembunyi. (2375) Perawi hadits menyatakan bahwa ketika Imām a.s. meninggalkan majelis itu, dia dan beberapa sahabat lainnya pergi ke rumah Imam dan berkata: “Semoga aku menjadi tebusanmu! Engkau berkata kepada kami mengenai hamba sahayamu, sedangkan kami yakin bahwa engkau mengetahui banyak ilmu.” Beliau menjawab: “Hanya saja kami tidak menyebutkan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib.”
Kemudian Imām menjelaskan kepada mereka, yang menunjukkan bahwa pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib itu memang telah sampai kepadanya.
Sangat jelas bahwa sebagian orang yang menghadiri majelis itu tidak siap secara intelektual untuk memahami kedudukan mulia Imām a.s. Lima metode ini tidak saling bertentangan. Sebaliknya, semuanya adalah benar dan dapat diterima akal sehat.
Terdapat juga metode lain yang dapat membuktikan adanya pengetahuan parsial tentang hal-hal yang ghaib sebagaimana dimiliki oleh para Imām a.s. dan para pemimpin kaum muslim. Pertama, diketahui bahwa lingkup dari misi mereka tidak terbatas pada tempat dan waktu yang khusus, tapi bersifat universal dan abadi. Bagaimana seorang individu dapat ditunjuk untuk melaksanakan misi universal sedangkan dia berada di waktu dan ruang yang terbatasnya? Bagaimana bisa seseorang ditunjuk sebagai penguasa suatu wilayah yang luas sedangkan dia tidak mengetahuinya, dan bagaimana bisa dia berhasil dalam melaksanakan misinya?
Dengan kata lain, Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. diberi kuasa untuk menyampaikan dan menerapkan hukum-hukum Allah hingga mereka memenuhi tuntutan seluruh umat manusia. Jaminan keberhasilan misi tersebut mengharuskan mengetahui pengetahuan (parsial) tentang rahasia dari hal-hal yang ghaib. Kedua, jika kita memperhatikan tiga ayat al-Qur’ān di bawah ini, kita akan melihat bahwa ayat tersebut memperjelas persoalan tentang pengetahuan Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. mengenai rahasia hal-hal yang ghaib. Mengenai ‘Āshif bin Barkhiya yang mendatangkan singgasana Ratu Balqis (Saba’) kepada Sulaimān a.s. dalam satu kedipan mata saja, al-Qur’ān (27: 40) menyatakan: “Seseorang yang memiliki pengetahuan dari al-Kitāb berkata: “Aku akan mendatangkannya [singgasana itu] kepadamu sebelum matamu berkedip.” Lalu ketika Sulaimān melihat bahwa singgasana itu ditempatkan di hadapannya, dia berkata: “Ini termasuk di antara karunia Tuhanku.” Menurut ayat al-Qur’ān lainnya (13: 43): “Katakanlah: “Cukuplah Allah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab menjadi saksi antara aku dan kamu.”
Diriwayatkan dalam sejumlah hadits, tercatat dalam sumber-sumber Sunnī dan Syī‘ah, dari Abū Sa‘īd Khudrī bahwa dia bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. mengenai makna ayat “orang yang memiliki pengetahuan dari al-Kitāb (alladzī ‘indahū ‘ilmun min-al-kitāb).” Beliau menjawab: “Orang itu adalah orang kepercayaan dari saudaraku, Sulaimān bin Dāūd.” Aku bertanya tentang “dan orang yang memiliki pengetahuan tentang (seluruh) al-Kitāb (wa man ‘indahū ‘ilm-ul-kitāb),” maka beliau menjawab: “Orang itu adalah saudaraku, ‘Alī bin Abī Thālib.” (2386).
“Pengetahuan dari al-Kitāb” berkenaan dengan ‘Āshif bin Barkhiya yang memiliki pengetahuan parsial, sedangkan “pengetahuan tentang (seluruh) al-Kitāb” berkenaan dengan ‘Alī a.s. yang memiliki pengetahuan universal. Dengan demikian, perbedaan di antara ‘Āshif dan ‘Alī a.s. berkenaan dengan kedudukan mereka menjadi jelas.
Selanjutnya, ayat al-Qur’ān (16: 89): “Kami turunkan kepadamu al-Kitāb sebagai penjelasan tentang segala sesuatu”, dengan gamblang menjelaskan bahwa orang yang memiliki pengetahuan tentang rahasia al-Kitāb seharusnya mengetahui rahasia tentang hal-hal yang ghaib. Pembahasan lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib ini dapat ditemukan pada 6: 50, 59; 7: 188).
Ayat terakhir dari surah al-Jinn, ayat 28, menyebutkan alasan yang berada di balik kehadiran para penjaga: “[Allah] melindungi mereka hingga Dia mengetahui bahwa sesungguhnya para rasūl itu telah menyampaikan risahal-risalah Tuhan mereka. Dan ilmu-Nya meliputi segala apa yang menyangkut mereka dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.” Pengetahuan aktual inilah yang dimaksudkan oleh frase ‘Arab ‘ilm (“pengetahuan”). Dengan kata lain, ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah s.w.t. tidak mengetahui sesuatu tentang para rasūl-Nya a.s., tapi Dia bahkan memiliki pengetahuan setelah itu, karena kemahatahuan Allah adalah tidak terbatas, kekal dan abadai. Ayat ini menyatakan bahwa pengetahuan Allah mungkin diwujudkan di alam keberadaan objektif, yaitu bahwa para rasūl-Nya a.s. sesungguhnya telah menyampaikan seruan kenabian mereka, dan membekali umat manusia dengan pengetahuan yang paripurna.
Tuhanku! Anugerahilah atas kami berkah-berkah pengetahuan spiritual dan ketaatan kepada-Mu!