Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (4/5)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

AYAT 25-28

قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا. عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا.

072: 25. Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?”

072: 26. Dia Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib, namun Dia tidak mengungkapkan kepada siapa pun rahasia-rahasia tentang hal-hal ghaib itu.

072: 27. Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (para malaikat) di depan dan di belakangnya.

072: 28. [Allah] melindungi mereka hingga Dia mengetahui bahwa sesungguhnya para rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka. Dan ilmu-Nya meliputi segala apa yang menyangkut mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.

 

TAFSIR

Penegasan al-Qur’ān tentang bentuk kata kerja imperatif ‘Arab qul (“katakanlah!”) jumlahnya melebihi tiga ratus buah. Dijelaskan pada ayat sebelumnya bahwa ejekan dan ketidaktaatan dari orang-orang demikian berlanjut hingga adzab Allah turun menimpa mereka.

Beberapa kaum musyrik, seperti Nadhr bin Ḥārits, mengajukan pertanyaan yang sama setelah turunnya ayat sebelumnya. Ayat al-Qur’ān dalam pembahasan ini memberikan respon, yang bunyinya: “Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?”” Pengetahuan tentang masa yang ditentukan itu hanya milik Allah s.w.t. Dia menghendaki hal tersebut tidak diketahui oleh hamba-Nya hingga dapat berfungsi sebagai sarana ujian bagi manusia. Seandainya mereka mengetahui waktunya, maka ujian akan menjadi kurang berpengaruh.

Frase ‘Arab amad bermakna waktu, tetapi menurut Mufradat-nya Rāghib, frase ‘Arab zaman berkonotasi awal dan akhir. Amad hanya diterapkan dalam konteks akhir dari sesuatu berkenaan dengang temporalitas. Abad dan amad secara semantik sama, perbedaannya ada karena kata pertama diaplikasikan bagi waktu yang tak terbatas, tapi kata kedua menyiratkan tentang waktu yang terbatas, betapa pun lamanya itu.

Tema yang sama sering kali ditegaskan dalam al-Qur’ān. Setiap kali Nabi s.a.w. ditanya mengenai Hari Kiamat, beliau akan menyatakan bahwa pengetahuan tentang itu hanya ada pada Allah Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib saja. Menurut hadits Nabi s.a.w. Jibrīl a.s. pernah penyamar sebagai seorang Badui, muncul di hadapan Nabi s.a.w. dan mengajukan sejumlah pertanyaan termasuk tentang kapan Hari Kiamat itu terjadi. Nabi s.a.w. menjawab bahwa orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada orang yang bertanya. Orang ‘Arab Badui itu mengulangi pertanyaannya bahkan dengan lebih keras lagi. Nabi s.a.w. menjawab: “Celaka engkau! Hari Kiamat pasti akan tiba, lalu apa yang telah engkau persiapkan untuk Hari itu?” (2241).

Ayat ke-27 mengemukakan aturan umum mengenai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib dan menyatakan bahwa Allah s.w.t. adalah Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib, tapi Dia tidak memberikan pengetahuan tentang rahasia itu kepada siapa pun. Menurut ayat berikut, Dia mengutus seorang rasūl dan meridainya. Allah s.w.t. memberikan Rasūl itu pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib melalui wahyu. Ada dua kategori dari ayat al-Qur’ān yang membicarakan pengetahuan tentang hal yang ghaib, yaitu hal ghaib yang khusus bagi Allah s.w.t., seperti ayat:

Dan di sisi-Nya terdapat kunci-kunci tentang hal-hal yang ghaib, tidak ada yang mengetahui-Nya kecuali Dia Sendiri.” (QS. al-An‘ām [6]: 59).

Katakanlah: “Tiada satu pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan”.” (QS. an-Naml [27]: 65).

Sekiranya aku mengetahui hal-hal yang ghaib, tentulah aku akan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku.” (QS. al-A‘rāf [7]: 188).

Katakanlah: “Sesungguhnya, hal-hal yang ghaib itu adalah milik Allah semata”.” (QS. Yūnus [10]: 20).

Kategori kedua dari ayat al-Qur’ān yang mengisyaratkan bahwa para wali Allah s.w.t. hingga tingkatan tertentu mengetahui hal-hal yang ghaib, seperti ayat.

Dan Allah tidak akan menyingkapkan kepada kamu rahasia-rahasia tentang hal-hal yang ghaib, akan tetapi allah memilih para rasul-Nya yang Dia kehendaki (untuk itu).” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 179).

Mengenai mu‘jizat yang dimiliki Nabi ‘Īsā a.s., ayat al-Qur’ān (3: 49) mengatakan: “Aku akan memberitahukan kalian tentang apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumah-rumah kalian.” Dengan memperhatikan pengecaulian yang dijelaskan pada ayat berikutnya, jelas bahwa Allah s.w.t. memberikan para rasul a.s. pengetahuan tentang sebagian hal-hal yang ghaib.

Selanjutnya, sejumlah ayat al-Qur’ān mengenai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib, seperti:

Bangsa Romawi telah dikalahkan di negeri terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu, kelak [dalam beberapa tahun], akan menang.” (QS. ar-Rūm [30]: 2-3).

Dia Yang telah memberimu al-Qur’ān, sungguh akan mengembalikanmu ke tempat kembali, [yaitu Makkah].” (QS. al-Qashash [28]: 85).

Sungguh engkau akan memasuki Masjid-il-Ḥarām jika Allah kehendaki, dalam keadaan aman.” (QS. al-Fatḥ [48]: 27).

Wahyu Allah yang diturunkan kepada para rasūl-Nya adalah sesungguhnya semacam pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang bisa dikabarkan kepada umat manusia. Lantas, bagaimana orang dapat menyatakan bahwa para rasul itu tidak mengetahui hal yang ghaib, sedangkan wahyu Allah diturunkan kepada mereka? Selain itu sejumlah hadits mengisyaratkan bahwa Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. hingga tingkatan tertentu mengetahui hal-hal yang ghaib dan adakalanya menyampaikan hal-hal yang ghaib itu.

Sebagai contoh, diriwayatkan dalam kisah tentang penaklukan Makkah bahwa Ḥāthib bin Abī Balta‘ah menulis sepucuk surat kepada penduduk Makkah dan meminta seorang perempuan bernama Sarah untuk menyerahkannya kepada kaum musyrik Makkah. Dengan cara itu, dia membocorkan informasi tentang serangan yang akan dilakukan tentara muslim kepada kamu musyrik. Sarah menyembunyikan surat tersebut di rambutnya dan berangkat menuju Makkah. Nabi s.a.w. pengutus Imām ‘Alī a.s. dan beberapa muslim lainnya untuk menghadangnya di suatu tempat perhentian yang dinamakan Kebun Khakh dan menyita surat Ḥāthib yang ditujukan kepada kaum musyrik Makkah itu. Ketika berhadapan dengan mereka, Sarah menyangkal membawa surat, tapi akhirnya mengakui dan menyerahkan surat tersebut kepada mereka. Detail tentang kisah tersebut dan sanadnya dapat ditemukan dalam surah ke-60 (sūrat-ul-Mumtaḥanah).

Contoh lain tentang pengetahuan hal-hal ghaib diriwayatkan dalam kisah tentang Perang Mu‘tah dan kesyahidan Ja‘far bin Abī Thālib serta beberapa komandan militer muslim lainnya, yang disampaikan oleh Nabi s.a.w. kepada kaum muslim padahal beliau sedang berada di Madīnah. Ada banyak contoh serupa dalam kisah-kisah biografi Nabi s.a.w. (2252).

Prediksi tentang sejumlah peristiwa dapat ditemukan dalam Nahj-ul-Balāghah, yang menjelaskan bahwa Imam ‘Alī a.s. mengetahui rahasia tentang hal-hal ghaib. Sebuah contoh dapat ditemukan pada khuthbah ke-13 yang membicarakan tentang kejahatan-kejahatan warga Basrah, bunyinya: “Seolah-olah aku melihat bahwa adzab Allah telah menimpa kalian dari langit dan bumi, lalu kalian semua tenggelam. Puncak dari masjid jelas terlihat seperti bagian depan kapal di dalam air.”

Sejumlah prediksi Imām a.s. dapat ditemukan dalam riwayat lain yang tercatat di sumber Sunnī dan Syī‘ah. Salah satu contohnya adalah ketika Imām a.s. memberitahu Ḥujr bin Qais bahwa dia akan dipaksa untuk mengutuk Imām a.s. setelah kematian beliau. (2263) Mengenai Marwān, Imām a.s. berkata bahwa selama bertahun-tahun kelak, dia akan membawa panji-panji kebatilan. (2274) Kumail bin Ziyād berkata kepada Ḥajjāj bahwa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī a.s. telah memberitahu dia bahwa Ḥajjāj akan membunuhnya. (2285). Mengenai kaum Khawārij dalam Perang Nahrawān, beliau berkata bahwa tidak lebih dari sepuluh orang pengikut Imām a.s. yang akan gugur dan tidak lebih dari sepuluh orang Khawārij yang akan selamat. (2296) Ketika melewati Padang Karbala, beliau memberitahu Asbagh bin Nabatah tentang tempat pemakaman Imām Ḥusain a.s. (2307) Sejumlah riwayat dalam kitab Fadhā’il-ul-Khamsah dari sumber Sunnī mengenai pengetahuan luar biasa yang dimiliki Imām ‘Alī a.s. ini. Untuk menyebutkan semuanya akan membutuhkan pembahasan panjang-lebar. (2318).

Sejumlah hadits telah diriwayatkan dari Ahl-ul-Bait a.s. mengenai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib yang dimiliki para Imām a.s. Disebutkan dalam kitab al-Kāfī, jilid 1, pengetahuan tersebut secara eksplisit disebutkan. Dua puluh dua hadits dapat ditemukan pada jilid 26 dari kitab Biḥār-ul-Anwār karya ‘Allāmah Majlisī. Umumnya, hadits mengenai hal-hal ghaib yang dimiliki Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. diriwayatkan secara berulang.

Kini, harus dipikirkan cara membangun keselarasan antara ayat al-Qur’ān dan hadits yang membuktikan atau menyangkal tentang hal-hal ghaib. Ada berbagai cara untuk mencapai tujuan demikian.

Salah satu cara yang paling terkenal untuk menyelaraskan keduanya adalah dengan mengemukakan bahwa pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang dinisbatkan kepada Allah s.w.t. adalah hakiki dan tidak tergantung pada siapa pun. Akibatnya, orang lain tidak memiliki pengetahuan sendiri tentang hal-hal ghaib itu diberikan oleh Allah s.w.t. melalui rahmat-Nya. Pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang diberikan kepada orang lain sifatnya hanya sekunder saja. Ayat ini adalah dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa Allah s.w.t. tidak memberitahu siapa pun tentang rahasia-rahasia ghaib, kecuali terhadap para rasūl a.s.

Penjelasannya dikemukakan dalam kitab Nahj-ul-Balāghah. Menurut kitab tersebut, sewaktu Imām a.s. mengungkapkan tentang penyerbuan bangsa Mongol terhadap negeri-negeri Islam, salah seorang sahabat bertanya: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn! Apakah engkau memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib?” Imām yang mulia menjawab sambil tersenyum: “Itu bukan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib, tapi aku telah memperlajarinya dari sebuah sumber yang paling berilmu [yaitu, Nabi Muḥammad s.a.w.].” (2329).

Banyak ulama mengakui kebetulan ini dan berbagai sumber lainnya.

 

Catatan:


  1. 224). Tafsīru Marāghi, jil. 29, hal. 105. 
  2. 225). Ibnu Atsīr, al-Kāmil, jil. 2, hal. 237. 
  3. 226). Mustadrak-ush-Shaḥīḥain, jil. 2, hal. 358. 
  4. 227). Ibnu Sa‘ad, ath-Thabaqāt, jil. 5, hal. 30. 
  5. 228). Ibnu Ḥajar, al-Ishābah, jil. 5, bagian 3, hal. 325. 
  6. 229). Haitsamī, al-Majma‘, jil. 6, hal. 241. 
  7. 230). Riyādh-un-Nadharah, jil. 2, hal. 222. 
  8. 231). Fadhā’il-ul-Khamsah, jil. 2, hal. 231-253. 
  9. 232). Nahj-ul-Balāghah, khuthbah ke-128. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *