Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (3/5)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

AYAT 16-17

وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

072: 16. Jika mereka [jinn dan manusia] tetap berada di jalan yang lurus, sungguh Kami akan memberi minum mereka air yang berlimpah.

072: 17. Untuk Kami uji mereka padanya. Dan barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhannya, niscaya Dia akan menimpakan atasnya adzab yang sangat berat.

 

TAFSIR

Ayat ini berlanjut dengan bahasan tentang jinn mu’min yang berbicara dengan kaum mereka. Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat tersebut adalah perkataan Allah yang diselipkan di antara perkataan jinn, walaupun pernyataan yang disisipkan itu mengandung kesamaan dengan bunyi dari ayat-ayat sebelumnya. Ini menjelaskan perkataan jinn mu’min. Jika kita melihat makna kontekstualnya, kecil kemungkinan bahwa itu bukanlah perkataan jinn.

Ayat sebelumnya membahas ganjaran yang diberikan kepada mereka di dunia ini, bunyinya: “Jika mereka [jinn dan manusia] tetap berada di jalan yang lurus, sungguh Kami akan memberi minum mereka air yang berlimpah.” Allah s.w.t. mengirimkan hujan dan rahmat-Nya serta memberikan kehidupan bagi mereka, dengan air yang berlimpah, dan segala sesuatu dapat ditemukan.

Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s.: “Jika manusia bersabar dan setia dalam ber-wilāyah kepada kami, niscayat mereka akan diberikan pengetahuan yang berlimpah.” (2211) Bentuk nomina ‘Arab ghadaq bermakna air yang berlimpah. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah s.w.t. tidak hanya merupakan sumber-sumber keberkahan spiritual, tapi keimanan dan ketaqwaan juga mengakibatkan melimpahnya harta, kesuksesan dan kemakmuran.

Ayat al-Qur’ān ini menjelaskan bahwa tetabahan dalam keimanan akan menghasilkan kenikmatan yang berlimpah karena keimanan yang hanya sekejap tidak dapat menghasilkan kenikmatan seperti itu.

Ayat ke-17 menyatakan bahwa Allah s.w.t. menguji mereka dengan melimpahnya kenikmatan. Allah s.w.t. ingin melihat apakah bertambahnya kenikmatan itu mengakibatkan keangkuhan dan kelalaian, ataukah mendatangkan kesadaran, syukur dan memberikan perhatian kepada Allah s.w.t.? Melimpahnya kenikmatan berperan sebagai sarana ujian Allah. Ujian seperti itu jauh lebih sulit dan rumit dibandingkan dengan ujian berupa bencana. Ujian berupa kenikmatan biasanya menyebabkan kelemahan, kemalasan, kelalaian dan keterjerumusan dalam kesenangan fisik. Orang-orang yang mengingat Allah s.w.t. di segala waktu dapat memelihara diri mereka. Mereka dapat memelihara pendengaran mereka dari godaan syaithan dengan mengingat Allah s.w.t. di sepanjang waktu.

Ayat ini menyatakan bahwa barang siapa berpaling dari mengingat Allah s.w.t., niscaya akan menderita. Akar frase ‘Arab sha‘ada bermakna “mendaki, naik” dan juga berarti “puncak gunung”. Mendaki puncak gunung dapat mengakibatkan kesulitan. Frase ‘Arab yang seakar dengan sha‘d bermakna perubahan nasib dan kesulitan. Sejumlah mufassir memberikan penafsiran bahwa frase ‘Arab di dalam ayat ini menyiratkan siksaan berat, sebagaimana dijelaskan di surah lain (74: 17): “Aku akan membuatnya harus menghadapi siksaan berat.”

Ungkapan tersebut juga berkonotasi bertambahnya siksaan. Ayat ini menjelaskan hubungan antara keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, yakni bertambahnya kenikmatan di satu sisi, dan hubungannya dengan penambahan kenikmatan sebagai ujian dari Allah di sisi lain.

Ayat tersebut juga membahas tentang hubungan di antara berpalingnya mereka dari mengingat Allah s.w.t. serta siksaan-siksaan yang berat dan terus betambah. Tema-tema serupa dinyatakan di surah lain dalam al-Qur’ān: “Dan barang siapa yang berpaling dari mengingat-Ku, maka baginya kesulitan hidup dan Kami akan membangkitkannya dalam keadaan buta pada Hari Kiamat.” (20: `124); “Ketika dia [Sulaimān a.s.] melihatnya [singgasana Balqis] sudah berada di hadapannya, dia berkata: “Inilah karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku termasuk orang yang bersyukur ataukah yang mengingkari (akan nikmat-Nya)”.” (27: 40); “Ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu hanyalah ujian dan sesungguhnya di sisi Allah terdapat pahala yang besar.” (8: 28).

 

AYAT 18-19

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.

072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu hanya milik Allah, maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun selain kepada Allah.

072: 19. Dan ketika hamba Allah (yaitu Muḥammad s.a.w.) berdiri berdoa kepada-Nya dalam shalat, hampir saja mereka (sekelompok jinn) berdesak-desakan mengerumuninya.

 

TAFSIR

Bentuk nomina ‘Arab masājid adalah bentuk jama‘ dari masjid, yang secara harfiah bermakna “tempat sujud”. Diriwayatkan dari Imam Shādiq a.s.: “Karena kaum Yahudi dan Kristen menyekutukan Allah s.w.t. di tempat-tempat ibadah mereka, maka Allah s.w.t. memutuskan agar kaum muslim tidak seharusnya menyekutukan Allah s.w.t. dengan siapa pun dalam ibadah di tempat-tempat sujud kaum muslimin, [yaitu masjid-masjid]. Allah s.w.t. mengutuk orang yang menunjukkan sikap tidak hormat kepada masjid-masjid.” (2222).

Mengutip para jinn mu’min dalam menyeru para jinn lainnya kepada tauhid, ayat ke-18 menyatakan: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu hanya milik Allah, maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun selain kepada Allah.” Bentuk nomina jama‘ ‘Arab masājid menunjukkan tempat kaum beriman sujud di hadapan Allah s.w.t. Contoh paling sempurna adalah Masjidil Haram [secara harfiah: masjid suci]. Contoh lain termasuk masjid lain, jika ditinjau dari makna bahasa yang lebih luas. Kata ini bisa diterapkan untuk semua tempat kaum beriman mendirikan shalat dan bersujud di hadapan Allah s.w.t. Diriwayatkan dari Nabi s.a.w.: “Bumi seluruhnya berfungsi sebagai tempat sujudku dan penyucianku [maksudnya, tayammum “penyucian ritual dengan pasir, tanah, atau debu dibolehkan apabila air tidak tersedia].” (2233).

Ayat ini memberikan jawaban kepada kaum musyrik ‘Arab dan kepada mereka yang telah mengubah Ka‘bah menjadi kuil berhala. Ayat tersebut juga menunjuk pada orang Kristen yang menganut Trinitas dengan menyembah tiga tuhan. Al-Qur’ān menyatakan bahwa semua tempat ibadah adalah milik Allah s.w.t. dan selain Dia tidak boleh disembah.

Dijelaskan pula di sini bahwa kita pun diperintahkan untuk berwasilah dengan perantaraan Nabi s.a.w. dan syiar-syiar (petunjuk) Allah. Wasilah itu memberikan penekanan atas tauhid dan kebenaran, bahwa segala sesuatu datang dari Allah s.w.t. Wasīlah dan memohon kepada Nabi s.a.w. agar menjadi wasīlah bagi kaum beriman dalam meraih rahmat Allah berulang-ulang dinyatakan dalam al-Qur’ān. Akan tetapi, sebagian orang yang telah jauh dari ajaran Islam dan al-Qur’ān mengingkari jenis wasīlah apa pun tanpa dasar pemikiran yang jelas. Merujuk pada sejumlah ayat al-Qur’ān, termasuk ayat ke-18: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu hanya milik Allah, maka janganlah kamu berdoa kepada seorang pun selain kepada Allah.” Mereka mengklaim bahwa ayat ini menyatakan bahwa kaum beriman tidak seharusnya berwasīlah dengan siapa pun untuk memohon ampunan Allah.

Ayat tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan pandangan mereka yang tidak berdasar itu. Ayat tersebut menyangkal kemusyrikan dalam pengertian bahwa sebagian orang berdosa karena menyekutukan Allah s.w.t. Mereka berdoa kepada benda sesembahan untuk memberikan kenikmatan kepada mereka.

Kata depan ma‘a (“bersama”) dalam kalimat imperatif negatif “janganlah kamu berdoa kepada siapa pun selain kepada Allah,” menyatakan bahwa tidak seharusnya manusia menyekutukan Allah dalam ibadah. Tidak seharusnya juga sesuatu apa pun selain Dia dianggap sebagai sumber yang memiliki perbuatan mandiri dan berkehendak. Sejumlah ayat al-Qur’ān menyeru untuk berwasilah dengan Nabi s.a.w. untuk memohon ampunan Allah.

Disebutkan di dalam dua ayat al-Qur’ān: “Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengannya dan berdoalah kepada Allah bagi mereka, karena doa-doamu itu menjadi sumber ketentraman bagi mereka.” (9: 103); “Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan [dari Allah] bagi dosa-dosa kami, karena sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berdosa. Dia [Ya‘qūb] berkata: “Aku akan memohon ampunan Allah bagi kalian.” (12: 97-98).

Bagi kaum beriman, bertawassul saat berdoa kepada Allah s.w.t. secara jelas disebutkan di dalam al-Qur’ān. Pembahasan-pembahasan tentang wasilah dapat ditemukan pada surah 2: 48 dan surah 5: 35.

Ayat ke-19 menyatakan bahwa ketika Muḥammad s.a.w. berdiri sambil berdoa kepada-Nya dalam shalat, sekelompok jinn berdesak-desakan mengelilinginya. Bentuk nomina ‘Arab libad bermakna sesuatu yang unsur-unsur pokoknya diperkuat. Bisa juga bermakna kumpulan aneh dari jinn mu’min yang mendengarkan ayat al-Qur’ān dalam pertemuan pertama mereka, dan kesan luar biasa dari doa-doa Nabi s.a.w. terhadap mereka.

Dua penafsiran tambahan juga telah dikemukakan. Pertama, jinn mu’min menggambarkan sahabat Nabi s.a.w. di Makkah, yang berkumpul untuk mendengarkan beliau, walaupun jumlah mereka sedikit. Jinn diperintahkan untuk menjalankan ajaran Islam. Menurut keterangan lainnya, kaum musyrik ‘Arab mengejek serta mengganggu Nabi s.a.w. ketika beliau sedang shalat dan membaca ayat-ayat al-Qur’ān. Penafsiran kedua tidak sesuai dengan tujuan para jinn yang bermaksud menyeru para jinn lainnya kepada keimanan, tapi penafsiran kedua tersebut sesuai dengan salah satu dari dua makna sebelumnya.

 

AYAT 20-22

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا.

072: 20. Katakanlah: “Sesungguhnya, aku hanya berdoa kepada Tuhanku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”

072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya, aku tidak mampu mendatangkan mudharat bagimu dan tidak pula aku mampu membawamu ke jalan yang lurus.”

072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang dapat melindungiku dari (hukuman) Allah (jika aku tidak taat kepada-Nya), dan aku tidak mampu menemukan tempat berlindung selain pada-Nya.”

 

TAFSIR

Untuk lebih memperkuat pilar-pilar tauhid dan menolak jenis kemusyrikan apa pun, ayat ini memerintahkan Nabi s.a.w. untuk menyatakan: “Sesungguhnya, aku hanya berdoa kepada Tuhanku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Sesungguhnya, aku tidak mampu mendatangkan mudharat bagimu dan tidak pula aku mampu membawamu ke jalan yang lurus. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang dapat melindungiku dari (hukuman) Allah (jika aku tidak taat kepada-Nya), dan aku tidak mampu menemukan tempat berlindung selain pada-Nya.” Ayat tersebut menjelaskan ketaatan total kepada Allah. Di sisi lain, mereka menolak jenis kepercayaan ekstrem apa pun tentang Nabi s.a.w., tidak mungkin meminta perlindungan dari siksaan-Nya, kecuali pada-Nya.

Selain itu, ayat ini mengakhiri dalih yang tidak pantas dan dugaan para pembangkang Nabi s.a.w. yang meminta beliau untuk melakukan tindakan ketuhanan. Ayat al-Qur’ān ini dengan jelas membuktikan bahwa wasilah itu bergantung pada kehendak Allah semata. Bentuk nomina ‘Arab multaḥad, yang berasal dari laḥada, secara harfiah bermakna lubang atau celah. Kata tersebut bermakna tempat berteduh dan tempat berlindung yang aman. Juga dikemukakan bahwa kata tersebut bermakna sebuah kotak yang di dalamnya terdapat barang berharga dan dikunci.

 

AYAT 23-24

إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا.

072: 23. Kecuali aku hanya menyampaikan (peringatan) dan risalah dari Allah, dan barang siapa yang tidak taat kepada Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya neraka Jahannam disediakan baginya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

072: 24. Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui para penolong manakah yang lebih lemah dan lebih sedikit jumlahnya.

 

TAFSIR

Dijelaskan pada ayat ke-23, Nabi s.a.w. menyatakan bahwa kewajiban beliau hanyalah menyampaikan risalah Allah semata. Tema tersebut berulang-ulang dinyatakan dalam al-Qur’ān seperti contoh: “Kewajiban Rasūl Kami adalah untuk menyampaikan (risalah) dengan jelas”. (5: 92). Mengenai perbedaan di antara balāgh (“menyampaikan”) dan risālah (“misi”) dikemukakan bahwa kata pertama diterapkan bagi menyampaian dasar agama (ushūl), sedangkan kata kedua berkonatasi menyampaikan prinsip sekunder dari agama (furū‘). Dikemukakan juga bahwa kata pertama menjelaskan penyampaian perintah Allah dan kata kedua mengandung makna pelaksanaan perintah. Kedua kata tersebut tampaknya menyatakan makna yang sama dan saling memberikan penekanan satu sama lain. Terceminkan dalam sejumlah ayat al-Qur’ān yang di dalamnya kedua kata tersebut telah digunakan dalam pengertian yang sama, misalnya: “Aku sampaikan kepada kalian risahal-risalah Tuhanku.” (uballighukum risālati Rabbiy – 7: 62).

Ayat ke-23 ditutup dengan peringatan bahwa barang siapa yang tidak taat kepada Allah dan Rasūl-Nya s.a.w., maka neraka Jahannam akan disediakan baginya. Ayat tersebut dengan jelas mengisyaratkan bahwa hanya kaum musyrik dan orang-orang yang kafir akan masuk neraka.

Ayat ke-24 menyatakan: “Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui para penolong manakah yang lebih lemah dan lebih sedikit jumlahnya.” Penafsiran berbeda dikemukakan mengenai kalimat “yang diancamkan kepada mereka,” yaitu adzab di dunia ini atau dunia dan akhirat, walaupun ungkapan yang dipakai di sini bermakna lebih umum, yaitu bertambah dan berkurangnya jumlah penolong manusia, termasuk kelemahan dan kekuatannya. Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat tersebut menyiratkan bertambahnya kekuatan kaum muslim secara ekplisit dalam Perang Badar. Sejumlah hadits menjelaskan bahwa ayat ini menjelaskan kemunculan kembali Imām Mahdī a.s. (semoga jiwa-jiwa kita menjadi tebusannya).

Bunyi ayat tersebut mengisyaratkan bahwa para musuh Islam sering kali menyombongkan kekuatan mereka dan menganggap kaum muslim sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya. Al-Qur’ān menghibur kaum beriman dan memberikan berita gembira bahwa mereka pada akhirnya akan menang dan kekalahan akan menimpa musuh Islam. Sejarah para nabi a.s. terutama kisah-kisah biografi Nabi Muḥammad s.a.w. menceritakan mengenai orang kafir yang berjumlah banyak. Meskipun mereka menghadapi kaum mu’min yang hanya sedikit, mereka putus asa dan menderita kekalahan. Tema yang sama, dengan jelas tercermin pada ayat al-Qur’ān mengenai Bani Isrā‘īl dan Fir‘aun, Jālut dan Thālut, serta ayat mengenai Perang Badar dan Aḥzāb.

 

Catatan:


  1. 221). Tafsīru Majma‘-il-Bayān; Tafsīr-ush-Shāfī; Tafsīr-ul-Burhān, tentang ayat ini. 
  2. 222). Biḥār-ul-Anwār, juz 72, hal. 355. 
  3. 223). Wasā’il-usy-Syī‘ah, jil. 2, hal. 970. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *