AYAT 7-8
وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا. وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا.
072: 7. Dan sesungguhnya mereka mengira sebagaimana kamu mengira bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasūl pun (kepada mereka),
072: 8. dan bahwa kami telah berusaha untuk mencapai langit, namun kami mendapatinya penuh dengan para penjaga yang kuat dan panah-panah api,
TAFSIR
Berlanjut dengan penjelasan tentang perkataan para jinn mu’min, ayat ini menyatakan: “Dan beberapa orang, seperti kamu, mengira bahwa Allah s.w.t. tidak akan menunjuk siapa pun untuk seruan kenabian [setelah Mūsā dan ‘Īsā a.s.]. Karenanya mereka mendustakan al-Qur’ān dan seruan kenabian dari Nabi s.a.w. Namun, dengan mendengar ayat-ayat dari kitab suci Allah inilah kami dengan jelas melihat kebenarannya. Maka hendaknya jangan sampai kami kafir kepada Allah s.w.t., seperti orang-orang yang musyrik, dan menemui nasib buruk mereka.” Ayat ini memperingatkan kaum musyrik bahwa jinn berkata seperti itu agar manusia menjadi sadar dan beriman kepada Nabi s.a.w. dan al-Qur’ān.
Ayat ke-8 menjelaskan jinn mu’min yang menyebutkan salah satu bukti dari kebenaran perkataan mereka. “Kami telah berusaha untuk mencapai langit, namun kami mendapatinya penuh dengan para penjaga yang kuat dan panah-panah api”. Frase ‘Arab lams di sini bermakna mencari, dan bentuk nomina ḥaras merupakan bentuk jama‘ dari ḥāris (“penjaga”).
AYAT 9-10
وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا. وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.
072: 9. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki tempat-tempat di langit itu untuk menguping, namun kini siapa pun yang bermaksud untuk menguping, maka dia akan mendapati panah api yang mengintai.
072: 10. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi para penghuni bumi ataukah Tuhan mereka berkehendak untuk memberi petunjuk bagi mereka.
TAFSIR
Turunnya al-Qur’ān memiliki jejak di langit. Sebelum turunnya al-Qur’ān, jinn biasa menguping berita-berita langit, namun setelah al-Qur’ān turun, mereka jadi tak bisa menguping lagi. Ayat ini menjelaskan bahwa kejahatan, tenung dan tipu daya sudah berakhir dan mentari wahyu Ilahi serta seruan kenabian telah terbit.
Frase ‘Arab syihāb, artinya nyala api, tetapi kata tersebut berkonotasi nyala api terang yang muncul dalam garis-garis lurus di langit, yaitu bintang pelempar dan meteor.
Menurut penelitian ilmiah, meteor merupakan kepingan kecil dari batu yang bergerak. Ketika mendekati bumi, meteor bergerak dengan cepat. Ketika meteor memasuki atmosfer bumi, gas yang mengalami kondensasi mengelilingi bumi, berubah menjadi bola api. Pijar (a red-hot glow; a glowing, nyala api (kekuning-kuningan)) yang dihasilkan berubah menjadi abu-abu yang berhampuran di permukaan bumi. Berkali-kali dijelaskan dalam al-Qur’ān bahwa meteor adalah panah yang ditembakkan kepada syaithan yang hendak menguping di langit. Pembahasan detail dapat ditemukan pada surah (15: 18; 37: 10).
Bentuk nomina ‘Arab rasyad bermakna kesiapan menghadapi kejadian. Bisa juga diartikan sebagai menunggu penyergapan tiba-tiba.
Menurut ayat ke-10, mereka lebih jauh berkata bahwa jika melihat situasinya, mereka tidak tahu apakah hasil mencuri dengar itu berupa bencana yang disiapkan oleh Allah s.w.t., ataukah Dia berkehendak untuk memberi petunjuk kepada manusia. Dengan kata lain, jinn tidak tahu apakah suatu berita itu berarti rencana bencana atau petunjuk. Meskipun demikian, jinn mu’min seharusnya memahami bahwa larangan menguping, bersamaan dengan seruan kenabian Nabi s.a.w., ditetapkan untuk mengawali petunjuk bagi manusia agar menolak tenung dan kepercayaan taḥayyul. Itulah pengumuman tentang akhir dari periode gelap dan permulaan dari periode terang. Namun, jinn suka menguping dan tetap tidak percaya bahwa kesulitan yang menimpa manusia itu membawa berkah dan nikmat. Sangat jelas bahwa dengan kemampuan (para jinn) menguping itu, para peramal di masa jahiliah memiliki dampak besar dalam menyesatkan manusia.
Petunjuk di sini menjadi milik Allah s.w.t. tapi kejahatan yang digunakan tidak dinisbatkan kepada-Nya. Kebaikan dan petunjuk berasal dari Allah s.w.t., sedangkan kejahatan dan kerusakan berasal dari manusia itu sendiri. Kerusakan itu adalah akibat dari penyalahgunaan nikmat Allah dan berkah penciptaan.
AYAT 11-12
وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللهَ فِي الْأَرْضِ وَ لَنْ نُّعْجِزَهُ هَرَبًا.
072: 11. Dan sesungguhnya di antara kami ada para jinn yang saleh dan ada pula yang tidak saleh. Kami adalah kelompok-kelompok yang menempuh jalan yang berbeda-beda.
072: 12. Dan sesungguhnya kami yakin bahwa kami tidak dapat mengalahkan kehendak Allah di bumi dan kami tidak dapat melepaskan diri dari kemahakuasaan-Nya.
TAFSIR
Ayat ini menjelaskan bahwa jin mu’min, yang telah mengakui wahyu Ilahi, merasakan kelemahan mereka dan mengakui keagungan dan kemahakuasaan Allah. “Dan sesungguhnya di antara kami ada para jinn yang saleh dan ada pula yang tidak saleh. Kami adalah kelompok-kelompok yang menempuh jalan yang berbeda-beda.” Ayat ini mungkin dapat menimbulkan kesan palsu pada sebagian jinn, karena kejahatan, perbuatan amoral dan kerusakan merupakan sifat dasar mereka, yang menghalangi mereka untuk mengambil manfaat dari Cahaya Petunjuk. Keberadaan para jinn mu’min juga menunjukkan bahwa mereka pun bebas memilih; terbukti ada jinn yang saleh dan ada pula jinn yang tidak saleh. Karenanya, mereka siap secara naluriah untuk memperoleh petunjuk. Menghargai manusia yang berpendapat lain dapat membuat seruan dakwah lebih diterima, dan manusia bisa merintis jalan untuk menemukan petunjuk.
Ayat ini menjernihkan persepsi kita mengenai jinn. Bagi sebagian orang, kata jinn berkonotasi kejahatan, kerusakan moral, penyimpangan dan kesesatan. Akan tetapi faktanya adalah bahwa terdapat berbagai kelompok jinn, yang saleh dan yang tidak saleh. Frase ‘Arab qidad bermakna “memutuskan, memisahkan” yang artinya adalah kelompok-kelompok yang berbeda, yang terpisah.
Ayat ke-12 menjelaskan bahwa jinn mu’min memperingatkan para jinn lainnya dengan menyatakan, “Dan sesungguhnya kami yakin bahwa kami tidak dapat mengalahkan kehendak Allah di bumi dan kami tidak dapat melepaskan diri dari kemahakuasaan-Nya.” Sungguh tidak beralasan untuk menyatakan bahwa manusia dapat melepaskan diri dari hukuman Allah dengan melarikan diri ke suatu tempat di bumi atau di langit. Kalimat pertama menjelaskan tentang melepaskan diri dari kemahakuasaan Allah dengan memilih suatu tempat di bumi; kalimat kedua menyiratkan tentang upaya melarikan diri dari bumi dan langit. Kemungkinan lain juga dikemukakan, yaitu bahwa kalimat pertama menyiratkan prinsip mustahil mengalahkan Tuhan, dan kalimat kedua menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin melepaskan diri dari keadilan Allah. Ketika tidak ada jalan untuk mengalahkan Allah s.w.t. dan melepaskan diri dari-Nya, maka pilihan lain yang tersisa hanyalah tunduk kepada perintah-Nya.
AYAT 13-15
وَ أَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَ لَا رَهَقًا. وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.
072: 13. Dan sesungguhnya ketika kami mendengar petunjuk al-Qur’ān, kami beriman kepadanya. Karenanya siapa pun yang beriman kepada Tuhannya niscaya dia tidak takut akan merasa takut, ketika dia mengalami kekurangan ataukah kezhaliman.
072: 14. Dan sesungguhnya di antara kami ada para jinn yang muslim dan ada pula yang tidak taat. Dan siapa pun yang memeluk Islam, maka mereka itu sungguh telah memilih jalan yang lurus.
072: 15. Adapun mereka yang tidak taat, maka mereka akan menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.
TAFSIR
Para jinn mu’min selanjutnya berkata: “Ketika kami mendengar petunjuk al-Qur’ān, kami beriman kepadanya.” Jika mereka menyeru para jinn lainnya kepada petunjuk al-Qur’ān, berarti mereka sendiri sudah melaksanakan petunjuk al-Qur’ān. Artinya, mereka tidak menyeru para jinn lainnya untuk melakukan sesuatu yang telah mereka abaikan. Konsekuensi dari beriman kepada Allah s.w.t. diungkapkan dalam kalimat singkat, “Siapa pun yang beriman kepada Tuhannya, niscaya dia tidak takut akan merasa takut, ketika dia mengalami kekurangan ataukah kezhaliman.” Kata bakhs bermakna kekurangan yang berasal dari kezhaliman dan kata rahaqa bermakna menutup dengan kekerasan. Sebagian mufassir berpendapat bahwa kata pertama mengandung makna bahwa tidak akan ada yang berkurang dari amal saleh mereka dan kata kedua menjelaskan bahwa tidak akan ada yang ditambahkan untuk dosa dan kejahatan mereka.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa kata pertama menyiratkan kekurangan dalam amal saleh, sedangkan kata kedua digunakan dalam pengertian tugas yang sulit. Namun, makna kontekstual dari ayat ini tidak berkaitan dengan apakah perbuatan-perbuatan itu penting atau sebaliknya. Mereka yang beriman akan diberi ganjaran tanpa ada penambahan atau pengurangan apa pun. Keadilan Allah tidak terbatas pada mereka yang beriman, namun karena orang kafir tidak melakukan amal saleh, maka mereka tidak disebutkan di sini.
Ayat ke-14 memberikan penjelasan lebih jauh tentang nasib orang beriman dan orang kafir. “Dan sesungguhnya di antara kami ada para jinn yang muslim dan ada pula yang tidak taat.” Bentuk kata qāsith (“pembagi yang adil”), diperoleh dari bentuk keempat dari akar kata, if‘al, yang menyiratkan bentuk transitif. Kata tersebut bermakna pelaksanaan keadilan, tetapi digunakan dalam bentuk trilateralnya, yang mengandung makna ketidaktaatan dan penyimpangan dari jalan kebenaran. Ayat ini selanjutnya berbunyi: “Dan siapa pun yang memeluk Islam, maka mereka itu sungguh telah memilih jalan yang lurus (benar),” dilanjutkan dengan bahasan tentang tentang petunjuk dan ganjaran Allah.
Ayat ke-15 menambahkan: “Adapun mereka yang tidak taat, maka mereka akan menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” Bentuk kata kerja aslama (“beriman”), pada ayat sebelumnya, berbeda dengan kata qāsith (di sini bermakna “tidak taat”). Ayat ini menyiratkan bahwa keimanan menghalangi manusia dari terjerumus ke dalam ketidaktaatan. Karena kekafiran sesungguhnya bercampur dengan ketidaktaatan dan kezhaliman. Diriwayatkan dari Nabi s.a.w.: “Seorang mu’min sejati adalah orang yang darinya pihak lain terjamin keamanan nyawa dan hartanya.” (2191) Menurut hadits Nabi s.a.w. lainnya: “Seseorang dikatakan muslim apabila orang lain merasa amak dari (gangguan) tangan dan lidahnya.” (2202).
Kalimat: “mereka itu telah memilih jalan yang lurus (benar)” (taḥarraw rasyadan), yang muncul pada penutup ayat sebelumnya menyiratkan bahwa mereka yang beriman berjalan menuju petunjuk dengan penuh perhatian dan tujuan. Ganjaran yang paling mereka harapkan terletak dalam mencapai kebenaran, memperoleh manfaat dari seluruh nikmat Allah. Sedangkan kemalangan terburuk dari mereka yang tidak taat adalah bahwa mereka akan menjadi kayu api di dalam neraka Jahannam.
Catatan: