Hati Senang

Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (1/5)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

SURAH AL-JINN

(JINN)

(SURAH NO. 72; MAKKIYYAH; 28 AYAT)

 

Tinjauan Umum

Surah yang turun di Makkah ini memiliki 28 ayat. Dari namanya menjelaskan bahwa surah ini membicarakan makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat, yaitu jinn, kepercayaan mereka kepada Nabi s.a.w., al-Qur’ān dan Hari Kiamat, serta kelompok-kelompok yang mu’min dan yang kafir di antara mereka. Ayat-ayat penutup berkenaan dengan pengetahuan tentang hal-hal ghaib dan tidak diketahui oleh seluruh wujud, selain Allah s.w.t.

 

Keutamaan Membaca

Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. yang berkata: “Barang siapa yang banyak membaca surah al-Jinn, tidak akan pernah dicederai oleh (tatapan) mata jahat, sihir, serta persekongkolan para jinn dan penyihir dalam kehidupan dunianya. Dia akan bersama Nabi Muḥammad s.a.w. (di surga).” Dia berkata: “Tuhanku! Aku tidak percaya kepada siapa pun selain pada-Mu dan aku tidak akan pernah berpaling kepada siapa pun selain pada-Mu.” (2141) Membaca surat-ul-Jinn akan menjadi pengantar bagi pengetahuan tentang makna kontekstualnya dan penerapannya dalam kehidupan seseorang.

 

SURAH AL-JINN

AYAT 1-2

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا.

072: 1. Katakanlah: Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekelompok jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān). Mereka berkata: “Sesungguhnya, kami telah mendengar al-Qur’ān yang menakjubkan.”

072: 2. Yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, maka kami beriman kepadanya dan kami tidak akan menyekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.

 

Sebab Turunnya Surah Ini

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. meninggalkan Makkah menuju Pasar ‘Ukkādz di Thā’if dengan maksud menyeru manusia untuk memeluk Islam, tetapi usahanya itu tidak berhasil. Dalam perjalanan pulang ke Makkah, beliau bermalam di sebuah lembah bernama Jinn. Di sana beliau membaca ayat-ayat al-Qur’ān. Sekelompok jinn datang mendengarkan bacaan beliau dan memeluk Islam, lalu mereka kembali ke sesama jinn untuk mendakwahkan keimanan. (2152) Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Nabi s.a.w. membaca ayat al-Qur’ān sewaktu melaksanakan shalat Shubuḥ. Ketika mendengar ayat-ayat al-Qur’ān itu, sekelompok jinn yang bertugas menyelidiki sebab-sebab di balik terputusnya pesan-pesan langit, mengatakan bahwa penyebabnya adalah hal yang sama. Mereka kembali kepada para jinn lainnya dan menyeru mereka memeluk Islam. (2163).

 

TAFSIR

Ayat pertama menyatakan: Katakanlah: “Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekelompok jinn telah mendengarkan [al-Qur’ān]. Mereka berkata: “Sesungguhnya, kami telah mendengar al-Qur’ān yang menakjubkan.” Kata “Telah diwahyukan” menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. tidak melihat sendiri jinn yang dimaksud, tapi mengetahui bahwa mereka mendengar ayat-ayat al-Qur’ān. Ayat ini dengan gamblang mengisyaratkan bahwa jinn memiliki akal, pemahaman, persepsi, pengetahuan linguistik dan rasa tanggung-jawab. Mereka meperhatikan perbedaan antara perkataan yang “menakjubkan” dan perkataan biasa. Karena diseru oleh ayat-ayat al-Qur’ān, mereka merasa wajib untuk mendakwahkan kebenaran. Penjelasan di atas mengungkapkan beberapa karakteristik dari makhluk yang tidak dapat dilihat ini. Karakteristik lain yang dimiliki kelompok jinn akan disebutkan di bawah ini.

Jinn memiliki alasan untuk menganggap al-Qur’ān sebagai “perkataan yang menakjubkan” karena al-Qur’ān memang menakjubkan berkenaan dengan nada, kesan dan nilai pentingnya. Nabi s.a.w. yang ditunjuk oleh Allah untuk menyampaikan risalah adalah seorang yang buta huruf. Perkataan al-Qur’ān berkenaan dengan aspek lahiriah dan batiniah sangat menakjubkan dan berbeda daripada perkataan apa pun lainnya. Karenanya, jinn mengakui bahwa al-Qur’ān tidak dapat ditiru.

Ayat kedua menyatakan bahwa kelompok jinn terus membahas penjelasannya lebih lanjut, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat berikut, dalam 12 kalimat yang diawali dengan kata penghubung penegas dalam bahasa ‘Arab, an. Ayat kedua di atas menyatakan jinn berkata bahwa al-Qur’ān memberi petunjuk ke jalan yang benar. Karenanya, kami beriman kepada al-Qur’ān dan tidak menyekutukan Tuhan dengan apa pun. Bentuk nomina ‘Arab rusyd meliputi lingkup semantik yang komprehensif dan luas. Kata tersebut bermakna jalan lurus, rata dan jelas yang membawa kepada kebahagiaan serta kesempurnaan.

 

AYAT 3-5

وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا. وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا.

072: 3. Dan bahwasanya Maha Tinggi keagungan Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak pula beranak.

072: 4. Dan bahwasanya orang bodoh di antara kami mengucapkan perkataan yang tidak pantas terhadap Allah.

072: 5. Dan bahwa kami mengira bahwa manusia dan jinn tidak akan mengucapkan perkataan yang bohong terhadap Allah.

 

TAFSIR

Setelah mengungkapkan keimanan mereka kepada Allah dan menolak jenis kemusyrikan apa pun, kelompok jinn tersebut selanjutnya menyebutkan sifat-sifat Allah: “Maha Tingginya keagungan Tuhan kami, dan Maha sucinya Dia tidak bisa diserupakan dengan para makhluk, tak bisa pula dinisbatkan pada kelemahan apa pun. Dia juga tidak beristri atau beranak.”

Bentuk nomina ‘Arab jadd merupakan kata yang memiliki banyak makna yang sejumlah maknanya meliputi keagungan, kehebatan, kesungguhan, jatah, bagian dan menjadi baru. Berkenaan dengan etimologi, menurut Rāghib dalam Mufradat-nya, akar katanya bermakna “memutuskan mengakhiri”. Konotasi “keagungan” bahwa suatu Wujud Agung dipisahkan dari yang lainnya. Demikian pula, makna dan konotasi lain dari kata tersebut dapat diperhatikan. Sebagai contoh, kata tersebut bermakna “datuk” karena kedudukan agungnya atau usia lanjutnya.

Makna “keagungan” adalah sesuai dengan penjelasannya di dalam kamus dan penerapannya. Jinn di sini memberikan penekanan khusus bahwa Allah s.w.t. tidak memiliki seorang istri atau anak. Ini mengandung makna penyangkalan terhadap tahayyul yang dianut oleh bangsa ‘Arab, yang berpendapat bahwa para malaikat itu bapaknya adalah Tuhan, dan ibunya adalah dari kalangan jinn. Tema serupa dijelaskan dalam tafsir ayat al-Qur’ān lainnya (37: 158): Dan mereka menjadikan hubungan nasab di antara Dia [Allah] dan jinn.

Ayat ke-4 menyatakan: “[Mereka menyatakan bahwa mereka mengakui] dan bahwa mereka yang bodoh di antara kami mengucapkan perkataan yang tidak pantas terhadap Allah.” Frase ‘Arab safīh dapat berkonotasi makna kolektif. Sebagian jinn yang bodoh berpendapat bahwa Tuhan telah menikah (dengan ibu mereka) dan telah menjadi bapaknya. Mereka telah menyimpang dari jalan kebenaran dengan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dan menyekutukan Allah. Sejumlah mufassir berpendapat bahwa kata tersebut berkaitan dengan iblis yang menentang perintah Allah. Dia menisbatkan tuduhan palsu terhadap Allah s.w.t. dan menentang perintah-Nya untuk sujud kepada Ādam a.s. Iblis menganggapnya tidak pantas, dan menganggap dirinya lebih unggul daripada Ādam a.s. Karena iblis dahulunya adalah jinn, maka semua jinn mu’min mengungkapkan kebencian mereka terhadapnya dan menganggap kata-katanya tidak berdasar. Tampaknya, dulu mereka adalah makhluk yang alim dan zuhud, tapi para alim yang tidak mengamalkan ilmu mereka, dan para pezuhud yang angkuh dan menyimpang. Ini jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka itu bodoh.

Frase ‘Arab syathath mengandung makna melampaui batas. Karenanya, penarapannya pun jadi tidak benar. Karena itulah, tepian sungai yang tinggi dan relatif jauh dari air dinamakan syath.

Ayat ke-5 menyatakan: kami mengira bahwa manusia dan jinn tidak akan mengucapkan perkataan yang bohong terhadap Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa kelompok ini telah menyamakan Allah s.w.t. seperti yang lainnya; yang memiliki sekutu, istri dan anak-anak. Ayat ini menyatakan bahwa kelompok ini percaya begitu saja pada pemahaman seperti itu, karena tidak mengira bahwa manusia dan jinn berani mengucapkan kebohongan terhadap Allah s.w.t. Mereka menyadari ada tuduhan yang tidak pantas, dan karenanya mengakui kesalahan serta penyimpangan kaum musyrik dari kalangan jinn.

 

AYAT 6

وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا.

072: 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, namun jinn-jinn itu semakin menambah bagi mereka kesesatan dan maksiat.

 

TAFSIR

Ayat ini menyatakan bahwa beberapa laki-laki dari kalangan manusia mencari perlindungan kepada jinn laki-laki sehingga kesesatan dan maksiat mereka semakin bertambah. Akar frase ‘Arab zahaqa secara etimologi bermakna “menutupi dengan menggunakan kekuatan”. Karena kesesatan, dosa, maksiat dan ketakutan menyelimuti hati serta jiwa manusia, dari sinilah makna kata tersebut muncul. Kalimat “namun jinn-jinn itu semakin menambah bagi mereka kesesatan dan maksiat” menjelaskan bahwa tahayyul menyebabkan kemerosotan pada pikiran, ketakutan dan kesesatan.

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa para jinn laki-laki dan perempuan itu ada. “Ada beberapa orang laki-laki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn.” Ada sejumlah peramal di kalangan bangsa ‘Arab yang mengatakan bahwa mereka mampu menyelesaikan banyak persoalan dengan menggunakan bantuan jinn dan meramalkan masa depan.

Diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa siapa pun yang pergi ke seorang tukang sihir, peramal, atau seorang pendusta dan meyakini (kebenaran) kata-kata mereka, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap semua kitab suci Allah. (2174) Diriwayatkan juga dari Nabi s.a.w. bahwa orang yang meyakini (kebenaran) kata-kata seorang peramal atau seorang ahli perbintangan, maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Rasūlullāh s.a.w. (218[^5]).

 

Catatan:

[^5:] 218). Muḥaqqiq Ḥillī, al-Mu‘tabar; ‘Allāmah Ḥillī, Tadzkirat-ul-Fuqahā’; Syahīd Awwal dan Syahīd Tsānī, Syarḥ-ul-Lum‘ah.


  1. 214). Tafsīr-ul-Burhān, jil. 4, hal. 390; hadits-hadits lain telah diriwayatkan dalam hal ini. 
  2. 215). Tafsīru ‘Alī bin Ibrāhīm; Tafsīru Nūr-uts-Tsaqalain, jil. 5, hal. 19. 
  3. 216). Shaḥīḥ Bukhārī; Shaḥīḥ Muslim; Musnad Aḥmad bin Ḥanbal; Fī Zhilāl-il-Qur’ān, tentang ayat ini. Untuk meringkas, riwayat lain tentang sebab-sebab turunnya surah ini tidak disebutkan di sini. 
  4. 217). Ibnu Maḥbūb, al-Mashyakha was-Sarā’ir
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.