قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا.
072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfataan.”
072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.”
072: 23. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
072: 24. Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.
AYAT 21
قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا.
072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfataan.”
Telah disinggung di atas bahwa di ayat 22 ada sebuah hadits yang menjadi asbāb-un-nuzūl ayat tersebut; seorang dedengkot jinn mengajukan diri sebagai pelindung Rasūlullāh. Karena sebagaimana kepercayaan yang di tengah masyarakat Jahiliyyah bahwa diri agar terhindar dari malapetaka dan bencana. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada Rasūlullāh s.a.w. agar menjelaskan, jangankan jinn, rasūl saja yang menjadi utusan Allah tidak mempunyai kuasa apa-apa. Katakanlah hai Muḥammad kepada para jinn itu: “Sesungguhnya aku sebagai seorang Rasūl tidak punya kuasa untuk mengadakan dan mendatangkan sesuatu kemudharatan pun atau musibah kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan suatu kemanfataan” atau kebahagiaan.
Mendatangkan kemudharatan ataupun mendatangkan kemanfaatan kepada makhluk hanya bisa dilakukan oleh Allah. Makhluk sendiri tidak dapat mengadakan kemudharatan dan kemanfaatan itu. Inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasūlullāh s.a.w. agar mendakwahkannya kepada masyarakat jinn dan juga manusia. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu. Ini adalah prinsip tauhid. Hanya dalam genggaman Allah terdapat kekuatan dan kekuasaan. Hanya Dia yang bisa mendatangkan kemudharatan, tidak oleh siapa-siapa pun.
Demikian pula kemanfaatan dan kebahagiaan. Al-Qur’ān mengatakan, bukan hanya kemudharatan, dan tidak (pula) suatu kemanfataan, yang tidak kuasa diberikan atau didatangkan oleh rasūl. Padahal beliau adalah utusan Allah. Pribadi yang sengaja dipilih oleh Allah sebagai pembawa risalah dan sekaligus pada posisi seperti itu sebagai wakil Allah kepada umat manusia. Tetapi sekali lagi, beliau tidak dapat mendatangkan kemanfaatan itu.
AYAT 22
قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا.
072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.”
Kalau ayat 21 di atas membicarakan perbuatan aktif Rasūlullāh s.a.w. mendatangkan kemudharatan atau kemanfaatan kepada orang lain, maka ayat ini berbicara tentang beliau sendiri secara passif menolak adzab atau kemudharatan yang ditimpakan kepada beliau. Katakanlah hai Muḥammad: “Sesungguhnya aku, walaupun sebagai seorang Rasūlullāh, sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah jika Allah sendiri menghendaki untuk mengadzab dan sekali-kali tiada pula akan memperoleh tempat berlindung dari adzab ataupun malapetaka selain daripada-Nya.”
Asbāb-un-nuzūl ayat ini didasarkan pada riwayat dari Imām Ibnu Abī Jarīr yang telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ḥadhramī yang menceritakan bahwa ia telah mendengar bahwa seorang jinn dari kalangan pemimpin-pemimpin jinn yang mempunyai banyak pengikut telah mengatakan: “Sesungguhnya Muḥammad ini menginginkan supaya Allah melindunginya, padahal aku dapat memberikan perlindungan kepadanya.” Maka Allah segera menurunkan firman-Nya: Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah….”
Allah s.w.t. kembali memerintahkan kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melindungi dirinya dari adzab Allah. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah. Ini hanyalah sebatas perumpamaan dan sebagai perbandingan. Sebab Rasūlullāh s.a.w. sendiri, dengan kema‘shuman beliau sudah dijamin oleh Allah s.w.t. tidak mempunyai kesalahan dan dosa. Jangankan orang lain, diri Nabi sendiri pun tidak mampu melindungi jika Allah sudah berkehendak untuk mengadzabnya.
Tempat berlindung hanyalah Allah s.w.t., tidak ada yang lain. dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya. Kepada Dialah persembahan diserahkan dan hanya kepada Dia pula tempat untuk meminta pertolongan. Hanya di tangan-Nya daya upaya tergenggam. Tidak ada tempat lari dari murka Allah, kecuali kembali kepada-Nya, tunduk dan sujud. Untuk menghindari murka-Nya, bukan lari dan menjauh dari Dia, tetapi mendekatlah kepada-Nya agar murka-Nya mereka (Missing ????).
AYAT 23
إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا.
072: 23. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Mendatangkan kemudharatan tidak mampu. Meraih kemanfaatan juga tidak kuasa. Melindungi diri dari adzab juga jauh panggang dari api. Satu-satunya tempat berlindung hanya kepada Dia. Kalau begitu apa saja wewenang Muḥammad bin ‘Abdillāh sebagai nabi dan rasūl? Inilah yang dijelaskan oleh ayat 23 ini. Akan tetapi (aku hanya) semata-mata menyampaikan (peringatan) dari Allah Yang Maha Kuasa dan mendakwahkan risalah-Nya sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’ān. Oleh sebab itu, jika berpaling dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya, maka sesungguhnya baginyalah siksa yang pedih yang ada di neraka Jahannam, dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya tak berkesudahan.
Wewenang nabi dan rasūl itu memberi peringatan semata. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Tidak ada wewenang untuk memaksa, dengan cara memberi sanksi bila tidak mau menerima kebenaran, atau memberi upah bila tunduk dan patuh kepada tuntunan Allah. Di samping itu, juga bertugas membacakan ayat-ayat kitab suci al-Qur’ān untuk dipahami dan dilaksanakan oleh jinn dan manusia dalam menjalani kehidupan mereka di dunia.
Oleh sebab itu, siapa saja yang berpaling dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam. Ini sebagai hukuman atas kedurhakaan yang sudah dilakukan selama hidup di dunia. Disuruh mendengarkan ayat-ayat Allah, tetapi yang dilakukan malah berpaling dari ayat-ayat Allah itu. Diperintah tunduk dan patuh kepada perintah Allah, malah yang dilakukan adalah mendurhakainya. Yang layak bagi orang-orang seperti ini adalah siksa neraka Jahannam.
Adzab itu mereka rasakan bukan dalam waktu yang pendek, tetapi mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Kenapa selama-lamanya? Apakah tidak ada tenggang waktu sampai kapan walaupun dalam waktu yang lama, asal bukan selama-lamanya? Ini adalah sanksi yang adil, yang setara dengan kedurhakaan yang mereka lakukan. Kerana jiwa sudah terlalu kotor yang tidak bisa dibersihkan lagi. Apalagi waktu membersihkannya sudah lewat, tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat, yakni kemarin ketika masih berada di dunia.
AYAT 24
حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا.
072: 24. Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.
Di penghujung ayat 23 di atas, al-Qur’ān menggambarkan situasi yang dihadapi oleh orang-orang kafir yang mendurhaka kepada Allah s.w.t. Seketika mereka sudah berada di akhirat, al-Qur’ān menggambarkan orang-orang kafir tertunduk layu karena tidak ada yang menolong lagi, berbeda dengan ketika masih berada di dunia. Sehingga apabila mereka, orang-orang yang mendurhaka itu, melihat adzab dan siksa yang diancamkan kepada mereka setelah berada di akhirat kelak, maka mereka akan mengetahui dan menyadari bahwa siapakah di antara Nabi Muḥammad s.a.w. dan orang-orang yang mendurhaka yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.
Ketika di dunia waktu Nabi Muḥammad s.a.w. masih mendakwahkan risalah kepada kaum musyrik Makkah, pengikut dan penolong Nabi hanya sedikit. Malah terdiri dari budak-budak yang dimerdekakan. Saat itu Nabi dan kaum Muslim dikejar-kejar, dianiaya, diboikot, bahkan ada rencana pembunuhan terhadap diri Nabi. Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka. Situasinya menjadi berbalik. Sekarang mereka yang merasa dikejar-kejar, dianiaya, dan diboikot, karena mereka sudah melihat adzab di depan mata.
Analog dengan suasana itu, al-Qur’ān mempertanyakan – saat adzab sudah di ambang mata – siapa yang akan membantu dan menolong mereka? Kenyataan sekarang maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya. Mana dulu rombongan kafir Quraisy yang mengusir kaum Muslim di Makkah. Mana tentara-tentara musyrik Makkah yang mengadang kaum Muslim di peperangan Uhud. Mana para pemuda yang direncanakan membunuh Rasūlullāh? Sekarang semua penolong itu tidak berdaya sama sekali. Bukan hanya tidak berdaya dan lemah, tetapi juga lebih sedikit bilangannya, untuk mengatakan tidak sama sekali.
قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا. عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.
072: 25. Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?”
072: 26. (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.
AYAT 25
قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا.
072: 25. Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?”
Andaikan perbuatan dosa langsung berakibat menjadi adzab, seperti sengatan listirik, pastilah banyak orang akan meninggalkan perbuatan dosa. Tetapi dosa tidak seperti itu, bahkan banyak perbuatan dosa yang dilakukan tidak diketahui oleh orang lain, yang tahu hanya Allah, malaikat, dan pelaku dosa itu sendiri. Akibat dari dosa itu pun tersamar, bahkan balasannyaa kelak kalau dunia sudah Kiamat. Itulah sebabnya ada orang-orang yang berani mempertanyakan kapan siksa akibat dari dosa itu datang.
Bagi orang yang berani dan kedurhakaannya dia tampilkan secara terbuka, dengan pongah dan congkat dia bertanya lantang kapan adzab itu akan datang? Tetapi ada orang yang malu-malu, yang menyatakan kedurhakaannya dengan sembunyi, tidak bersuara lantang menanyakan kapan datangnya adzab itu, tetapi perilakunya memperlihatkan dengan nyata tantangan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan itulah Allah memerintahkan kepada Nabi Muḥammad memberi penjelasan wahyu tentang itu. Katakanlah hai Muḥammad: “Aku sendiri Rasūlullāh s.a.w. tidak mengetahui sedikit pun, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat waktunya ataukah Tuhanku Allah Yang Maha Perkasa itu menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu penangguhan untuk, masa yang panjang?”
Benar bahwa sudah ada bangsa-bangsa yang terkena adzab itu sehingga lenyap dari muka bumi. Adzab yang seperti itu adalah post factum yang diketahui sesudah terjadi. Tetapi sebelum peristiwa itu terjadi, peristiwa itu adalah masalah ghaib. Demikian juga adzab yang akan datang bagi kehidupan manusia yang durhaka saat ini, juga termasuk dalam kategori keghaiban. Masalah ghaib jelas berada dalam ranah ilmu Allah, nabi dan rasūl sendiri pun tidak mengetahuinya. Itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Aku tidak mengetahui. Hal itu sudah berada pada ranah ilmu Allah. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Walaupun beliau seorang Nabi dan Rasūl Allah, dan yakin pula seyakin-yakinnya bahwa adzab itu pasti datang, tetapi bila saatnya adzab itu datang beliau tidak mengetahuinya. Apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat. Apakah adzab itu dalam waktu yang dekat datangnya? Wa Allāhu a‘lam, hanya Allah saja yang tahu. Yang jelas adzab itu bukanlah suatu yang hanya untuk menakut-nakuti semata. Adzab itu bukan hanya berita omong kosong, tetapi sungguh-sungguh ada. Kalau adzab itu tidak dalam waktu dekat, mungkin saja dalam waktu yang lama, ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang? Sekali lagi, cepat atau lambatnya datang adzab itu hanya ada dalam ilmu Allah.
AYAT 26
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.
072: 26. (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.
Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui yang ghaib, (dia adalah Tuhan) yang mengetahui secara terang benderang apa-apa yang ghaib secara muthlaq dan absolut. maka Dia tidak memperlihatkan sedikit pun penjelasan dan uraian kepada makhluk atau seorang pun, baik makuluk atau seseorang itu malaikat, atau jinn maupun manusia tentang yang ghaib itu.
Buya Hamka ketika menafsirkan ayat (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, menegaskan bahwa dengan ayat ini menjelaskan bahwa, tidak seorang pun yang mengetahui keadaan yang ghaib; tidak Nabi, tidak Rasūl, tidak jinn, dan tidak malaikat. Rahasia yang ghaib semata-mata dalam genggaman Tuhan. Oleh sebab itu, tidaklah dapat dipercayai kalau ada seorang manusia yang mengakui dirinya bisa mengetahui yang ghaib, apa yang akan terjadi di belakang hari. Demikian Buya Hamka.
Atas dasar pandangan ini ajaran Islam melarang kegiatan ramal-meramal nasib manusia. Tukang tenung dan kegiatan seorang yang disebut dengan ahli nujum, adalah perbuatan yang mendahului ketentuan Allah. Meramal sesuatu yang ghaib, yang secara kebiasaan sehari-hari tidak dapat diketahui oleh manusia. Masuk ke dalam ranah keghaiban itu adalah sesuatu yang mustahil. Bila keghaiban itu disampaikan kepada manusia sering mendatang kemudharatan.