Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Khuluqun ‘Azhim (5/7)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim

8. Sanksi bagi Siapa Saja yang Menyimpang

وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا. وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

072: 15. Adapun orang-orang yang menyimpang, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.
072: 16. Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).
072: 17. Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang amat berat.

 

AYAT 15

وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.

072: 15. Adapun orang-orang yang menyimpang, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.

Setelah menggambarkan orang-orang dari kalangan jinn yang berjalan di jalan lurus dengan beriman kepada Allah, maka sekarang perhatian dialihkan kepada orang-orang yang menyimpang dari jalan lurus. Adapun orang-orang dari golongan jinn yang menyimpang dari jalan lurus dan jalan kebenaran serta mendurhaka kepada Allah, maka akibat yang mereka tanggungkan adalah menjadi berada dalam posisi sebagai kayu api bagi pembakaran yang terjadi di neraka Jahannam.

Dijelaskan dengan sangat gamblang apa yang akan dialami oleh orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran. Adapun orang-orang yang menyimpang. Yakni orang-orang yang tidak mau mendengarkan ayat-ayat al-Qur’ān. Atau mungkin mau mendengarkan, tetapi tidak mau menjalankan apa yang diperintahkan melalui ayat-ayat al-Qur’ān tersebut. Mereka memandang bahwa ayat-ayat al-Qur’ān itu hanya sekadar dibaca saja, atau cukuplah diperdengarkan dalam situasi tertentu saja, seperti saat beribadah atau hanya diperlombakan saja.

Bila situasi itu yang dikerjakan oleh mereka diancam oleh Allah, bahwa mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. Ini ungkapan pelecehan yang sangat menyakitkan, yakni menjadi kayu api bahan bakar lagi nyala neraka Jahannam. Perbandingan bertingkat yang lebih menyakitkan. Bukan hanya akan dibakar di dalam neraka Jahannam, tetapi malah mereka sendiri yang akan menjadi kayu apinya.

 

AYAT 16

وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا

072: 16. Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).

Ayat 15 di atas menggambarkan sanksi bagi orang-orang menyimpang dari jalan lurus, yakni akan menjadi kayu api di neraka Jahannam. Padahal bila mereka tidak menyimpang situasi akan menjadi lain. Situasi inilah yang digambarkan oleh ayat 16 surah al-Jinn ini. Dan bahwasanya jikalau mereka, baik dari golongan jinn dan juga manusia, tetap istiqamah berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam) tanpa menyimpang ke sana kemari, maka benar-benar Kami, Allah Tuhan Yang Maha Raḥmān dan Maha Raḥīm, akan memberi minum kepada mereka air yang segar dengan aneka limpahan rezeki yang banyak.

Imām Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī, dalam Lubāb-un-Nuqūli fī Asbāb-in-Nuzūl, menurunkan sebuah riwayat berkaitan dengan asbāb-un-nuzūl ayat ini. Riwayat itu diterima dari al-Kharā’itī yang telah mengetenghakan hadits melalui Muqātil sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” Muqātil telah menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir Quraisy, sewaktu mereka tidak mendapatkan hujan selama tujuh tahun.

Keadaan menjadi kayu api neraka Jahannam tidak akan terjadi, bila mereka konsisten pada jalan yang benar dan lurus. Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam). Dalam arti memegang dengan teguh petunjuk dan hidayah Allah, tanpa menyimpang dan melepaskan hidayah tersebut menuju jalan yang sesat. Mereka mengambilnya sebagai dasar dan sekaligus menjadi tujuan dalam menjalani kehidupan di dunia yang fanā’.

Kalau itu yang mereka perbuat dan mereka lakukan, benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak). Air segar sebagai pelepas dahaga dalam perjalanan panjang memperjuangkan kebenaran, menegakkan amar ma‘ruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Karena jalan lurus yang ditempuh itu bukanlah jalan mendatar yang ditaburi dengan emas berlian. Tetapi jalan mendaki yang penuh tanjakan dan juga halangan dan rintangan. Karena Allah ingin menguji apakah pernyataan iman yang diucapkan itu adalah iman yang sungguh-sungguh atau hanya kamuflase semata.

 

AYAT 17

لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

072: 17. Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang amat berat.

Untuk membedakan mana yang emas dan mana yang loyang, logam itu memang harus dibawa ke batu ujian. Demikian pula keimanan baru dinyatakan iman yang sebenarnya bila sudah melalui cobaan dan ujian. Al-Qur’ān menggambarkan hal itu pada ayat ini. Untuk Kami beri cobaan dan ujian kepada mereka padanya dan barang siapa yang tidak kuat menerima cobaan tersebut, sehingga membuat dia berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya dia yang tidak tahan menerima cobaan itu kemudian berpaling dari Allah akan dimasukkan-Nya ke dalam neraka dengan adzab yang amat berat.

Ujian dan cobaan memang diperlukan untuk membuktikan apakah iman berkualitas atau tidak. Al-Qur’ān menggambarkan hal itu pada ayat ini. Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. Benar bahwa telah diberi limpahan rezeki yang berlimpah itu juga terkadang bisa menjadi cobaan dan ujian, tetapi banyak juga orang terjerembab karena ujian kelebihan harta dan rezeki.

Oleh sebab itu, siapa yang lulus atas ujian dan cobaan itu, maka kualitas imannya menjadi meningkat, ia akan meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Tetapi sebaliknya, barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang amat berat. Bila ia gagal dari ujian itu, disebabkan terlena karena rezeki yang berlimpah sehingga ia berpaling dari tuntunan Ilahi, maka mereka akan dimasukkan ke dalam penyiksaan yang amat berat.

 

9. Permohonan Jinn untuk Shalat di Masjid.

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا. قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا.

072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping Allah.
072: 19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jinn-jinn itu desak mendesak mengerumuninya.
072: 20. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”

 

AYAT 18

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.

072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping Allah.

Masih dalam pembicaraan tentang jinn. Ayat ini menggambarkan situasi di mana para jinn memohon agar dibenarkan ikut shalat bersama Nabi di Masjid Nabawi. Permohonan itu dikabulkan oleh Nabi. Namun para jinn diperingatkan agar tidak menyembah selain Allah di masjid itu. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu bangunan yang disediakan untuk melaksanakan shalat di dalamnya, pada hakikatnya adalah kepunyaan Allah semata. Maka oleh sebab itu janganlah kamu, wahai para jinn, menyembah seseorang pun di dalamnya, yakni di dalam masjid tempat kalian beribadah itu juga menyembah di samping Allah.

Pemahaman ayat sebagai tergambar di atas, didasarkan kepada sebuah hadits yang dijadikan sebagai asbāb-un-nuzūl ayat ini. Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur Abū Shāliḥ dan bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan bahwa jinn telah berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh idzinkanlah kami untuk melakukan shalat secara berjamaah bersamamu di masjidmu.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.

Hadits tersebut menggambarikan bahwa golongan jinn, setelah mereka beriman kepada Allah dan Rasūlullāh s.a.w., memohon agar diperkenankan ikut shalat berjamaah bersama Nabi di masjid beliau. Untuk itu turun ayat yang memberikan petunjuk kepada golongan jinn apa-apa saja yang boleh dilakukan di dalam masjid dan apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan di dalam masjid. Tuntunan dan pedoman ini sebenarnya berlaku umum, bukan hanya untuk para jinn saja, tetapi juga untuk manusia.

Pertama dijelaskan bahwa masjid itu adalah kepunyaan Allah. Ini adalah prinsip dasar dalam bangunan masjid. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Dalam ungkapan sehari-hari masjid juga disebut rumah Allah. Ungkapan ini bersifat simbolis semata untuk menegaskan bahwa masjid sebagai rumah ibadah yang di rumah itu disebut nama Allah setiap waktu. Maka dalam Islam tidak boleh ada larangan oleh siapa pun terhadap seseorang yang ingin shalat di masjid, apa pun aliran dan madzhab yang bersangkutan.

Masjid itu adalah tempat untuk bersujud, menyembah Allah dengan mendirikan shalat. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Akidah Islam ditegakkan dengan fondasi tauhid, yakni Lā ilāha illā Allāhu wa Muḥammadur Rasūlullāh (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muḥammad Rasūl Allah). Oleh sebab itu, tidak boleh ada penyembahan selain Allah dilakukan di masjid. Ini tidak berarti di luar masjid penyembahan terdahap selain Allah boleh dilakukan. Tetapi ini adalah sebuah penegasan yang kuat bahwa untuk tegaknya prinsip akidah, sedangkan di luar masjid saja tidak boleh menyembah selain Allah, apalagi di dalam masjid.

 

AYAT 19

وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.

072: 19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jinn-jinn itu desak-mendesak mengerumuninya.

Keinginan golongan jinn untuk shalat bersama Nabi di masjid sangatlah kuat. Terbukti ketika Nabi berdiri melaksanakan shalat, para jinn itu berdesak-desakan menjadi ma’mum di belakang Nabi. Dan bahwasanya tatkala sudah datang waktunya hamba Allah (Muḥammad) Rasūlullāh s.a.w., berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), yakni mendirikan shalat, hampir saja jinn-jinn itu yang ikut shalat bersama Nabi desak-mendesak mengerumuninya sebagai ma’mum.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. memperkenankan para jinn itu ikut shalat bersama beliau, maka muncullah para jinn itu dalam jumlah yang banyak ikut menjadi ma’mum. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah). Demikianlah digambarkan oleh ayat ini, Nabi s.a.w. shalat di masjid dan bertindak sebagai imam. Yang diseru oleh Nabi hanya Allah semata dan sujud hanya kepada Allah semata, bukan kepada yang lain selain Allah.

Situasi itu membuat para jin menjadi heran dan ta‘jub. Mereka ikut shalat menjadi ma’mum di belakang Nabi dalam jumlah yang banyak. Karena jumlah mereka yang banyak itu, hampir saja jinn-jinn itu desak-mendesak mengerumuninya. Betapa jumlah jinn yang ikut menjadi ma’mum ketika itu? Tidak ada angka yang pasti menyebut jumlah jinn tersebut. M. Quraish Shihāb menyebutkan jumlah tersebut antara lain dua belas ribu jinn, dan bahkan jumlah itu dan yang mencapai tujuh puluh ribu jinn.

 

AYAT 20

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا.

072: 20. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”

Ada mufassir yang berpendapat bahwa kisah tentang jinn yang digambarkan oleh surah al-Jinn ini berakhir sampai di ayat ke-20 ini. Pendapat ini antara lain dipahami oleh Buya Hamka dalam tafsir beliau Tafsīr al-Azhār. Tetapi bila ditilik ke ayat-ayat selanjutnya, di mana pada ayat 22 bertemu sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa seorang pemimpin jinn menawarkan perlindungan kepada Nabi, menjelaskan bahwa kisah tentang jinn belum berakhir pada ayat ke 20 tersebut. Oleh sebab itu, tidaklah keliru bila kita katakan bahwa perintah Allah untuk Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan dakwah, juga tertuju kepada masyarakat jinn tersebut. Katakanlah wahai Muḥammad kepada para jinn terseut: “Sesungguhnya shalat dan pengabdian yang aku kerjakan hanya semata-mata untuk menyembah Tuhanku Allah ‘azza wa jalla, dan aku tidak akan pernah secuil pun berniat mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”

Rasūlullāh s.a.w. menegaskan dalam dakwah beliau kepada para jinn itu bahwa beliau hanya beribadah kepada Allah semata. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku. Beliau tidak dapat menyembah yang lain selain Allah. Sebagai ciptaan manusia dimuliakan dari makhluk yang lain. Bahkan makhluk yang lain itu, seperti langit dan bumi diciptakan agar manusia mengeksploitasinya untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi manusia sendiri. Oleh sebab itu, menempatkan makhluk sebagai objek penyembahan, pada hakikatnya menurunkan martabat manusia sebagai ciptaan yang paling mulia. Oleh sebab itu, untuk menjaga kemuliaan manusia itu, beliau hanya menyembah dan beribadah semata-mata untuk Allah s.w.t.

Konsekuensi logis dari penyembahan kepada Allah itu adalah tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasūlullāh s.a.w. menegaskan itu, dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Keyakinan tauhid seperti ini tidak dapat digoyahkan oleh apa pun. Kafir Quraisy akan menganugerahi beliau takhta, wanita, dan harta, agar beliau menghentikan pengabdian dan dakwah beliau. Beliau bergeming dengan iming-iming itu.

Juga beliau pernah ditawari agar seminggu bersama-sama menyembah Allah dan seminggu lagi sama-sama menyembah berhala, beliau menolak mentah-mentah dengan mengatakan: “bagiku agamaku dan bagi kalian agama kalian.” Penyembahan kepada Allah tidak boleh dipersekutukan dengan yang lain, sebagaimana juga tidak boleh dikompromikan dengan yang lain. Penyembahan kepada Allah harus murni tidak boleh dicampur-aduk dengan yang lain.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *