وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا. وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا
072: 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
072: 7. Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun,
AYAT 6
وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
072: 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
Sebelum menafsirkan ayat ini ada baiknya ditampilkan terlebih dahulu sebuah riwayat sebagai asbāb-un-nuzūl-nya. Ibnu Sa‘īd telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Abū Rajā’ dari kalangan Bani Tamīm yang dia telah menceritakan: “Sesungguhnya aku menjadi penggembala kambing-kambing milik keluargaku dan aku menanggung beban pekerjaan mereka semua. Ketika Nabi s.a.w. telah diutus, kami keluar dari kalangan keluarga kami melarikan diri. Sewaktu kami sampai di suatu padang, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kami, yaitu apabila kami kemalaman, maka pemimpin kami mengatakan: “Sesungguhnya kami berlindung dari penunggu lembah ini dari gangguan jinn pada malam ini.” Maka kami pun mengatakan hal yang serupa.
Lalu, ada suara yang ditujukan kepada kami seraya mengatakan: “Sesungguhnya jalan keluar bagi laki-laki ini ialah mengucapkan kesaksian, yaitu bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muḥammad adalah Rasūlullāh. Kesaksian itu siapa pun yang mengucapkannya, niscaya darah dan harta bendanya selamat.” Lalu kami kembali dan langsung masuk Islam. Abū Rajā’ mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh aku dan teman-temanku, yaitu firman-Nya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
Riwayat di atas membenarkan bahwa terdapat keyakinan di masa Jahiliyyah orang-orang ‘Arab menyerahkan perlindungan diri mereka kepada jinn penghuni suatu tempat atau lembah. Mereka menyerahkan diri mereka berada dalam perlindungan jinn penunggu kawasan tersebut dari gangguan jinn yang lain yang suka mengganggu kehadiran manusia.
Tak pelak lagi, di masa sekarang ini masih ada orang-orang yang meyakini ada jinn yang bisa menjaga dirinya dari berbagai malapetaka yang kapan saja bisa datang. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn. Mereka menghubungi dukun untuk minta perlindungan agar jinn dapat menjaga diri mereka di mana pun mereka berada. Jinn dijadikan sebagai khadam yang mengabdi kepada tuannya. Sehingga tidak mengherankan ada orang-orang yang merasa yakin bila diperjualbelikan tanpa menyadari bahwa perbuatan itu hanyalah kebohongan semata. Karena si penjual jinn sebenarnya sedang menipu si pembeli dan baik si penjual dan si pembeli jinn ditipu oleh jinn itu sendiri.
Kenapa dikatakan ditipu? Karena, menurut al-Qur’ān, perbuatan mencari perlindungan kepada jinn itu, bukanlah mendapat perlindungan, malah hanya akan mendatangkan dosa dan kesulitan belaka. maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan (kesulitan). Perlindungan hanya ada dalam genggaman Allah. Allah-lah yang berkuasa memberikan keselamatan dan kesejahteraan, bukan dari tangan jinn. Jelas, menurut ayat ini, kita dilarang meminta perlindungan kepada jinn, karena tempat berlindungan yang sesungguhnya adalah Allah.
Dalam akidah Islam jelas dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling mulia dari makhluk yang lain, bahkan lebih mulia dari malaikat. Sementara jinn adalah makhluk yang diciptakan tanpa kemuliaan sama sekali. Adalah sesuatu yang salah kaprah, makhluk yang lebih mulia meminta perlindungan kepada makhluk yang tidak mulia. Bukankah yang dijadikan oleh Allah sebagai khalifah-Nya di muka bumi adalah manusia, bukan malaikat dan bukan juga jinn.
Bagaimana kalau yang diminta perlindungan itu bukan jinn kafir, tetapi kepada jinn sudah Islam? Buya Hamka menurunkan dua hadits tentang meminta perlindungan terhadap jinn Islam, ketika menafsirkan ayat 6 ini. Pertama, riwayat dari Ibnu ‘Abbās menjelaskan bahwa jinn Islam bila bertemu dengan seorang manusia Muslim, jinn tersebut akan merasa malu dan lari. Kalau sedang melaksanakan shalat yang selalu menjadi imam bukanlah jinn, tetapi manusialah yang jadi imam sementara jinn menjadi ma’mum. Jinn sangat segan kepada manusia, baik jinn yang kafir maupun jinn yang Islam. Kedua, riwayat dari Qatādah, Abul-‘Āliyyah, Rabī‘ dan Ibn Zaid menafsirkan: “Oleh karena manusia telah pergi memperlindungkan dirinya kepada jinn, dia pun diperbodoh oleh jinn itu, sehingga kian lama pikirannya kian kacau, dan kian lama pikirannya kian takut kepada jinn itu.”
AYAT 7
وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا
072: 7. Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang pun.
Di kalangan jinn kafir terdapat keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam. Dan sesungguhnya mereka (jinn) yang kafir itu menyangka dalam arti meyakini sebagaimana persangkaan atau keyakinan kamu (orang-orang kafir Makkah) yang tidak menerima akan kebenaran al-Qur’ān, bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan kalian seorang pun setelah kalian mati, atau tidak membangkitkan seorang rasūl.
Kelompok orang-orang yang tidak mempercayai Hari Kiamat, bukan saja ada di kalangan manusia, ternyata ada juga di kalangan jinn. Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka. Kalangan jinn itu juga ada yang mendustakan akan datangnya Hari Kiamat. Mereka tidak mempercayainya dan mengatakan bahwa berita itu hanya kebohongan belaka. Tidak akan ada jinn yang dibangkitkan kelak di Hari Kiamat. Jangankan akan dibangkitkan, hari untuk membangkitkan itu juga tidak ada.
Hal seperti itu pulalah yang diyakini oleh orang-orang kafir Makkah, sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah). Walaupun mereka mempercayai ada Allah dan di samping Allah ada tuhan-tuhan lain, seperti Lāta, ‘Uzzā, dan Manāt, mereka tidak meyakini adalah hari berbangkit. Karena sebagian mereka meyakini bahwa hidup ini adalah perjalanan panjang yang ketika manusia mati, maka selesailah seluruhnya, tidak akan ada hari berbangkit.
Terdapat dua bentuk panafsiran terhadap ayat ini, bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang pun. Pertama, membangkitkan seorang pun dari manusia yang telah mati, kelak nanti pada hari berbangkit, sesudah terjadi peristiwa Hari Kiamat. Semua makhluk yang hidup akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatan selama di dunia. Untuk kasus jinn ada kritiki di sini. Bagaimana membangkitkan jinn yang memang sudah tercipta sebagai makhluk ghaib yang tidak mempunyai tubuh jasmani?
Analog dengan manusia yang tercipta dari tanah, maka jinn yang tercipta dari api juga akan mengalami hal yang setara. Tentu bukan dalam arti kebangkitan jasmani sebagaimana manusia. Jinn akan dibangkitkan sesuai dengan kualitas penciptaannya dari api yang seluruhnya berjalan dalam ketentuan dan ilmu Allah s.w.t. Kalau Allah menghendaki seluruh yang dikatakan tidak mungkin atau mustahil pasti bisa terjadi.
Kedua, membangkitkan seorang rasūl yang akan menjadi penuntun kehidupan jinn dan manusia di dunia. Rasūl itu sengaja diutus oleh Allah s.w.t. yang dilengkapi dengan wahyu, sebagai wujud kasih-sayang Allah Maha Raḥmān dan Raḥīm terhadap makhluk-Nya. Wahyu itu kemudian dikodifikasi menjadi kitab suci, antara lain muncul dalam bentuk al-Qur’ān al-Karīm.
وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا. وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا. وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.
072: 8. Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api.
072: 9. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).
072: 10. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.
AYAT 8
وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا.
072: 8. Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api.
Runtunan ayat di atas yang mendeskripsikan perkataan-perkataan jinn mengisyaratkan bahwa para jinn itu mengetahui banyak hal tentang apa yang tidak diketahui oleh manusia. Sehingga para jinn itu dikatakan mencoba mengetahui rahasia yang tersimpan di langit dengan menjalin hubungan alam atas tersebut. Dan sesungguhnya kami para jinn telah mencoba dan berusaha untuk mengetahui (rahasia) langit. Mereka berusaha mendatangi alam malakut itu dan mendengar-dengarkan berita apa yang ada di sana tentang apa yang akan dialami oleh umat manusia tersebut.
Ketika para jinn menghampiri alam malakut untuk mendapatkan rahasia yang ada di sana, ternyata alam malakut itu ditunggui oleh pengawal dan penjaga yang teratur rapi dan kuat. maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat. Penjagaan itu bukanlah penjagaan yang sembarangan, tetapi penjagaan itu adalah penjagaan yang kokoh dan kuat. Penjagaan yang tidak mudah ditembus oleh kekuatan apa pun sehingga para jinn sendiri tidak mampu menembusnya.
Para penjaga alam malakut itu dipersenjatai dengan panah-panah api. Imām Jalālain, yaksi as-Suyūthī dan al-Maḥallī, menafsirkan panah-panah api dengan meteor. Meteor-meteor yang telah mengintai dalam keadaan siap siaga untuk memburu jinn yang datang menghampiri langit. Sehingga setiap jinn yang datang mendekati langit langsung disambut dengan anak panah yang menembus dengan sangat kencang dan kuat. Sehingga tidak satu pun jinn yang mampu mendekati langit tersebut.
AYAT 9
وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا.
072: 9. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).
Dan sesungguhnya kami, golongan jinn, dahulu, sebelum Rasūlullāh Muḥammad s.a.w. diutus oleh Allah s.w.t., selalu dapat menghampiri, bahkan menduduki beberapa tempat dan kawasan di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya) berupa rahasia yang ada di sana. Tetapi sekarang, sesudah Nabi Muhammad s.a.w. diutus, maka barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu sudah pasti akan menjumpai panah api yang menyala-nyala telah mengintai (untuk membakarnya).
Dari redaksi ayat ini terpahami dengan mudah (mutabādir) bahwa pernyataan jinn ini terjadi sesudah Rasūlullāh Muḥammad s.a.w. diutus oleh Allah s.w.t.. Sebab, dari rangkaian ayat-ayat terdahulu, surah ini dimulai dengan pemberitaan bahwa Rasūlullāh menerima wahyu di mana para jinn mendengar pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ān. Oleh sebab itu, ayat ini menjelaskan apa yang dialami oleh golongan jinn dahulu, sebelum Nabi Muḥammad diutus oleh Allah s.w.t. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu. Artinya, bisa mendekati langit dan mengambil tempat berdiam.
Pada waktu mereka menduduki tempat di langit itu tujuannya adalah untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Pada waktu mereka masih bebas mendengarkan berita-berita tersebut tanpa ada halangan dan rintangan. Bahkan, ada penafsiran yang mengatakan bahwa ketika itu para jinn berusaha mendapatkan kalam Allah yang akan diturunkan kepada para nabi dan rasūl. Mereka sangat berkepentingan dengan berita-berita tersebut untuk mereka teruskan kepada para dukun dan ahli tenung yang ada di dunia yang telah menjadikan mereka, para jinn itu, sebagai pelindung.
Situasi sudah berubah. Sekarang Nabi Muḥammad s.a.w. sudah diutus oleh Allah s.w.t. Bila dahulu para jinn itu bisa mencuri-curi dengar berita langit, tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). Para jinn tidak dibenarkan lagi untuk mengintip-intip berita langit. Kalau mereka lakukan juga, maka mereka akan dibinasakan dengan panah api menyala-nyala.
AYAT 10
وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
072: 10. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.
Namun, satu hal yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa sebenarnya jinn tidak mengetahui tentang peruntungan manusia, apakah baik atau buruk. Jinn tidak mempunyai ilmu tentang itu. Dan sesungguhnya kami, para jinn, sungguh tidak mengetahui apakah layak dan patut keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi, apakah itu golongan jinn sendiri atau golongan manusia, ataukah Tuhan mereka Yang Maha Raḥmān lagi Maha Raḥīm menghendaki kebaikan bagi mereka.
Situasi yang sudah berubah dari masa sebelum Nabi Muḥammad s.a.w. diutus dan sekarang sesudah Nabi Muḥammad s.a.w. diutus menegaskan bahwa para jinn tidak mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui. Sangat bodohlah orang-orang yang menjadikan jinn atau syaithan sebagai pelindung, sebagai khadam-khadam untuk menyelamatkan diri. Karena sudah sangat jelas dinyatakan oleh jinn sendiri bahwa mereka tidak mengetahui apa yang akan terjadi di bumi.
Peristiwa di bumi dalam sudut pandang moralitas agama ada dua. Pertama, apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi, yang dengan kata lain jalan keburukan atau jalan kesesatan. Apakah manusia dan jinn menjalani jalan keburukan? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh manusia dan jinn sendiri. Bila menghendaki jalan keburukan, itu sebagai pilihan mereka sendiri. Namun, dalam ayat ini ungkapan tersebut dimunculkan dalam kalimat pasif (binā’ lil-majhūl) dengan menyembunyikan pelaku (fā‘il)-nya. Ungkapan ini merupakan bentuk sopan santun kaum beriman kepada Allah.
Kedua, ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka, yang dengan kata lain jalan kebaikan atau jalan lurus. Jalan kebaikan atau jalan lurus memang diprioritaskan oleh agama. Siapa yang melakukan kejahatan akan dibalas setimpal dengan kejahatannya itu. Sebaliknya, siapa yang melakukan kebaikan, maka ia akan dibalas dengan berlipat ganda. Oleh sebab itu, ungkapan dalam penggalan ayat ini adalah dengan mempergunakan kalimat aktif dengan menyebutkan pelaku (fā‘il)-nya, yakni Allah s.w.t. sendiri.