Surah al-Jinn 72 – Tafsir Khuluqun ‘Azhim (1/7)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim

TAFSIR SURAH KE-72

سُوْرَةُ الْجِنِّ

AL-JINN/THE UNSEEN BEING/JIN

AYAT 1 s/d 28

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

1. Iftitāḥ

Surah al-Jinn (Jinn) adalah surah yang ke-72 dalam susunan surah-surah yang terkandung pada Mushḥaf ‘Utsmānī. Ayatnya terdiri atas 28 ayat. Ibnu ‘Abbās bersepakat dengan jumlah ayat 28 ini. Beliau juga menghitung jumlah kata yang terdapat di dalamnya sebanyak 2855 kata dan jumlah huruf-hurufnya adalah sebanyak 1109 huruf. Seluruh ayat surah al-Jinn disepakati temasuk ke dalam kelompok ayat-ayat Makkiyyah yang turun sebelum Nabi Hijrah ke Madīnah. Surah al-Jinn turun sesudah surah al-A‘rāf dan sebelum surah Yāsīn.

Hanya ada dua nama yang diberikan kepada surah ini, yaitu surah al-Jinn dan surah Qul Ūhiya Ilayya. Diberi nama dengan surah al-Jinn karena mulai ayat pertama sampai ayat kesembilan belas surah ini berbicara tentang fenomena jinn. Sementara nama Qul Ūhiya Ilayya terambil dari ayat pertama surah ini, yakni perintah kepada Nabi Muḥammad untuk menyampaikan wahyu yang telah beliau terima dari Allah.

Ada beberapa riwayat berkaitan dengan asbābun nuzūl surah al-Jinn ini. Salah satunya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dalam Shaḥīḥ beliau, yang berasal dari Ibnu ‘Abbās.

Ibnu ‘Abbās berkata: “Rasūlullāh berangkat ke pasar ‘Ukkāzh bersama sejumlah sahabatnya. Ketika syaithan-syaithan telah dihalangi untuk mencuri dengar berita langit dengan semburan lidah api sehingga mereka kembali ke kaum mereka. Kaum mereka bertanya: “Apa yang terjadi dengan kalian.” Mereka menjawab: “Kami mendapat halangan untuk mendengar berita langit dan kami disambar lidah api.” Pemuka syaithan berkata: “Kalian tidak akan dihalangi mendengar berita langit kecuali karena sesuatu telah terjadi. Jelajahi seluruh permukaan bumi dan cari tahu apa yang telah terjadi.”

Kemudian mereka pergi ke seluruh penjuru dunia untuk melihat peristiwa apa yang telah terjadi sehingga mereka dihalangi mendengar berita langit. Dan (mereka) yang menuju ke Tihāmah pergi ke arah Rasūlullāh (ketika beliau berada) di Nakhlah dan bermaksud pergi ke pasar ‘Ukkāzh. Saat itu beliau baru selesai shalat Shubuḥ bersama para sahabatnya. Ketika rombongan syaithan itu mendengar bacaan al-Qur’ān, mereka pun memasang telinga dengan saksama, kemudian mereka berkata: “Inilah yang menghalangi kalian dari mendengar berita langit.” Maka tatkala kembali ke kaum mereka, mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan, yang memberi petunjuk ke jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-sekali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.” Dan Allah ta‘ālā menurunkan ayat kepada Nabi s.a.w.: “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (bacaan)……” Yang diwahyukan kepada beliau adalah perkataan jinn.

Munāsabah (korelasi) antara surah al-Jinn dengan surah sebelumnya, yakni surah Nūḥ, adalah bahwa pada ayat terakhir surah Nūḥ dikatakan bahwa Nabi Nūḥ a.s. memohon kepada Allah Rabb al-‘Ālamīn agar mengampuni semua orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, dan memberikan perlindungan kepada mereka, sebagai anugerah dari Allah s.w.t.. Sedangkan awal surah al-Jinn menggambarkan bahwa kalangan Jinn setelah mendengar bacaan al-Qur’ān al-Karīm, mereka lalu sadar dan beriman kepada Allah s.w.t. Untuk itu mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Sebab dengan beriman itu kalangan Jinn juga akan mendapat perlindungan dari Allah s.w.t.

Adapun pokok-pokok kandungan surah al-Jinn ini adalah bahwa Jinn sebagai makhluq ghaib diberitakan oleh al-Qur’ān yang diwahyukan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Di antara mereka ada yang beriman dan ada yang kafir. Untuk itu, Allah menjanjikan bila jinn menempuh jalan yang lurus, sebagaimana yang ditempuh juga oleh manusia, maka mereka akan mendapat limpahan rezeki dari Allah. Di samping itu, Nabi Muḥammad s.a.w. dan wahyu yang dibawa oleh beliau juga akan selalu mendapat perlindungan dari Allah s.w.t.

2. Hakikat Jinn Menurut al-Qur’ān dan Hadits.

Kisah tentang jinn di tengah masyarakat sangat beragam. Ada jinn yang bisa dikendalikan oleh manusia, bisa disuruh-suruh mengerjakan apa saja yang diinginkan oleh manusia yang menyuruhnya. Kalau yang menyuruhnya menginginkan seseorang celaka, maka jinn itu bisa membuat orang yang dituju celaka. Sebaliknya, bila jinn itu disuruh untuk menjaga seseorang yang disuruh jaga supaya aman, maka orang yang dijaga jin itu akan aman. Ada jinn yang bersuamikan atau beristri manusia. Dengan berteman seorang jinn, seorang manusia bisa menjadi kaya raya.

Dalam Kisah Seribu Satu Malam terdapat cerita yang sangat populer tentang Jinn ‘Ifrīt. Jinn ‘Ifrīt sudah terpenjara di dalam sebuah guci beribu-ribu tahun. Maka pada suatu hari guci tersebut ditemukan oleh seorang nelayan miskin. Ketika dibuka penutup guci tersebut, maka keluarlah Jinn ‘Ifrīt yang sudah terpenjara ribuan tahun tersebut. Maka kata sang Jinn ‘Ifrīt kepadanya mintalah apa saja pasti akan kuberikan. Maka si nelayan miskin tadi meminta kekayaan yang berlimpah. Lalu, Jinn ‘Ifrīt itu mendatangkan kekayaan yang berlimpah itu seketika. Akhirnya nelayan miskin tersebut menjadi kaya raya.

Daftar panjang cerita dan dongeng di atas bisa ditemukan. Tetapi sekali lagi itu hanyalah dongeng semata yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Mempercayai bahwa Jinn dapat mendatangkan bencana atau keselamatan adalah perbuatan syirik. Tiada daya dan tiada upaya kecuali hanya dalam genggaman Allah s.w.t. Tidak ada makhluk mana pun yang mendapat keistimewaaan khusus mengambil alih hak Allah tersebut atau diberi kekuatan oleh Allah untuk melakukannya, kecuali mu‘jizat yang diberikan kepada para nabi dan rasul.

Lalu, makhluq apakah jinn itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa jinn adalah makhluq halus yang diciptakan dari api. Ia adalah makhluq ghaib yang diciptakan oleh Allah yang dianugerahi akal nafas sebagaimana manusia.

Di dalam al-Qur’ān ditemukan penyebutan kata jinn sebanyak 39 kali. Dua kali berbicara tentang penciptaan jinn, masing-masing pada surah al-Ḥijr [15]: 27:

وَ الْجَانُّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ.

Dan Kami telah menciptakan jinn sebelum (Ādam) dari api yang sangat panas.”

dan surah ar-Raḥmān [55]: 15:

وَ خَلَقَ الْجَانَّ منْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ.

Dan Dia menciptakan jinn dari nyala api.”

Dua ayat al-Qur’ān di atas menjelaskan bahwa jinn diciptakan oleh Allah dari api yang sangat panas, yang disebut oleh al-Qur’ān dengan istilah min nār as-samūm dan min mārijin min nār. Api adalah dzat yang mengandung ether sehingga menjadi sangat ringan, karena itu tiada batas bagi jinn untuk berada di mana saja di jagat raya. Lebih jauh, syaithan adalah makhluk yang tidak berada dalam konsep ruang dan waktu, sebagai dimiliki oleh makhluq materi.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim, yang diterima dari ‘Ā’isyah, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Diciptakan malaikat dari cahaya, diciptakan Iblīs dari nyala api, diciptakan Ādam dari apa yang telah disebutkan kepada kamu. Di waktu-waktu mendesak mendidihlah panci sehingga isinya meluber dan muncullah tabiatnya mengkhianati (ke permukaan).” Hadits ini menjelaskan tentang Iblīs, yang dipahami sebagai jinn yang sudah mendurhaka kepada Allah. Jadi pada hakikatnya Iblīs itu adalah golongan Jinn yang tidak mau tunduk kepada Allah, atau dengan kata lain, Iblīs adalah jinn yang sudah kafir. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam surah al-Kahfi [18]: 50:

وَ إِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ، أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَ ذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِيْ وَ هُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ، بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلًا.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Ādam, maka sujudlah mereka kecuali Iblīs. Dia adalah dari golongan jinn, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil Dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zhalim.

Iblīs juga diidentifikasi dengan perdikat syaithan. Maka syaithan pun pada hakikatnya juga dari golongan jinn yang sudah mendurhaka.

Sebagai makhluq ghaib, jinn tidak dapat dilihat dengan bentuk aslinya. Sama dengan manusia yang diciptakan dari tanah, tidak lagi berbentuk tanah, demikian jinn yang diciptakan dari api tidak lagi berbentuk api. Apa wujud aslinya hanya Allah yang tahu. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa jinn tidak dapat dilihat oleh manusia. Sebaliknya, jinn dapat melihat manusia. Hal itu dijelaskan oleh firman Allah dalam surah al-A‘rāf [7]: 27 dengan menyebut syaithan sebagai manifestasi jinn:

يَا بَنِيْ آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا، إِنَّهُ يَرَاكَمْ هُوَ وَ قَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ، إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ.

Wahai anak Ādam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya dia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaithan-syaithan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”

Namun, ayat di atas dipahami oleh para mufassir sedikit berbeda. Pada prinsipnya jinn memang tidak dapat dilihat. Tetapi bila Allah menghendaki, jinn akan dapat dilihat setelah mengalihkan bentuk mereka kepada dzat yang dapat dilihat. Hal itu hanya diperoleh untuk memperlihatkan mereka, Allah akan menampakkan tubuh jinn itu sehingga dapat dilihat. Hal itu hanya bisa terjadi pada masa Nabi. Merupakan sebagian bukti dari kenabian beliau.

Imām ibn-ul-Jauzī di dalam kitabnya yang berjudul Shafwat-ush-Shafwah telah mengetengahkan sebuah hadits berikut sanadnya melalui Sahl ibnu ‘Abdillāh, bahwa dia telah menceritakan: “Pada suatu hari aku berada di salah satu kawasan tempat kaum ‘Ād. Tiba-tiba aku melihat suatu kota yang terbuat dari batu yang dilubangi. Di dalam dijadikan tempat tinggal para jinn. Lalu, aku memasukinya, maka tiba-tiba aku bersua dengan seseorang yang sudah lanjutnya usianya lagi sangat besar badannya; ia sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah Ka‘bah. Orang tua atau syaikh jinn itu memakai jubah dari bulu yang dianyam dengan sangat indahnya.

Ketakjubanku terhadap keindahan jubah yang dipakainya melebihi ketakjubanku kepada bentuk tubuhnya yang sangat besar itu. Kemudian aku memberi salam kepadanya, dan ia pun menjawab salamku, lalu ia berkata: “Hai Sahl, sesungguhnya badan atau jasad ini tidak dapat merusak atau melapukkan pakaian, tetapi sesungguhnya yang merusakkan pakaian itu adalah bau dosa-dosa dan makanan-makanan yang diharamkan. Dan sesungguhnya jubah silam. Dengan memakai baju ini pula aku bertemu dengan Nabi ‘Īsā dan Nabi Muḥammad s.a.w. Lalu, aku beriman kepada keduanya.” Aku bertanya: “Siapakah anda?” Ia menjawab: “Aku termasuk jinn-jinn yang ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka.”

Dua ayat yang mempergunakan kata jinn, yakni surah an-Naml [27]: 10 dan surah al-Qashash [28]: 31 tidak berbicara tentang fenomena jinn, tetapi tentang tongkat Nabi Mūsā. Al-Qur’ān mempergunakan kata jannu untuk merujuk tongkat yang menjadi ular tersebut, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Qashash di atas: “Dan jatuhkanlah tongkatmu itu. Maka tatkala dilihatnya tongkat itu bergerak seperti ular (jānnūn).”

Sama dengan tujuan penciptaan manusia, jinn diciptakan oleh Allah s.w.t. untuk tunduk dan patuh secara total kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada ketentuan Allah itu merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh jinn. Hal ini ditegaskan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya, surah adz-Dzāriyāt [51]: 56:

وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ.

Tidaklah Aku ciptakan jinn dan manusia kecuali untuk tunduk dan patuh.”

Dengan demikian, juga sama dengan manusia, jinn ada yang mu’min dan ada yang kafir. Jinn Mu’min adalah jin yang menerima kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w., sebaliknya jinn kafir adalah jinn yang mendustakan kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w. Untuk jinn yang kafir ini al-Qur’ān memberi nama dengan Iblīs dan syaithan.

Nama ‘Ifrīt juga disebut oleh al-Qur’ān. Jinn ‘Ifrīt ini muncul dalam kisah Nabi Sulaimān. Ketika Nabi Sulaimān memerintahkan tentaranya dari kalangan jinn untuk memindahkan singgasana ratu Bilqīs dalam waktu yang secepat-cepatnya. Ketika tawaran itu disampaikan kepada para jinn, maka ‘Ifrīt menjawab bahwa dia mampu melakukan lebih cepat dari perkiraan semula. Ini yang dijelaskan oleh firman Allah dalam surah an-Naml [27]: 39:

قَالَ عِفْرِيْتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيْكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُوْمَ مِنْ مَقَامِكَ، وَ إِنِّيْ عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِيْنٌ.

Berkatalah ‘Ifrīt dari kelompok Jinn: “Aku sanggup membawa singgasana itu kepada tuanku sebelum tuanku berdiri dari tempat duduk tuanku. Sesungguhnya aku kuat lagi dapat dipercaya.”

Dari berbagai ungkapan ayat dan hadits di atas, maka dapat disimpulkan jinn adalah makhluk Allah, yang diciptakan dari api, yang melampaui ruang dan waktu yang ada di bumi. Jinn menjalani kehidupan sebagaimana kehidupan manusia, yang juga mempunyai jenis laki-laki dan perempuan. Kalangan jinn juga ada yang beriman dan ada yang durhaka. Dari sudut kemampuan dan kekuatan, kalangan jinn kelihatannya ada yang melebihi kekuatan manusia normal, seperti yang dimiliki oleh jinn ‘Ifrīt.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *