Hati Senang

Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi (4/10)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Peringatan

 

Di sini terdapat pertanyaan yang timbul dengan sendirinya: “Mengapa Masjid Qubā’ dan bukan lainnya? Mengapa disyaratkan bersuci di rumahnya, tidak di masjid?”

Saya mencari jawabannya lama sekali dan tidak mendapatkan satu pendapat pun. Kemudian nampak jelas bagi saya realitas sejarah dan hubungannya dengan realitas kaum muslim dan Masjid-ul-Ḥarām, bahwa Masjid Qubā’ memiliki berbagai macam hubungan dengan Masjid-ul-Ḥarām.

Pertama, dari segi waktu, ia lebih dahulu daripada masjid Madīnah.

Dari segi permulaan nasab, Masjid-ul-Ḥarām adalah rumah pertama yang diperuntukkan bagi manusia.

Masjid Qubā’ adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslim.

Masjid-ul-Ḥarām dibangun oleh al-Khalīl.

Masjid Qubā’ dibangun oleh penutup para utusan.

Dari segi tempat, Masjid-ul-Ḥarām adalah pilihan Allah s.w.t., serupa dengan tempat Masjid Qubā’.

Dari segi tema, Masjid-ul-Ḥarām adalah tempat yang aman dan tempat berlindung bagi yang ber-muqīm di situ atau kaum nomaden.

Masjid Qubā’ adalah tempat yang aman, tempat tinggal dan tempat berlindung bagi kaum Muhājirīn pertama dan untuk penduduk Qubā’, maka untuk shalat memiliki kaitan yang kuat dengan Masjid-ul-Ḥarām, sehingga menjadikan orang yang bersuci di rumahnya dan sengaja menujunya untuk mendirikan shalat di dalamnya seperti pahala orang ‘umrah.

Jika dikatakan: Persyaratan suci di rumahnya tidak di sisi masjid adalah, pertama perhatian yang besar terhadapnya, kedua, pembersihan niat kepadanya, dan keserupaan atau dekat dengan kenyataan dari persyaratan ihram untuk ‘umrah dari tanah halal, bukan dari sisi rumah dalam ‘umrah yang sebenarnya, karena keadaannya jauh,” maka bersuci di rumah dan pergi ke Qubā’ untuk shalat di dalamnya adalah seperti ihram dari tanah halal memasuki tanah haram untuk thawaf dan sa‘i, sebagaimana di dalamnya terdapat penggantian bagi Muhājirīn apa yang telah mereka lewatkan dari akibat berdekatan dengan Bait-ul-Ḥarām sebelum penaklukan.

 

Peringatan Lain

 

Hal yang layak diketahui adalah, masjid di masyarakat Islam memiliki risalah agung yang diwajibkan bagi kaum muslim untuk menghidupkannya, yakni masjid bagi mereka adalah rumah umat untuk semua kebaikan umum dan khusus yang mendekati kebaikan baginya, dan seakan-akan Masjid Nabawi adalah prototipe untuk hal itu bagi kaum muslim pertama.

Karena di dalamnya orang-orang melaksanakan shalat, menjadi tempat untuk mendapatkan ilmu dari Nabi s.a.w., Jibrīl a.s., para imam dan pewaris para nabi, dan masih terus berlanjut sebagaimana Nabi s.a.w. bersabda:

يُوْشِكُ أَنْ يَضْرِبَ النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ فَلَا يَجِدُوْنَ عَالِمًا كَعَالِمِ الْمَدِيْنَةِ.

Hampir saja orang-orang yang memukul unta (melakukan perjalanan) dan tidak menemukan orang alim seperti orang alim Madīnah.” (2231).

Nabi s.a.w. bersabda:

مَنْ رَاحَ إِلَى مَسْجِدِيْ لِعِلْمٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ كَانَ كَمَنْ غَزَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.

Barang siapa pergi ke masjidku demi ilmu yang ia pelajari atau yang ia ajarkan, maka ia seperti orang yang berperang di jalan Allah.

Di dalamnya terdapat pengajaran kepada anak-anak untuk membaca dan menulis. Keadaannya dulu demikian dan tetap demikian hingga saat ini, alḥamdulillāh. Ia juga dulu menjadi tempat menetapkan fatwa, tempat pengadilan, tempat untuk menyambut tamu, tempat bagi tawanan, dan rumah sakit bagi yang terluka.

Sa‘d pernah diberikan pengobatan di sana – karena terkena anak panah – dan Nabi s.a.w. mengunjunginya dalam waktu yang singkat, dan menjadi tempat bagi kepemimpinan. Kemudian dibuat di dalamnya panji jihad, ditetapkan sebagai tempat perdamaian, sebagai kediaman delegasi – seperti delegasi Tamīm dan ‘Abd-ul-Qais – serta menjadi Bait-ul-Māl – seperti datangnya harta dari Baḥrain – dan pengjagaan Abū Hurairah terhadapnya.

Ketika Bait-ul-Māl kaum muslim berlubang. ‘Umar r.a. berkata kepada penguasanya di sana: “Pindahkan ke masjid karena di dalamnya terdapat orang yang shalat,” yakni untuk mengendalikan penjagaannya, tempat tinggal bagi yang hidup membujang, tempat menginap bagi orang asing, dan lain-lain yang tidak ditemukan dalam lembaga lainnya. Semua itu dilakukan di masjid, inilah di antara yang memperkuat risalah masjid, dan mendorong untuk memberikan perhatian dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Dalam kaitannya dengan kekhususan empat masjid ini dengan lebih banyaknya keutamaan dan pelipat-gandaan pahala shalat, maka dalam Masjid Nabawi khususnya terdapat berbagai macam pembahasan selama ditunjukkan kepada berbagai tempat, yakni dalam hal signifikansi tempat, dan yang terpenting adalah empat pembahasan yang kami sajikan secara ringkas, yakni:

Pertama, pelipat-gandaan pahala shalat dengan 1000 kali lipat, apakah itu khusus dengan Masjid Nabawi yang merupakan bangunan aslinya? Atau apakah mencakup semua yang termasuk bangunan tambahan akibat perluasan. Demikian juga perluasan shaf di luar masjid karena berdesakan.

Kedua, apakah itu hanya dalam shalat fardhu? Atau juga untuk shalat sunnah? Apakah itu untuk laki-laki dan perempuan? Atau untuk laki-laki saja?

Dalam perkara shalat arba‘īn setelah perluasan pertama untuk ‘Umar r.a. dan ‘Utsmān r.a., serta perpindahan mihrab ke qiblat dari raudhah, maka shaf mana yan lebih utama, shaf pertama atau shaf raudhah?

Ketiga, shalat para ma’mum dalam kondisi berdesak-desakan di hadapan imam.

Keempat, hadits syad raḥal (bepergian) dan salam kepada Rasūlullāh s.a.w., kemudian terdapat pembahasan yang mengharuskan kaitan antara awal dan akhir ayat: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah” (Qs. al-Jinn [72]: 18) karena di dalamnya terdapat penyebutan dan isyarat untuk membangun masjid di atas kuburan, padahal adanya penyucian ibadah hanya kepada Allah s.w.t.

Pembahasan-pembahasan itu telah saya uraikan dalam risalah Masjid Nabawi yang telah saya tuliskan sebelumnya, dan kami secara global menjelaskannya di sini.

 

Pembahasan Pertama

Apakah keutamaan itu khusus dalam shalat fardhu? Atau berlaku pula bagi shalat sunnah?

Jumhur sepakat dalam shalat fardhu.

Terdapat perbedaan pendapat dalam hal shalat sunnah, selain tahiyyat-ul-masjid, dua rakaat setelah Jum‘at, dan dua rakaat sebelum Maghrib.

Perbedaan pendapat yang ada adalah dalam shalat sunnah rawatib pada shalat lima waktu dan shalat malam, dan sebab perbedaan pendapat tersebut adalah keumuman hadits.

صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ.

Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid selainnya.” (2242)

Bagi yang membawanya pada keumuman, maka mencakup shalat sunnah, sedangkan yang membawa keumuman itu pada asal, maka membatasinya hanya dalam shalat fardhu, karena yang umum secara mutlak mencakup yang khusus, yakni shalat fardhu.

Terdapat hadits Zaid bin Tsābit dalam kitab Abū Dāūd dan lain-lain:

أَفْضَلُ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوْبَةَ.

Sebaik-baik shalat seseorang, di rumahnya, kecuali shalat fardhu.” (2253).

Terdapat penjelasan tentang kata “di masjidku” dengan sabdanya:

صَلَاةُ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا إِلَّا الْمَكْتُوْبَةَ.

Shalat seseorang di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di masjidku ini kecuali shalat fardhu.” (2264).

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dalam asy-Syamā’il dan Majma‘-uz-Zawā’id, bahwa ‘Abdullāh bin Sa‘d bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang shalat di rumahnya dan shalat di masjid, lalu Nabi s.a.w. menjawab:

قَدْ تَرَى مَا أَقْرَبُ بَيْتِيْ مِنَ الْمَسْجِدِ فَلِأَنْ أُصَلِّيَ فِيْ بَيْتِيْ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّيْ فِي الْمَسْجِدِ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ الْمَكْتُوْبَةَ.

Kadang kamu melihat betapa dekat rumahku dari masjid, karena shalatku di rumahku lebih aku sukai daripada shalatku di masjid, kecuali shalat fardhu.

Dalam satu riwayat dinyatakan: (أَرَأَيْتَ قُرْبض بَيْتِيْ مِنَ الْمَسْجِدِ) “Tidakkah kamu melihat dekatnya rumahku dari masjid?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau lalu bersabda: (فَإِنِّيْ أَصَلِّي النَّافِلَةَ فِيْ بَيْتِيْ.) “Sesungguhnya aku shalat sunnah di rumahku.” (2275).

Pendapat para Imām dan perincian pendapat para Imām tersebut adalah:

Pendapat Imām Abū Ḥanīfah: Shalat sunnah di rumah lebih utama. Jika terjadi di Masjid Nabi s.a.w., maka bagi shalat sunnah tersebut memiliki pahala yang sama, yakni itu bersifat umum dalam semua shalat. Akan tetapi shalat sunnah di rumah lebih baik daripada shalat sunnah di masjid.

Dalam madzhab Syāfi‘ī, terdapat perbedaan riwayat darinya.

An-Nawawī menyebutkan dalam Syaraḥ Muslim konsep keumuman, dan riwayat darinya dalam al-Majmū‘ yang mengatakan konsep kekhususan, meski ia tidak menjelaskannya.

Nash-nash mengenai shalat sunnah di rumah banyak sekali jumlahnya, di antaranya: (اِجْعَلُوْا صَلَاتَكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ) “Jadikanlah shalat kalian di rumah.” (2286).

(أَكْرِمُوْا بُيُوْتَكُمْ بِبَعْضِ صَلَاتِكُمْ.) “Muliakanlah rumah kalian dengan sebagian shalat kalian.” (2297).

Al-Qurthubī menyebutkan dari Muslim: (إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ فِيْ مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْبًا مِنْ صَلَاتِهِ.) “Apabila salah seorang dari kalian melaksanakan shalat di masjidnya, maka jadikanlah di rumahnya sebagian dari shalatnya.” (2308).

Pendapa madzhab Māliki: Memberlakukan umum bagi shalat fardhu dan sunnah, dan berdalil dengan hadits dalam bentuk pemberian nikmat dan nakirah. Jika dalam konteks pemberian nikmat maka berlaku umum, yakni sabda Nabi s.a.w.: (صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ) “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid selainnya.” (2319)

Jadi, lafazh shalat adalah nakirah.

Dalam bentuk pemberian nikmat dan keutamaan dengan pahala yang besar ini, berarti umum dalam shalat fardhu dan sunnah, dan yang jelas tidak ada perbedaann pendapat di antara dua kelompok, karena keutamaan seribu bisa dicapai dengan shalat yang dikerjakan oleh seseorang di dalamnya, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah.

Shalat sunnah di rumah menjadi lebih utama daripada di masjid dengan melanggengkan shalat-shalat sunnah Nabi s.a.w. di rumah, padahal rumah beliau dekat dengan masjid. Keutamaan ini juga mencakup shalat laki-laki dan perempuan. Akan tetapi shalat perempuan lebih utama di rumahnya daripada di masjid, dan ini termasuk dalam pembahasan berikutnya.

 

Catatan:


  1. 223). Diriwayatkan dari Abū Hurairah: At-Tirmidzī dalam pembahasan tentang ilmu (no. 2680) dan al-Ḥākim dalam al-Mustadrak, pembahasan tentang ilmu (1/91).
  2. 224). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.
  3. 225). Diriwayatkan dari Zaid bin Tsābit: Al-Bukhārī dalam etika (no. 6113), hal berpegang teguh (no. 7290), dalam pembahasan tentang shalat musāfir dan qashar-nya (no. 213), Abū Dāūd dalam pembahasan tentang shalat (no. 1447), at-Tirmidzī dalam pembahasan tentang shalat (no. 450), dan an-Nasā’ī dalam pembahasan tentang shalat malam serta shalat sunnah pada siang hari, bab: Anjuran Shalat di Rumah dan Keutamaannya.
  4. 226). Diriwayatkan dari Zaid bin Tsābit: Abū Dāūd dalam pembahasan tentang shalat. (no. 1043).
  5. 227). Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Sa‘d: Ibnu Mājah dalam pembahasan tentang mendirikan shalat dan amalan sunnah di dalamnya. (no. 1378).
  6. 228). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.
  7. 229). Diriwayatkan dari Anas bin Mālik: Al-Ḥākim dalam al-Mustadrak, pemahasan tentang shalat sunnah. (1/313).
  8. 230). Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh: Muslim dalam pembahasan shalat musāfir dan qashar-nya (no. 210).
  9. 231). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.