Hati Senang

Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi (8/8)

Tafsir al-Qurthubi

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Firman Allah:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

072: 26. (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.

072: 27. Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

(Qs. al-Jinn [72]: 26-27).

Untuk kedua ayat ini dibahas tiga masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (عَالِمُ الْغَيْبِ) “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib.” Beberapa ulama berpendapat bahwa kata (عَالِمُ) pada ayat ini menempati posisi marfū‘, karena sebagai sifat dari kata (رَبِّيْ) yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Sedangkan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa marfū‘-nya kata (عَالِمُ) dikarenakan berposisi sebagai khabar dari mubtada’ yang tidak disebutkan, dan prediksi mubtada’ tersebut adalah dhamīr huwa, yakni: “Dia-lah Tuhan” Yang Mengetahui segala yang ghaib.

(فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ) “maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya” Yakni, sesungguhnya Allah dapat menampakkan yang ghaib itu kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya. Alasan diberikannya keistimewaan itu kepada para rasūl secara khusus, karena mereka memang dibekali dengan beberapa mukjizat, dan yang diberikan kepada sebagian mereka, seperti contohnya yang disebutkan dalam al-Qur’ān: (وَ أَنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَ مَا تَدَّخِرُوْنَ فِيْ بُيُوْتِكُمْ.) “Dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.”

Ibnu Jubair berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata (رَّسُوْلٍ) pada ayat ini adalah malaikat Jibrīl. Namun pendapat ini tidak tepat, karena makna yang lebih mengena untuk kata (ارْتَضَى) adalah seseorang yang diberikan keistimewaan untuk mengemban tugas kenabian. Oleh karena itu, para nabi-lah yang ditunjukkan hal-hal yang ghaib dan diperlihatkan apa saja yang dikehendaki oleh Allah dengan tujuan agar semua ini dapat membuktikan kenabiannya.

 

Kedua: Para ulama mengatakan bahwa pada ayat ini Allah s.w.t. memuji diri-Nya dengan kepemilikan ilmu ghaib, di mana ilmu itu tidak diberikan kepada makhluk-Nya karena ilmu itu dikhususkan untuk diri-Nya Sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal yang ghaib selain dari-Nya, kecuali beberapa hal yang diberitahukan kepada beberapa orang rasūl. Mereka dititipkan beberapa ilmu ghaib itu melalui pemberitahuan wahyu, dan membuat ilmu itu sebagai mu‘jizat bagi mereka serta bukti nyata akan kenabian mereka. Oleh karena itu, para dukun, atau paranormal, atau seseorang yang dianggap “pintar” mengetahui yang ghaib melalui bukunya, atau melalui gelas, atau melalui apapun juga yang dijadikan mereka sebagai perantara antara dirinya dan ilmu ghaib itu, mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap Allah, berusaha melangkahi-Nya, berlebih-lebihan dalam mengungkapkan instingnya, atau bisa dikatakan terkaannya, atau bahkan kebohongannya.

Beberapa ulama meriwayatkan: seandainya saja ada sebuah kapal besar yang mengangkut seribu jiwa manusia dengan berbagai latar belakang, dengan segala perbedaan derajat mereka, ada yang berasal dari kaum bangsawan dan ada pula yang awam, ada beberapa di antara mereka yang cerdas dan beberapa yang lainnya terbelakang, ada yang super kaya dan ada juga yang miskin papa, ada yang berusia lanjut dan ada juga anak-anak kecil, begitu juga dengan perbedaan tempat dan tanggal lahir mereka hingga membedakan horoskop yang mereka miliki, namun kemudian tiba-tiba kapal yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan tenggelam, maka tidak mungkin paranormal yang lebih senang membicarakan hal-hal yang ghaib mengatakan bahwa yang menenggelamkan mereka adalah nasib buruk yang terdapat pada kendaraan yang mereka tumpangi. Karena, dengan mengatakan seperti itu maka nasib buruk tersebut telah menginjak-injak aturan penerawangan mereka sendiri, yaitu tentang kelahiran setiap orang yang tenggelam (?????) yang mereka perkirakan akan berbeda-beda penyebab kematiannya, tidak juga bermanfaat tanda-tanda kelahiran mereka, penerawangan nasib mereka tidak sama dengan kenyataan pada diri masing-masing korban, tidak terbukti lagi hidup bahagia atau hidup sengsara mereka, yang ada hanyalah pengingkaran terhadap ayat-ayat al-Qur’ān yang suci. Sementara para ulama berpendapat, bahwa seseorang yang melakukan praktek penerawangan ilmu nujum (astronomi) ini boleh dihukum mati.

Diriwayatkan, bahwa ketika Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib hendak memerangi kaum Khawārij ada seseorang bertanya kepadanya dengan nada menasehati: “Mengapa engkau hendak pergi ketika bulan di atas langit menunjukkan adanya bencana bagimu?” Lalu ‘Alī menjawab: “Lalu bagaimana dengan bulan itu bagi mereka?” (yakni, bulan di atas langit hanya satu, lalu mengapa pengaruhnya akan berbeda kepada setiap orang?).

Lihatlah kalimat yang dipergunakan oleh ‘Alī dalam menjawab orang-orang itu, dan perhatikanlah makna yang sangat dalam ketika ia menjawab dan membantah atas orang-orang yang mempercayai ilmu nujum.

Kemudian, setelah itu ‘Alī juga diberi nasehat oleh Musāfir bin ‘Auf, ia mengatakan: “Janganlah engkau berangkat pada saat-saat ini, namun berangkatlah engkau tiga jam setelah matahari memancarkan cahayanya.” Lalu ‘Ali bertanya: “Apa sebabnya?” Orang tersebut menjawab: “Karena apabila engkau berangkat pada saat-saat ini maka kamu dan pasukanmu akan menerima musibah yang luar biasa, namun jika kamu berangkat pada jam yang aku beritahukan tadi maka kamu pasti akan menang dan akan terlihatlah kebenaran yang ingin kamu tunjukkan.” Lalu ‘Alī menjawab: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Nabi Muḥammad s.a.w. tidak memiliki ahli nujum, dan begitu pula dengan kami yang hidup setelah beliau….. (lalu ‘Alī melontarkan dalil-dalil dari al-Qur’ān yang sangat banyak untuk memperkuat hujjahnya)…. maka siapapun yang mempercayai perkataanmu itu maka aku tidak akan memberikan perlindungan lagi untuknya, aku akan memperlakukannya seperti seseorang yang telah mempersekutukan Allah dan aku akan memperlakukannya sebagai musuh Allah (yang pantas untuk dihukum mati). Ya Allah, tidak ada ramalan selain keputusan-Mu, dan tidak ada kebaikan kecuali atas pertolongan-Mu.”

Kemudian ‘Alī juga berkata kepada orang yang berkata kepadanya tadi: “Kami tentu mendustakan dan menentang apa yang kamu katakan, dan kami tetap akan pergi walaupun kamu mencegah kami dengan mengatakan ini adalah saat yang tidak tepat untuk berangkat ke sana.” Kemudian ‘Alī berpaling menghadap para pasukannya dan berkata: “Wahai kamu sekalian, janganlah kalian sekali-kali mempelajari ilmu nujum, kecuali yang dapat memberitahukanmu jalan yang benar pada saat darat dan lautan gelap gulita. (yakni ilmu arah mata angin atau ilmu perbintangan lainnya yang dapat memberi manfaat bagi manusia), karena ketahuilah, bahwa orang yang memiliki ilmu nujum itu seperti orang yang memiliki ilmu sihir, dan orang yang memiliki ilmu sihir itu seperti orang yang kafir, dan orang yang kafir itu pasti akan dimasukkan ke dalam neraka. Demi Allah, apabila ada seseorang yang menyampaikan kepadaku bahwa salah seorang dari kalian mempelajarinya dan mempraktekkannya maka aku akan mengasingkan orang tersebut selamanya, hingga nyawa memisahkan kita. Aku juga tidak akan memberikan apapun kepadanya selama aku memiliki kekuasaan untuk tidak memberikannya.”

Lalu ‘Alī pun berangkat saat itu juga walaupun orang tadi menyarankan untuk menundanya. Setelah bertemu dan berpegang dengan kaum Khawārij ia tetap meraih kemenangan, di mana peperangan ini disebut dengan perang. Nahrawan, seperti yang tercantum dalam kitab hadits Shaḥīḥ Muslim.

Kemudian setelah kemenangan itu ia dapatkan ia berkata: “Seandainya kita berangkat di waktu yang ditentukan oleh ahli nujum tadi, lalu kita mendapatkan kemenangan ini, maka ia atau yang lainnya pasti akan mengatakan: “‘Alī dan pasukannya telah berangkat di waktu yang telah ditentukan oleh ahli nujum, oleh karena itu ia dapat meraih kemenangan.” Ketahuilah, bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. tidak memiliki ahli nujum, dan tidak juga dengan orang-orang yang beriman setelahnya, namun lihatlah berapa banyak negeri yang telah dikaruniai Allah kepada kita, bukan cuma negeri yang dekat, namun negeri Romawi, negeri Persia, dan negeri-negeri lainnya telah kita tundukkan.”

Lalu di akhir perkataannya ia juga memberi nasehat: “Wahai kaum sekalian, bertawakkal-lah kalian kepada Allah, dan percayalah sepenuhnya, sesungguhnya Allah sudah cukup bagi kalian, dan kalian tidak membutuhkan yang lainnya.”

 

Ketiga: Firman Allah s.w.t.: (فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا) “Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” Yakni, para malaikat akan selalu menjaga kerahasiaan ilmu ghaib tersebut hingga syaithan tidak dapat mendekatinya. Adapun para malaikat juga akan menjaga kerahasiaan wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasūl, hingga para syaithan itu tidak dapat mencurinya dan memberikannya kepada para peramal.

Adh-Dhaḥḥāk mengatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang Nabi pun kecuali juga akan memberikan kepadanya seorang malaikat yang akan mendampinginya dan menjaganya dari syaithan yang berusaha untuk merubah bentuk mereka menjadi seorang malaikat. Yakni, ketika syaithan datang dengan bentuk seorang malaikat untuk menemui seorang nabi maka malaikat pendamping itu akan mengatakan: yang datang itu adalah syaithan, maka berhati-hatilah kamu. Adapun apabila yang datang adalah malaikat yang membawa wahyu maka ia akan mengatakan: itu adalah malaikat utusan Tuhanmu.

Ibnu ‘Abbās dan Ibnu Zaid menafsirkan, makna dari kata (رَصَدًا) pada ayat ini adalah penjagaan para malaikat yang menemani Nabi s.a.w., dari jinn dan syaithan yang berusaha untuk mengganggunya, dari arah depan atau belakangnya.

Qatādah dan Ibn-ul-Musayyab menafsirkan, para malaikat yang bertugas untuk menjaga Nabi berjumlah empat malaikat.

Sedangkan al-Farrā’ menafsirkan (2851) bahwa yang dimaksud dengan yang dijaga adalah malaikat Jibrīl, di mana ketika malaikat Jibrīl diutus untuk membawa wahyu, maka ia akan ditemani oleh para malaikat penjaga yang akan menjaga wahyu itu dari jinn yang selalu ingin mencuri dengar wahyu tersebut agar ia dapat memberikannya kepada para peramal mereka.

Sementara as-Suddī menafsirkan, bahwa makna dari kata (رَصَدًا) adalah para malaikat yang bertugas untuk memeriksa wahyu, apabila wahyu itu memang datang dari Allah maka mereka akan mengatakan “wahyu itu datang dari sisi Allah”, sedangkan jika ada suatu bisikan yang dibisikkan oleh syaithan maka mereka mengatakan “bisikan itu berasal dari syaithan.”

Adapun manshūb-nya kata (رَصَدًا) ini disebabkan posisinya sebagai maf‘ūl. Dalam kitab hadits shaḥīḥ juga ada yang menyinggung kata ini, di mana disebutkan bahwa makna ar-rashad adalah suatu kaum yang berjaga-jaga seperti penjaga. Namun, kata ini tidak melulu digunakan untuk menerangkan bentuk tunggal, karena kata ini dapat berfungsi juga untuk bentuk jama‘, walaupun terkadang dalam bentuk jama‘-nya juga dapat menggunakan arshādan. Kata ini juga dapat digunakan dalam bentuk mudzakkar dan mu’annats.

Bentuk awal dari kata ini adalah: rashada, yarshudu, rashdan, dan rashādan. Ungkapan ar-rashīdu lisy-sya’i yang menggunakan bentuk fā‘il bermakna: menjaga sesuatu. Sedangkan ungkapan al-marshad bermakna tempat pengawasan, seperti halnya kata at-tarashshud yang maknanya adalah mengawasi.

Firman Allah:

لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا

072: 28. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasūl-rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.

(Qs. al-Jinn [72]: 28).

Untuk ayat ini dibahas dua masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ) “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasūl-rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya.” Qatādah dan Muqātil berpendapat bahwa dhamīr huwa pada kata (لِيَعْلَمَ) kembali kepada Nabi s.a.w., yakni: agar Muḥammad mengetahui bahwa rasūl-rasūl yang diutus sebelumnya juga telah menyampaikan risalah yang mereka bawa seperti risalah yang beliau sampaikan.

Lalu mereka juga menambahkan, bahwa pada ayat ini terdapat kalimat yang tidak disebutkan yang tersirat dari huruf lām pada kata (لِيَعْلَمَ), yakni: “Kami telah memberitahukan kepadanya tentang penjagaan yang Kami berikan untuk menjaga wahyu tersebut” agar ia dapat mengetahui bahwa rasūl-rasūl yang diutus sebelumnya juga sama sepertinya yang diharuskan untuk menyampaikan risalah Allah dengan sebenar-benarnya dan penuh kejujuran.

Ibnu Jubair menafsirkan, bahwa makna ayat ini adalah: agar Nabi Muḥammad s.a.w. mengetahui bahwa malaikat Jibrīl dan malaikat-malaikat lainnya telah menyampaikan risalah dari Tuhannya. Lalu Ibnu Jubair juga mengatakan, bahwa malaikat yang membawa turun wahyu Allah kepada para rasūl berjumlah empat malaikat.

Ada juga yang menafsirkan bahwa makna ayat ini adalah: agar para Nabi mengetahui bahwa malaikat yang diutus Allah adalah untuk menyampaikan risalah-Nya untuk mereka.

Ada juga yang menafsirkan bahwa makna ayat ini adalah: agar seorang rasūl dari rasūl-rasūl Allah mengetahui bahwa rasūl-rasūl yang lainnya telah menyampaikan risalah Allah.

Ada juga yang menafsirkan bahwa makna ayat ini adalah: agar iblis mengetahui bahwa rasūl-rasūl Allah telah menyampaikan risalah dari Tuhan mereka, dan risalah itu terbebas dari campur tangan para konco-konconya yang sebelumnya selalu mencuri dengar dan menambah-nambahkan berita dari langit.

Ibnu Qutaibah menafsirkan, bahwa makna ayat ini adalah: agar bangsa jinn mengetahui bahwa rasūl-rasūl Allah telah menyampaikan apa yang diturunkan kepada mereka, dan mereka tidak menerima semua itu dari bangsa jinn melalui curi dengar mereka.

Mujāhid menafsirkan, bahwa makna ayat ini adalah: agar orang-orang yang mendustakan rasūl mengetahui bahwa para rasūl menyampaikan risalah yang diberikan dari Tuhan mereka.

Untuk qirā’ah kata (لِيَعْلَمَ) yang dibaca oleh jumhur ulama dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf yā’, yang penafsirannya seperti yang telah kami sebutkan di atas tadi. Sementara oleh Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, Ḥumaid, dan Ya‘qūb dibaca dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf yā’ (baca: liyu‘lama) (2862), yang penafsirannya adalah: agar manusia mengetahui bahwa para rasūl telah menyampaikan risalah dari Tuhan mereka.

Az-Zajjāj (yang sama seperti jumhur ulama membaca kata (لِيَعْلَمَ) (dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf (yā’) menafsirkan, bahwa makna dari ayat ini adalah: agar diketahui oleh Allah bahwa para rasūl-Nya telah menyampaikan risalah-Nya. Makna ya‘lam pada ayat ini sama seperti makna ya‘lam yang disebutkan pada firman Allah s.w.t.: (وَ لَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَ يَعْلَمَ الصَّابِرِيْنَ.) “Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (2873).

 

Kedua: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ) “Sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka”. Yakni, Ilmu Allah meliputi semua ilmu yang dimiliki oleh para rasūl ataupun ilmu yang dimiliki oleh malaikat.

Ibnu Jubair menafsirkan, bahwa makna ayat ini adalah: agar para rasūl mengetahui bahwa Ilmu Allah meliputi ilmu yang mereka miliki, dengan begitu mereka menyampaikan risalah-Nya.

(وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا) “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasūl-rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” Yakni, Ilmu Allah juga meliputi berapa pun bilangan dari segala sesuatu, Allah menghitungnya dan Allah mengetahuinya, karena tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya dan tidak diketahui oleh-Nya.

Manshūb-nya kata (عَدَدًا) sendiri dikarenakan kata ini sebagai keterangan, yakni maknanya adalah: Allah meliputi segala sesuatu meskipun ketika sesuatu itu berbilang. Boleh juga disebut sebagai mashdar, namun dengan prediksi bahwa fi‘il dari mashdar (infinitif) tesebut tidak disebutkan. Yakni, ‘adda kulla syai’in ‘adadan (menghitung segala bilangan). Dan Allah memang al-Muḥshī (Yang Maha Penghitung), al-Muḥīth (Yang Meliputi segala sesuatu), al-‘Alīm (Yang mengetahui segala sesuatu), dan al-Ḥāfizh (Yang Menjaga segala sesuatu). Semua ini telah kami jelaskan secara rinci pada kitab kami yang lain, yaitu kitab al-Asnā fī Syarḥ Asmā’-ul-Ḥusnā. Walḥamdulillāh.

Catatan:

  1. 285). Lih. Ma‘ān-il-Qur’ān (3/196).
  2. 286). Qirā’ah yang menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf yā’ ini termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, sebagaimana disebutkan dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 184.
  3. 287). (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 142).
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.