Firman Allah:
وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا. قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا.
072: 19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jinn-jinn itu desak mendesak mengerumuninya.
072: 20. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.”
072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan.”
(Qs. al-Jinn [72]: 19-21).
Mengenai ketiga ayat ini dibahas tiga masalah:
Pertama: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ) “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah).” Para ulama berpendapat bahwa huruf hamzah pada kata (أَنَّهُ) pada ayat ini boleh dibaca dengan menggunakan ḥarakat fatḥah, dengan makna: “Allah mewahyukan kepada Muḥammad bahwasanya….” Boleh juga dibaca dengan menggunakan ḥarakat kasrah sebagai pembuka sebuah kalimat (2721) (baca: innahu).
Adapun yang dimaksud dengan sebutan (عَبْدُ اللهِ) “hamba Allah” adalah Nabi Muḥammad s.a.w., yaitu ketika beliau melakukan shalat di daerah Bathnu Nakhlah (2732) dan membaca al-Qur’ān di hadapan bangsa jinn, sebagaimana telah kami sampaikan di awal pembahasan tafsir surah ini.
Untuk kata (يَدْعُوْهُ) beberapa ulama menafsirkan bahwa maknanya adalah: beribadah dan menyembah Allah. Sementara beberapa ulama lainnya menafsirkan bahwa Nabi s.a.w. mengajak bangsa jinn untuk ikut ke jalan Allah.
(كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا) “Hampir saja jinn-jinn itu desak-mendesak mengerumuninya.” Zubair bin ‘Awwām menafsirkan bahwa yang berdesak-desakan itu adalah bangsa jinn, ketika mereka mendengarkan lantunan al-Qur’ān yang dibacakan oleh Nabi s.a.w., yakni: karena terlalu inginnya bangsa jinn itu mendengarkan ayat-ayat al-Qur’ān mereka berdesak-desakan dan hampir bertindihan satu dengan yang lainnya.
Adh-Dhaḥḥāk menafsirkan bahwa mereka mengerumuni Nabi s.a.w. dan mendesak-desak beliau karena terlalu ingin mendengarkan bacaannya.
Sedangkan Ibnu ‘Abbās menafsirkan bahwa yang mereka ingin dengarkan adalah peringatan yang disebutkan pada lantunan ayat-ayat al-Qur’ān itu.
Burd meriwayatkan, dari Makḥūl, ia berkata: Pada malam itu, bangsa jinn yang berjumlah sekitar 70.000 jiwa langsung membai‘at Nabi s.a.w. satu persatu, dan bai‘at itu baru selesai ketika malam bergeser menjemput fajar.
Sebuah riwayat lain dari Ibnu ‘Abbās menyebutkan, bahwa kalimat di atas adalah kalimat yang disampaikan oleh para jinn yang mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur’ān kepada bangsa jinn lainnya ketika mereka telah kembali ke kediaman mereka. Mereka memberitahukan bangsa jinn lainnya itu tentang ketaatan yang dimiliki oleh para sahabat Nabi s.a.w. dan kepatuhan mereka untuk melakukan ruku‘ dan sujud.
Ada juga yang berpendapat bahwa yang berdesak-desakan adalah kaum musyrikin yang marah kepada Nabi s.a.w. dan mengerumuninya.
Lalu al-Ḥasan, Qatādah, dan Ibnu Zaid menafsirkan bahwa ketika Nabi s.a.w. menyampaikan dakwah, bangsa jinn dan juga manusia panik dan berusaha untuk meredam dakwah tersebut, namun Allah menghadang mereka hingga Nabi s.a.w. mendapatkan kemenangannya dan menyempurnakan cahaya yang diturunkan-Nya.”
Sedangkan ath-Thabarī lebih memilih makna: “Hampir saja kaum ‘Arab berkumpul untuk membinasakan Nabi s.a.w. dan berusaha untuk memadamkan cahaya yang dibawa oleh beliau.” (2743)
Mujāhid menafsirkan bahwa makna dari kata (لِبَدًا) pada ayat ini adalah kempalan atau kekusutan, karena kata ini biasanya digunakan untuk menerangkan sesuatu yang tergabung dengan yang sejenisnya, misalnya bulu atau rambut yang dikempalkan. Kata ini juga digunakan untuk menerangkan sesuatu yang merekat dengan sangat eratnya.
Bentuk jama‘ dari kata al-libdah sendiri adalah libad, seperti halnya kata qirbah yang bentuk jama‘-nya adalah qirab. Bentuk jama‘ ini (libad) biasanya untuk menerangkan bulu-bulu yang menggempul yang terdapat pada tubuh singa.” (2754).
Para ulama mengungkapkan, bahwa kata ini terdapat empat bentuk bahasa dan bacaan (qirā’ah), di mana yang pertama adalah libad (dengan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf lām dan ḥarakat fatḥah pada huruf bā’). Qirā’ah ini yang dibaca oleh mayoritas ulama.
Qirā’ah yang kedua adalah lubad (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf lām dan ḥarakat fatḥah pada huruf bā’) (2765), yang bentuk tunggalnya adalah lubdah. Qirā’ah ini yang dibaca oleh Mujāhid, Ibnu Muḥaishan, dan Hisyām, yang diriwayatkan dari penduduk kota Syām.
Qirā’ah yang ketiga adalah lubud (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf lām dan huruf bā’), yang bentuk tunggalnya adalah labdun, seperti kata saqfun yang bentuk jama‘nya adalah suquf, atau kata rahnun yang bentuk jama‘nya ruhun. Qirā’ah ini yang dibaca oleh Abū Ḥaiwah, Muḥammad bin as-Samaiqa‘, Abul-Asyhab al-‘Uqailī, dan al-Jahdarī. (2776).
Qirā’ah yang keempat adalah lubbad (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf lām dan ḥarakat fatḥah pada huruf bā’ yang ber-tasydīd), yang bentuk tunggalnya adalah lābid, seperti kata rāki‘ yang bentuk jama‘nya adalah rukka‘, atau kata sājid yang bentuk jama‘-nya adalah sujjad. Dan yang membaca qirā’ah ini adalah al-Ḥasan, Abul-‘Āliyah, al-A‘raj, dan qirā’ah lain dari al-Jahdarī. (2787).
Dikatakan, bahwa makna dari kata lubad (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf lām dan ḥarakat fatḥah pada huruf bā’) adalah sesuatu yang langgeng. Di antara makna langgeng untuk kata lubad adalah sebutan burung elang milik Luqmān, dan alasan diberikannya nama lubad karena burung elang itu dapat hidup dalam jangka waktu yang sangat lama.
Al-Qusyairī mengatakan, bahwa bacaan lubud (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf lām dan juga huruf bā’) yang dibaca oleh sebagian ulama adalah bentuk jama‘ dari kata labīd, yang artinya adalah keranjang rumput yang berukuran kecil.
Dalam kitab ash-Shiḥḥah disebutkan, bahwa maknanya adalah yang terkumpul atau banyak, seperti yang disebutkan pada firman Allah s.w.t.: (أَهْلَكْتُ مَالًا لُبَدًا.) “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (2798).
Atau seperti yang diucapkan ketika banyak orang-orang yang berkumpul, an-nāsu lubad. Kata ini juga digunakan untuk menerangkan seseorang yang tidak pernah bepergian dan selalu berada di rumahnya, yaitu rajulun lubad.
Kata lubad ini juga sering digunakan orang-orang ‘Arab untuk sebutan burung elang Luqmān yang terkahir, yang pergi begitu saja karena tidak dimasukkan ke dalam sangkar.
Orang-orang ‘Arab juga mengira bahwa Luqmān-lah yang diutus oleh bangsa ‘Ād sebagai delegasi ke Ḥarām untuk mencari berita. Lalu setelah kaum ‘Ād dibinasakan, Luqmān diberikan pilihan, apakah ia mau diberikan tujuh ekor unta yang banyak susunya, karena banyak meminum susu kijang, yang berasal dari gunung yang terjal, yang tidak pernah tersentuh oleh siapapun, atau diberikan tujuh burung elang secara bertahap, setiap kali satu elang binasa maka ia akan mendapatkan yang lainnya. Kemudian Luqmān menjatuhkan pilihannya kepada burung elang, dan burung elang terakhir yang didapatkannya bernama lubad.
Kedua: Firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya”.” Qirā’ah yang menggunakan kata (قُلْ) “bentuk amr” untuk ayat ini hanya dibaca oleh Ḥamzah dan ‘Āshim. Sedangkan kebanyakan para ulama lainnya membacanya qāla (bentuk khabariyyah) (2809), yakni: Nabi s.a.w. mengatakan, sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku saja.
Adapun sebab turunnya (asbāb-un-nuzūl) dari ayat ini adalah ketika orang-orang kafir Quraisy berkata kepada Nabi s.a.w.: “Engkau telah membawa perkara besar yang sekaligus bertentangan dengan keyakinan semua orang. Berpalinglah dari keyakinanmu itu, karena kami-lah yang akan melindungimu.” Lalu diturunkanlah ayat ini.
Ketiga: Firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan”.” Yakni, aku tidak mampu untuk mencegah suatu keburukan yang akan menimpa padamu, dan aku juga tidak mampu untuk merubah keadaan kamu menjadi lebih baik.
Beberapa ulama menafsirkan makna yang lain, yaitu dengan mengartikan kata (ضَرًّا) menjadi kufur, dan kata (رَشَدًا) menjadi hidayah. Yakni, aku tidak mampu untuk menjadikanmu seorang yang kafir dan aku juga tidak mampu memberi hidayah kepadamu, yang dapat aku lakukan hanyalah menyampaikan.
Lalu ada juga yang menafsirkan kata (ضَرًّا) dengan makna adzab, dan kata (رَشَدًا) dengan makna pahala. Namun makna ini sama persis dengan makna yang pertama, yaitu keburukan dan kebaikan,
Beberapa ulama lain menafsirkan bahwa makna dari kata (ضَرًّا) adalah kematian, sedangkan makna dari kata (رَشَدًا) adalah kehidupan.
Firman Allah:
قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا. قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا.
072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.”
072: 23. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
072: 24. Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.
072: 25. Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?”
(Qs. al-Jinn [72]: 22-25).
Mengenai keempat ayat ini dibahas lima masalah:
Pertama: Firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah.” Yakni, tidak ada seorang pun yang dapat aku mintai pertolongan untuk mencegah adzab-Nya terhadapku apabila telah ditetapkan.
Ini merupakan jawaban dari perkataan mereka, yang mengatakan: “Tinggalkanlah apa yang engkau dakwahkan itu, karena kamilah yang akan memberi pertolongan kepadamu.”
Abul-Jauzā’ meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd, ia berkata: Pada malam jinn, Aku bersama dengan Nabi s.a.w. pergi ke suatu tempat, hingga ketika kami sampai di daerah Hajūn beliau membuat sebuah garis lurus di atas tanah agar aku tidak melewatinya. Kemudian setelah itu beliau melanjutkan perjalanan itu seorang diri, hingga sampai di tempat para jinn berkumpul, dan mereka langsung mengerumuni beliau. Lalu salah seorang pemimpin mereka yang bernama Wardān berkata: “Aku akan memberi keamanan padamu dari mereka semua.” Lalu Nabi s.a.w. berkata: (إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ.) “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah.” Riwayat ini disampaikan oleh al-Māwardī (28110).
Lalu al-Māwardī juga mengatakan bahwa perkataan tersebut mengandung dua makna, yang pertama adalah: tidak ada seorang pun yang dapat menolongku dengan adanya pertolongan dari Allah. Dan yang kedua adalah: tidak ada seorang pun yang dapat menolongku apa yang telah ditakdirkan Allah kepadaku.
(وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا) “dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.” Yakni, tidak seorang pun yang dapat aku jadikan tempat untuk berlindung. Makna ini disampaikan oleh Qatādah.
Qatādah juga menyampaikan makna lain untuk kata (مُلْتَحَدًا), yaitu: seorang yang dapat menolong atau yang dapat membantu.
As-Suddī menafsirkan bahwa makna dari kata (مُلْتَحَدًا) adalah menjaga.
Al-Kalbī menafsirkan bahwa maknanya adalah jalan masuk ke bumi, yakni seperti sebuah liang di dalam tanah.
Ada pula yang menafsirkan artinya yang memberi bantuan atau yang memberi pertolongan.
Ada pula yang menafsirkannya tempat berlabuh atau jalan keluar. Makna yang terakhir ini diriwayatkan dari Ibnu Syajarah, namun semua makna di atas sama saja, karena tidak terlalu jauh berbeda satu dengan yang lainnya.
Kedua: Firman Allah s.w.t.: (إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ) “Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.” Al-Ḥasan menafsirkan bahwa Nabi s.a.w. hanya menyampaikan peringatan saja karena pada peringatan itulah terdapat keamanan dan penyelamatan bagi mereka.
Qatādah menafsirkan bahwa Nabi s.a.w. hanya menyampaikan saja, karena hanya itu yang diperintahkan oleh Allah dan diwakilkan kepadanya, sedangkan kekufuran dan keimanan adalah di luar kemampuannya. Dengan makna tersebut, maka perkataan ini adalah sambungan dari firman Allah: (قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan”.” Yakni, aku tidak kuasa untuk memberi kemudharatan atau kemanfaatan, dan aku hanya menyampaikannya saja.
Al-Farrā’ menafsirkan (28211) bahwa perkataan itu tidak terhubung dengan perkataan: (قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan”.” Karena perkataan itu adalah istitsnā’ munqathi‘ (pengecualian yang terpenggal). Yakni, aku tidak kuasa untuk memberi kemudharatan ataupun kemanfaatan, namun aku dapat menyampaikan kepadamu risalah ini.
Az-Zajjāj mengatakan bahwa firman ini menempati posisi manshūb, karena sebagai badal dari kata (مُلْتَحَدًا) yang disebutkan sebelumnya. Yakni: “Aku tidak akan mendapatkan perlindungan dari-Nya, kecuali aku menyampaikan apa yang diberikan-Nya kepadaku dan risalah yang diperintahkan kepadaku untuk disampaikan, atau mengerjakan risalah yang diberikan kepadaku dan menyampaikannya.”
Ada juga yang berpendapat bahwa firman Allah di atas menempati posisi mashdar, dan kata (إِلَّ) adalah penggabungan dari kata in dan lā, di mana kata in adalah kata klausal dan kata lā (tidak) bermakna lam (belum), yakni: “Aku tidak akan mendapatkan tempat perlindungan yang lain selain Allah, apabila aku tidak menyampaikan risalah yang diberikan kepdaku.”
Ketiga: Firman Allah s.w.t.: (وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا) “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” Yakni, barang siapa yang menolak untuk beribadah dan mengesakan Allah, sesuai dengan perintah yang Allah berikan kepada Nabi s.a.w. untuk umatnya, maka mereka berhak untuk masuk ke dalam neraka Jahannam.
Kata inna (فَإِنَّ) pada ayat ini menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf hamzahnya, dikarenakan ia disebutkan setelah huruf fā’ yang bermakna ganjaran. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jika kata inna disebutkan setelah huruf fā’ yang bermakna ganjaran maka ia berada pada posisi mubtada’.
Sedangkan kata (خَالِدِيْنَ) berada pada posisi manshūb karena ia sebagai keterangan.
Adapun alasan penggunaan bentuk jama‘ pada kata (خَالِدِيْنَ) karena melihat dari sisi maknanya, yakni setiap orang yang melakukannya akan kekal berada di dalamnya (mereka yang kekal di dalamnya lebih dari satu). Sedangkan alasan penggunaan bentuk tunggal pada kata sebelumnya (yaitu katu (لَهُ)), disebabkan karena kata ini menerangkan kata (مَنْ) yang dapat digunakan untuk makna tunggal dan dapat juga digunakan untuk makna jama‘. Karena itu, yang digunakan di awal adalah bentuk tunggal, untuk menerangkan lafazhnya, lalu kemudian digunakan bentuk jama‘ untuk menerangkan maknanya.
Sementara kata (أَبَدًا) “abadi” yang disebutkan di akhir ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan durhaka kepada Allah dan Rasūl-Nya di sini adalah perbuatan syirik, karena hanya perbuatan syirik-lah yang akan membenamkan seseorang di neraka untuk selama-lamanya.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka yang dimaksud pada ayat di atas adalah perbuatan maksiat selain syirik. Dengan demikian maka kalimat “akan kekal abadi selama-lamanya di dalam neraka” memiliki makna pengecualinya, yakni kecuali mereka mendapatkan ampunan dari Allah, atau mendapatkan syafaat dari Nabi s.a.w. atau yang lainnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang yang wafat dengan membawa iman di dadanya maka ia berhak untuk mendapatkan ampunan dari Allah, seperti yang telah kami jelaskan pada tafsir surah an-Nisā’ (28312) dan surah-surah yang lainnya.
Keempat: Firman Allah s.w.t.: (حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ) “Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka.” Kata (حَتَّى) pada ayat ini berposisi sebagai mubtada’. Yakni, maka ketika mereka melihat adzab yang dijanjikan di alam akhirat. Atau dapat juga diartikan, adzab yang diancamkan kepada mereka ketika di dunia, yaitu peperangan Badar.
(فَسَيَعْلَمُوْنَ) “Maka mereka akan mengetahui.” Yakni, pada saat itulah mereka baru menyadari.
(مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا) “Siapakah yang lebih lemah penolongnya.” Yakni, siapakah yang memiliki penolong yang terkuat saat itu, apakah penolong mereka, ataukah penolong orang-orang mu’min?
(وَ أَقَلُّ عَدَدًا) “Dan lebih sedikit bilangannya”. Terhubung dengan firman sebelumnya. Yakni, siapakah yang memiliki jumlah yang lebih banyak, apakah jumlah mereka, ataukah jumlah orang-orang mu’min?
Kelima: Firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) “Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat.” Bisa jadi yang dimaksud dengan adzab yang diancamkan pada ayat ini adalah adzab di hari kiamat, atau bisa juga adzab di dunia, seperti yang disebutkan sebelumnya.
Adapun yang dimaksudkan dari kata (إِنْ) “jika” pada ayat ini adalah kata lā atau kata mā (tidak), yakni: tidak ada yang mengetahui kapankah waktu yang pasti diturunkannya adzab dan waktu yang pasti datangnya hari kiamat, kecuali Allah. Karena waktu datangnya saat itu adalah sesuatu yang ghaib yang tidak diketahui oleh Nabi s.a.w. kecuali beliau telah diberitahukan terlebih dahulu sebelumnya.
Tergabungnya kata (مَّا) dengan fi‘il setelahnya dapat diposisikan sebagai mashdar, dan dapat juga dimaknai dengan kata al-ladzī (yang). Namun jika diartikan dengan makna “yang”, maka ada kata kembali yang tidak disebutkan sebelumnya.
(أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا) “ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?” Mayoritas ulama membaca kata (رَبِّيْ) dengan men-sukūn-kan huruf yā’ di akhir kata tersebut (baca: rabbī), hanya al-Ḥirmiyān dan Abū ‘Amru yang membacanya dengan menggunakan ḥarakat fatḥah (28413) (baca: rabbiyya).