Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi (6/8)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.

072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.

)Qs. al-Jinn [72]: 18).

Mengenai ayat ini dibahas enam masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.” Kata (أَنَّ) pada ayat ini menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf alif-nya.

Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini terhubung dengan firman Allah s.w.t.: (قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ) “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwa….” yakni: katakanlah wahai Muḥammad: telah diwahyukan pula kepadaku bahwa masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.

Al-Khalīl berpendapat, bahwa ada kata yang tidak disebutkan di awal firman di atas, prediksinya adalah kata li, yakni: wa liann-al-masājida lillāh (karena masjid-masjid itu adalah milik Allah), maksudnya adalah rumah-rumah ibadah yang dibangun oleh umat-umat terdahulu.

Sa‘īd bin Jubair meriwayatkan, sebelum itu para jinn berkata kepada Nabi s.a.w.: “bagaimana mungkin kami datang ke majsid yang ada di dekatmu dan shalat bersamamu di sana, sedangkan kami berada di tempat yang sangat jauh darimu,” lalu diturunkanlah firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.” Yakni, dibangun untuk berbuat ketaatan dan berdzikir (mengingat) kepada Allah.

Al-Ḥasan berpendapat bahwa maksud dari kata masājid di atas adalah semua tempat di muka bumi, karena Nabi s.a.w. dan umatnya diberikan keistimewaan untuk shalat di mana saja mereka berada di muka bumi. Nabi s.a.w. bersabda: “Shalatlah di mana pun kalian berada.

Nabi s.a.w. juga bersabda: “Di mana pun kalian melakukan shalat maka itulah masjidmu.

Dalam kitab Shaḥīḥ juga disebutkan:

وَ جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا.

Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan alat bersuci.” (2591).

Sa‘īd bin Musayyab dan Thalq bin Ḥubaib berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kata masājid pada ayat ini adalah anggota-anggota tubuh yang digunakan seorang hamba untuk bersujud, yaitu kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dan wajah. Thalq setelah itu juga menambahkan: anggota-anggota tubuh ini adalah nikmat Allah kepadamu, oleh karena itu janganlah engkau mempergunakannya untuk bersujud kepada selain Allah, karena dengan begitu engkau telah mendustai nikmat dari Allah.

‘Athā’ juga mengungkapkan pendapat yang sama, ia menambahkan: janganlah engkau salah mempergunakan anggota tubuhmu yang diperintahkan untuk bersujud kepada Allah itu, dengan mempergunakannya untuk menyembah selain Penciptanya.

Dalam kitab hadits shaḥīḥ disebutkan, sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbās, dari Nabi s.a.w., beliau pernah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ – وَ أَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَ الْيَدَيْنِ، وَ الرُّكْبَتَيْنِ، وَ أَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ.

Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu: kening – Nabi s.a.w. memberikan isyarat pada hidung dengan tangannya – , kedua tangan, kedua lutut, dan ujung jari-jemari kedua kaki.” (2602).

Al-‘Abbās juga meriwayatkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Apabila seorang hamba bersujud maka ada tujuh anggota tubuh yang bersujud bersamanya.” (2613).

Lalu ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata masājid pada ayat ini dalah kewajiban shalat yang lima waktu. Makna ayat di atas menjadi: “dan sesungguhnya sujud itu adalah milik Allah.” Pendapat ini disampaikan oleh al-Ḥasan.

Al-Farrā’ mengatakan, apabila kata masājid pada ayat ini diartikan dengan nama tempat (yakni masjid) maka bentuk tunggal dari kata tersebut adalah masjid (dengan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf jīm). Sedangkan apabila diartikan dengan anggota tubuh maka bentuk tunggalnya adalah masjid (dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf jīm).

Ada juga yang mengungkapkan, bahwa kata tersebut adalah bentuk jama‘ dari masjid yang artinya adalah bersujud. Sebagaimana seringnya diucapkan dalam bahasa ‘Arab: sajadtu sujūdan, namun sering juga digunakan sajadtu masjadan. Seperti halnya ketika dikatakan: dharabtu fil-ardhi dharban (aku mengais rezeki), di mana terkadang sering juga dikatakan: dharabtu fil-ardhi madhraban.

Ibnu ‘Abbās menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata masājid di sini adalah kota Madīnah, di mana kota ini adalah qiblatnya kaum muslimin. Dan alasan kota Makkah disebut dengan kata masājid adalah karena setiap muslim bersujud ke arahnya.

Namun dari keseluruhan pendapat ini, yang paling diunggulkan in syā’ Allāh adalah pendapat yang paling pertama, yaitu pendapat yang juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās.

 

Kedua: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.” Kata (للهِ) pada ayat ini juga mengisyaratkan akan kesucian dan penghormatan yang berlebih untuk kata masājid.

Kemudian pada ayat yang lain lebih dispesifikasikan kepada al-Bait-ul-‘Atīq (yakni masjid-il-ḥarām), yaitu pada firman Allah s.w.t.: (وَ طَهِّرْ بَيْتِيَ) “Dan sucikanlah rumah-Ku ini.” (2624).

Sebuah riwayat dari Nabi s.a.w. menyebutkan:

لَا تُعْمَلُ الْمَطِيُّ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ.

Janganlah menggunakan kendaraan (onta) untuk bepergian kecuali ke tiga masājid.” (2635). Hadits ini diriwayatkan oleh para imam hadits, yang telah kami sebutkan matannya secara lengkap dan juga pembahasannya sebelum ini.

Dan Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.

Melaksanakan shalat di masjidku ini (masjid Nabawi), lebih baik daripada seribu (pahala) shalat di tempat yang lain, selain di Masjid-il-Ḥarām.” (2646).

Ibn-ul-‘Arabī mengatakan, ada juga hadits yang lain yang diriwayatkan dari sanad yang cukup baik, yaitu sabda Nabi s.a.w.: “Melaksanakan shalat di masjidku ini baik daripada seribu shalat (rakaat) di tempat yang lain, selain di Masjid-il-Ḥarām, karena shalat yang dilakukan di Masjid-il-Ḥarām lebih baik daripada seratus shalat (rakaat) di masjidku ini.

Ibn-ul-‘Arabī menjelaskan, apabila hadits ini adalah hadits shaḥīḥ, maka hadits ini akan menjadi nash yang tidak perlu ditafsirkan lagi. (2657).

 

Menurut saya (al-Qurthubī), hadits di atas memang hadits yang shaḥīḥ, yang diriwayatkan dari periwayat yang adil dari periwayat yang adil lainnya, seperti yang telah kami jelaskan pada tafsir surah Ibrāhīm. (2668).

 

Ketiga: Bangunan masjid walaupun secara kepemilikan dan kesuciannya adalah kepunyaan Allah, namun secara penamaan terkadang dinisbatkan kepada nama seseorang atau nama daerah, contohnya menamakan suatu masjid dengan sebutan masjid fulan, atau masjid Jakarta, atau yang lainnya.

Dalam kitab shaḥīḥ disebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah mengendarai kuda pacu (yang dikhususkan untuk berpacu) dari daerah Ḥafyā’ sampai Tsaniyat-ul-Wadā‘, dan beliau juga pernah mengendarai kuda bukan pacu (yang tidak dikhususkan untuk berpacu) dari Tsaniyat-ul-Wadā‘ sampai masjid bani Zuraiq. (2679).

Penisbatan masjid yang disebutkan pada hadits di atas kepada bani Zuraiq menandakan masjid tersebut berada di daerah bani Zuraiq.

Hal ini diperbolehkan karena masjid tersebut mungkin telah diwakafkan untuk daerah tersebut, dan memang tidak ada perbedaan pendapat dari para ulama bahwa mewakafkan masjid, pemakaman, jembatan, itu diperbolehkan, walaupun mereka tidak bersepakat pada wakaf yang lainnya.

 

Keempat: Seperti diketahui, meskipun masjid itu milik Allah, dan tidak boleh digunakan untuk berdzikir atau menyembah selain kepada Allah, namun masjid diperbolehkan untuk digunakan untuk berbagai hal lainnya. Misalnya penerimaan dan pembagian harta zakat, atau memberi makanan dan sedekah kepada orang-orang miskin yang memerlukannya, atau boleh juga digunakan untuk menahan tawanan dan orang yang berhutang yang belum mampu untuk membayar hutangnya, atau boleh juga digunakan untuk beristirahat sejenak ataupun tidur di dalamnya, atau menampung orang-orang yang sakit dan orang-orang yang terkena musibah bencana alam, atau untuk melantunkan syair-syair yang tidak berbau kebatilan, dan boleh juga membuat pintu yang dapat menghubungkan masjid dengan rumah-rumah yang berdampingan dengannya. Semua ini telah kami jelaskan secara rinci pada tafsir surah at-Taubah (26810), tafsir surah an-Nūr (26911), dan surah-surah lainnya.

 

Kelima: Firman Allah s.w.t.: (فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا) “Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” Ini adalah pencelaan dan sindiran kepada orang-orang musyrik yang telah berdoa dan menyembah tuhan lain yang disejajarkan dengan Allah di Masjid-il-Ḥarām.

Menurut Mujāhid, dahulu, apabila orang-orang Yahudi dan Nashrani memasuki gereja atau tempat-tempat ibadah mereka lainnya maka mereka akan menyekutukan Allah. Oleh karena itu Allah s.w.t. memerintahkan kepada Nabi s.a.w. dan kaum muslimin untuk ikhlas beribadah hanya kepada Allah saja, di masjid mana pun yang mereka akan masuki. Oleh karena itu janganlah kalian menyekutukannya dengan menyembah berhala atau apapun yang sejenisnya di dalam Masjid-il-Ḥarām dan masjid-masjid lainnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: jadikanlah masjid itu hanya sebagai tempat untuk beribadah saja, oleh karena itu janganlah kamu bersenda-gurau di dalamnya, atau berjual-beli, atau tempat duduk-duduk saja, atau bahkan hanya sekedar tempat berlalu saja. Dan janganlah kamu berbuat sesuatu apapun kecuali yang berhubungan dengan ke-Tuhan-an. Dalam kitab shaḥīḥ disebutkan:

مَنْ نَشَدَ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِد فَقُوْلُوْا، لَا رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهذَا.

Apabila engkau melihat ada seseorang yang mengumumkan harta bendanya yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah “semoga Allah tidak mengembalikan harta yang hilang itu kepadamu,” karena masjid tidak dibangun untuk keperluan seperti itu.” (27012).

Adapun mengenai hukum masjid dan yang berkaitan dengannya telah kami cukup jelaskan pada tafsir surah an-Nūr. Walḥamdulillāh.

 

Keenam: adh-Dhaḥḥāk meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Apabila Nabi s.a.w. masuk ke dalam masjid maka beliau akan mendahulukan kakinya yang kanan, lalu beliau membaca: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.

Dan beliau juga berdoa: “Allāhumma ana ‘abduka wa zā’iruka wa ‘alā kulli mazūrin ḥaqqun, wa anta khairu mazūrin, fa as’aluka biraḥmatika an tafukka ruqbati min-nār. (ya Allah, aku adalah hambamu dan tamu bagimu. Setiap tuan rumah itu memiliki hak, dan Engkau adalah tuan rumah yang paling baik. Oleh karena itu aku memohon padamu untuk membebaskan aku dari api neraka).

Kemudian ketika beliau keluar dari masjid maka beliau akan mendahulukan kakinya yang kiri, dan berdoa: “Allāhumma shubba ‘alayya al-khaira shabban, wa lā tanzi‘ ‘annī shāliḥu mā a‘thatanī abadan, wa lā taj‘al ma‘īsyatī kaddan, waj‘al lī fil-ardhi jaddan (ya Allah, limpahkanlah kepadaku kebaikan yang banyak, dan janganlah Engkau menanggalkan kebaikan yang telah Engkau barikan kepadaku, dan janganlah Engkau membuat hidupku menjadi rumit, dan jadikanlah aku di muka bumi ini seorang yang berkecukupan.” (27113).

Catatan:

  1. 259). Hadits ini adalah hadits shaḥīḥ seperti yang sebelumnya telah kami sebutkan periwayatannya.
  2. 260). HR. al-Bukhārī pada pembahasan tentang adzan, bab: nomor 133-134. Hadits ini juga dirwiyatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang shalat, bab: Anggota Tubuh yang Harus Melekat di Bumi ketika Bersujud 91/354). Diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzī pada pembahasan tentang waktu-waktu shalat, bab: nomor 87. Diriwayatkan pula oleh an-Nasā’ī pada pembahasan tentang pelaksanaan shalat. bab: nomor 44. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Mājah pada pembahasan tentang menegakkan shalat, bab: nomor 19. Diriwayatkan pula oleh ad-Dārimī pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 73. Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dalam al-Musnad (1/279).
  3. 261). HR. at-Tirmidzī pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 87. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abū Dāūd pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 151. Diriwayatkan pula oleh an-Nasā’ī pada pembahasan tentang pelaksanaan shalat. bab: nomor 44. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Mājah pada pembahasan tentang menegakkan shalat, bab: nomor 19. Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dalam al-Musnad (1/206). Muslim juga meriwayatkan hadits ini dengan lafazh yang sedikit berbeda pada pembahasan tentang shalat (1/593). Hadits ini juga disebutkan oleh as-Suyūthī dalam al-Jāmi‘-ul-Kabīr (1/593), dari riwayat yang berbeda-beda dan berujung pada Sa‘ad bin Abī Waqqās.
  4. 262). (Qs. al-Ḥajj [22]: 26).
  5. 263). HR. an-Nasā’ī pada pembahasan tentang Jum‘at, bab: Waktu Tertentu pada Hari Jum‘at yang Akan Dikabulkan Semua Doa. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Mālik pada pembahasan tentang Jum‘at, bab: Hadits Tentang Waktu yang Istimewa pada Hari Jum‘at (1/109). Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dalam al-Musnad (3/93).
  6. 264). HR. al-Bukhārī pada pembahasan tentang keutamaan shalat yang dilaksanakan di masjid kota Makkah dan Madīinah. Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang haji, bab: Keutamaan Melakukan Shalat di dua Masjid, yaitu di kota Makkah dan Madīnah (2/1012-1013). Lih. al-Lu’lu’u wal-Marjān (1/365). Hadits ini juga diriwayatkan oleh para imam hadits lainnya, di antaranya adalah at-Tirmidzī, an-Nasā’ī, Ibnu Mājah, Aḥmad, dan para imam hadits lainnya. Lih. al-Jāmi‘-ul-Kabīr (2/2831).
  7. 265). Lih. Aḥkām-ul-Qur’ān (4/1869).
  8. 266). Surah Ibrāhīm ayat 37.
  9. 267). HR. al-Bukhārī pada pembahasan tentang apakah menisbatkan sebuah masjid pada nama seseorang. Hadits ini juga diriwayatkn oleh Muslim pada pembahasan tentang imarah, bab: Perlombaan Kuda dan Mempersiapkan Kuda untuk Dilombakan. Diriwayatkan juga oleh Mālik pada pembahasan tentang jihad (2/467-468). Diriwayatkan pula oleh an-Nasā’ī pada pembahasan tentang kuda, bab: nomor 12. Diriwayatkan pula oleh ad-Dārimī pada pembahasan tentang jihad, bab: nomor 35.
  10. 268). Surah at-Taubah, yakni ayat 28.
  11. 269). Surah an-Nūr ayat 36.
  12. 270). HR. al-Bukhārī pada pembahasan tentang masjid, bab: Larangan Mengumumkan Benda yang Hilang di Masjid dan Apa yang Harus Dikatakan Apabila Bertemu dengan Orang yang Seperti itu. (1/397). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abū Dāūd pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 25. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Mājah pada pembahasan tentang masjid, bab: nomor 11. Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dalam al-Musnad (2/349).
  13. 271). Riwayat ini disampaikan oleh al-Māwardī dalam tafsirnya (6/120).

Unduh Rujukan:

  • [download id="14711"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *